Artikel

Senin, 01 Februari 2021

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER TGKH. M. ZAINUDDIN ABDUL MADJID DALAM WASIAT RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU

Degradasi moral yang melanda negeri ini merupakan persoalan penting yang menjadi tugas berat yang harus dipikul para praktisi pendidikan. Degradasi moral muncul sebagai akibat pudarnya karakter bangsa. Tergerusnya karakter tersebut dipicu karena terjadinya disorientasi pendidikan di mana pendidikan terjebak pada cognitive oriented yang selanjutnya mempertegas irelevansi antara aspek kognitif (pengetahuan) dengan karakter yang sejatinya dimiliki oleh peserta didik. Cognitive Oriented yang diharapkan menjadi basis kekuatan moral justru menjadi faktor munculnya degradasi moral. Dengan demikian diperlukan sebuah kajian yang lebih komprehensif terkait nilai-nilai karakter yang diharapkan dapat menjadi solusi dalam rangka mengatasi problem pendidikan tersebut.

Internalisasi nilai-nilai karakter atau pendidikan karakter bukanlah terminologi baru yang menjadi perbincangan para pakar pendidikan saat ini. Jika ditelusuri, geliat terminologi pendidikan karakter sesungguhnya telah lama mengakar dalam sejarah pendidikan itu sendiri. Pada abad ke 8 SM misalnya Homeros pernah menawarkan konsep pendidikan karakter dalam masyarakat Yunani kuno yang menekankan pertumbuhan individu secara utuh dengan mengembangkan potensi fisik dan moral. Pada abad ke 18, terminologi ini kemudian mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun perubahan sosial.

Di samping itu, tema-tema yang terkait nilai-nilai karakter (moralitas) pernah juga menjadi lahan garapan tokoh-tokoh Islam semisal Ibnu Mishkawaih. Ibnu Mishkawaih misalnya dengan doktrin “jalan tengah” dalam filsafat etikanya pernah mengemukakan bahwa perlu adanya sebuah keseimbangan dalam diri manusia yang  selanjutnya  menjadi pokok akhlak mulia seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat dan sebagainya. Nilai-nilai kejujuran, ikhlas, kasih sayang, hemat, tersebut merupakan karakter yang harus terintegrasi dalam proses pendidikan.

Dalam konteks lokal, ternyata persoalan ini pernah juga menjadi perhatian seorang tokoh karismatik masyarakat Lombok yaitu TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid selaku aktor pendiri Nahdlatul Wathan (NW) yang menjadi organisasi terbesar di NTB. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan tokoh ulama di Pulau Lombok yang cukup concern dalam dunia pendidikan. Konsep-konsep pendidikan yang ditawarkan berbasis religious-Ethic. Gagasan ini terekam jelas dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid berpandangan bahwa segala aktivitas hendaknya dibangun atas dasar prinsip iman dan taqwa. Karena itulah kemudian nilai-nilai pendidikan karakter yang dirumuskan berlandas tumpu pada nilai-nilai ilahiyah (religius). Nilai religius inilah yang selanjutnya menjadi embrio munculnya nilai-nilai karakter lainnya, baik domain nilai karakter yang berhubungan dengan individu maupun domain nilai karakter yang berhubungan dengan lingkungan sosial.

TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid menggagas nilai-nilai pendidikan karakter dalam membangun karakter bangsa yang dikemas dalam syair-syair Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, yang kaya akan kandungan nilai-nilai pendidikan karakter. Dalam salah satu syairnya, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid misalnya mengungkapkan:

           Tata tertib perlukan ada     

Tutur bahasa perlu dijaga

Akhlak luhur tanda mulia

Bahasa menunjukkan bangsa

Syair  tersebut sesungguhnya mengandung pesan moral yang sangat tinggi serta nilai-nilai karakter yang begitu kuat. Jika dianalisa syair tersebut di atas mengandung nilai-nilai kedisiplinan, kesopanan, akhlak mulia, nasionalisme kebangsaan.Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru adalah salah satu di antara sekian banyak karya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, karya ini belum begitu dikenal masyarakat umum, namun karya ini cukup populer di kalangan NW karena karya ini merupakan wasiat yang sengaja ditujukan secara khusus kepada warga Nahdlatul Wathan.

Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru merupakan sebuah karya yang terdiri dari kumpulan syair hasil renungan dan pengalaman hidup TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Syair-syair dalam karya ini terdiri dari tiga bagian. Pada bagian yang pertama terdapat 233 syair yang ditujukan kepada seluruh warga NW, kemudian pada bagian yang kedua terdapat 112 syair yang mengandung pesan untuk selalu bersatu memperjuangkan NW dan bagian yang terakhir merupakan wasiat tambahan yang terdiri dari 88 syair.

Gagasan nilai-nilai pendidikan karakter TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru terpartisi dalam 13 nilai yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Mandiri, (7) Kreatif, Gemar Membaca dan Rasa Ingin Tahu, (8) Cinta Tanah Air dan Semangat Kebangsaan, (9) Menghargai Prestasi, (10) Bersahabat/komunikatif, (11) Cinta Damai, (12) Peduli Sosial, dan (13) Tanggung Jawab.

Nilai-nilai pendidikan karakter yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid memiliki relevansi yang kuat terhadap pendidikan di Indonesia yang saat ini dihadapkan pada persoalan degradasi moral. Degradasi moral ini nampaknya dipicu oleh orientasi pendidikan yang terjebak pada cognitive oriented yang selanjutnya menumbuhsuburkan irelevansi antara ilmu dan akhlak. Sejalan dengan hal tersebut, maka pendidikan sejatinya tidak hanya terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga berorientasi pada internalisasi nilai-nilai moral.

Dengan merefleksikan gagasan nilai-nilai karakter TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, maka para aktor pendidikan sejatinya menjadikan pendidikan karakter sebagai skala prioritas pembangunan pendidikan di negeri ini. Gagasan nilai karakter yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru memiliki relevansi yang cukup kuat dalam konteks pendidikan Indonesia. Relevansi tersebut terekam jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang menegaskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Kedua kata kunci ini tentu saja sangat relevan dengan nilai religius yang menjurus pada ikhtiar untuk membangun sinergitas tiga ranah, kognitif-afektif-psikomotorik sebagai langkah dalam mendobrak irrelevansi antara ilmu dan akhlak (moralitas) siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar