Oleh:
Ahmad Munadi
Pendahuluan
“ Dan
Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka “ ( QS. An-Nahl : 44 ) [1]
Mengomentari
ayat tersebut di atas, Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa Nabi adalah sosok
makhluk yang paling utama yang diberikan wewenang untuk merincikan ayat yang
global dan menerangkan ayat-ayat yang musykil. [2]
Akan tetapi walaupun Rasul telah diberi wewenang untuk menjelaskan al-Quran
melalui sabda-sabdanya, bukan berarti kemudian tidak ada perbedaan antara
al-Quran dan al Hadits. Bahkan harus diakui antara al-Quran dan al-Hadits
terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Betapa tidak, dari segi redaksi dan
struktur kalimatnya, al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT yang kemudian
disampaikan oleh Jibril kepada Rasul dan secara estavet rasulpun menyampaikannya
kepada umat. Dengan demikian, al-Quran dari segi otentitasnya menjadi Qoth’i
al Wurud, hal ini kontras sekali dengan al-Hadits, di mana dari segi
redaksi terkadang memiliki perbedaan dari apa yang disampaikan Rasul dengan apa
yang diterima oleh para sahabat, sehingga menyebabkan Hadits dari segi
otentitasnya bersifat Zhonny al Wurud, maka tidak mengherankan kemudian
jika bermunculan kelompok yang meragukan keabsahan dan legalitas Hadits sebagai
sumber hukum Islam.
Terlepas
dari persoalan tersebut di atas, Hadits menjadi wilayah yang amat penting untuk
dikaji dan menjadi persoalan yang cukup fenomenal karena tidak bisa dipisahkan
dari sejarah umat Islam, karena perkembangan Islam secara ontologis-budaya,
sejak masa hidup nabi hingga sekarang didorong oleh nilai dan etika yang
berbasis wahyu, sehingga tidak mengherankan kemudian banyak ilmuan Barat
tertarik untuk mengkaji Hadits. Ignaz Goldzihar misalnya melakukan kritik
terhadap otentitas Hadits melalui bukunya yang fenomenal pada abad 19“
Muhammadanische Studien”, dan buku ini pun selanjutnya ibarat “Kitab Suci”
di kalangan orientalis yang dijadikan rujukan dalam meneliti Hadits.[3]
Studi
terhadap Hadits seolah menjadi primadona di kalangan para ilmuan Muslim maupun
ilmuan Barat, karena hal ini menjadi dialektika sejarah yang akan terus abadi
sepanjang zaman. Tulisan ini akan mencoba menelusuri eksistensi Hadits dalam
Islam. Namun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif pembahasan ini
akan di awali dengan menelusuri terlebih dahulu makna Hadis serta perbedaannya
dengan istilah Sunnah.
Perbedaan
Term Hadis dan Sunah
Al-Quran
merupakan bagian yang paling esensial yang diyakini sebagai sumber hukum Islam,
namun ternyata persoalan-persoalan praktis tidak dapat diadopsi secara langsung
dari al-Quran. Sehingga dalam hal ini wahyu memberikan otoritas kepada
Rasulullah untuk menjadi legislator dalam mendefinisikan persoalan-persoalan
praktis tersebut melalui kreativitas personal, sehingga dalam hal ini terlihat
jelas korelasi antara al-Quran dan Hadis Nabi.
Dalam
tulisan ini akan diuraikan lebih lanjut terkait kedudukan Hadits dalam Islam,
namun sangat menarik kiranya jika menelusuri terlebih dahulu definisi Hadits
untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif terkait persoalan tersebut.
Penggunaan term “Hadits” memiliki perbedaan di
kalangan ulama, sebagian ada yang menggunakan istilah Hadits dan ada
juga yang menggunakan istilah Sunnah, namun sebagaimana yang diungkapkan
Quraiy Shihab bahwa al Hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama
seperti definisi as Sunnah[4].
Perbedaan definisi tersebut menjadi wajar ketika persoalan tersebut
ditinjau dari sudut yang berbeda.
Secara
etimologi istilah Hadits merupakan isim yang secara bahasa
berarti kisah, cerita, pembicaraan atau komunikasi verbal maupun tulisan[5].
Namun ada juga yang merumuskan bahwa Hadits bermakna Qorib, Khabar dan jadid. Istilah
Jadid ( baru ) digunakan sebagai lawan dari qadim, dengan memaksudkan qadim
dengan kitab Allah[6],
sementara istilah khabar (warta) adalah sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada seseorang dan makna qarib (dekat )
adalah yang belum lama lagi terjadi seperti perkataan “hadditsu ahdi bil
islam” ( orang yang baru memeluk Islam)[7]
Disamping
beberapa makna tersebut di atas, Hadits memiliki alternatif makna lain
sebagaimana yang terdapat dalam al Quran diantaranya Hadits bisa bermakna
Komunikasi relegius ( Azzumar : 23 ), Cerita duniawi ( al An’am : 68 ), Cerita
Sejarah ( Toha : 9 ) dan Rahasia atau cerita Hangat ( Tahrim )[8]
Definisi
Hadits secara terminologi juga memilki rumusan yang beragam, persoalan ini
tidak lepas dari sudut pandang perumus. Muhadditsun misalnya sebagaimana yang
dikemukakan Masykur memiliki rumusan yang berbeda dengan Ushuliyun. Muhaditsun
merumuskan bahwa Hadis sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal yang
disandarkan kepada Muhammad. Masuk ke dalam pengertian “ hal ikhwal” segala
yang diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh seperti hal kelahirannya, tempatnya
dan yang bersangkut paut dengan itu baik sebelum diutus maupun sesudah diutus.
Sementara Ushuliyun mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan
dan taqrir nabi yang berkaitan dengan hukum[9]
Namun
jika ditelusuri, rumusan tersebut di atas tidaklah refresentatif memberikan
makna Hadits, sebab banyak terdapat hadits yang tidak disandarkan langsung
kepada Nabi atau hadits-hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat maupun
generasi setelah sahabat ( tabi’in ). Lalu persoalannya kemudian adalah apakah
sabda sahabat juga merupakan Hadits ? Jika konsisten dengan rumusan Hadits
sebagaimana tersebut di atas tentu jawabannya “ sabda sahabat bukanlah Hadits “
lalu mengapa kemudian di dalam kitab-kitab hadits banyak juga terdapat sabda
sahabat, dan anehnya sabda sahabat tersebut dijadikan referensi dalam melegalisasi
sebuah hukum ?
Terkait
persoalan ini ternyata ulama memunculkan istilah baru lagi yang disebut dengan Khabar
dan Atsar. M. Hasby Ash Shiddieqy memberikan definisi keduanya sebagai
segala warta yang diterima dari selain Nabi[10],
dalam hal ini khabar diidentikan dengan hadis marfu’, mauquf dan maqthu,
sementara atsar untuk hadis marfu’ dan mauquf.[11]
Sampai disini tentu akan muncul sebuah kesimpulan bahwa terdapat kerancuan dan
kontradiksi pada terma hadis.
Terkait
kerancuan term hadis tersebut, banyak para ahli kemudian melakukan rekonstruksi
terhadap definisi hadis, Dr. Ator misalnya sebagamana yang dikutip Jalaludin
Rahmat merumuskan bahwa hadis adalah apa saja yang disandarkan kepada nabi
berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat fisik maupun akhlak dan apa saja yang
dinisbahkan kepada para sahabat.[12]
Apa yang dirumuskan Dr. Ator ini tentu saja cukup refresentatif untuk
mendefinisikan hadits walaupun kemudian definisi ini kurang populer.
Selain
kontradiksi dalam perumusan definisi Hadits, terdapat juga kontradiksi
penggunaan term Hadis itu sendiri. Sebagian ada yang menggunakan istilah Hadits
dan ada juga yang menggunakan istilah Sunnah. Karena itu kemudian perlu disini
dimunculkan definisi Sunah untuk melihat perbedaan antara Hadis dan Sunah.
Sunah
berarti tata cara, menurut pengarang lisan arab bahwa sunah pada mulanya
berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang dahulu yang kemudian diikuti oleh orang
belakangan atau sunah berarti tata cara dan tingkah laku atau prilaku hidup,
baik prilaku itu baik ataupun tercela[13]. Sebagaimana Hadis Sunah pun memiliki rumusan yang
berbeda-beda, Muhadditsun mendefinisikan Sunah sebagai sabda, pekerjaan,
ketetapan ( watak, budi atau jasmani ) atau tingkah laku nabi Muhammad SAW,
baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya. Ushuliyun mendefinisikan Sunah
sebagai sabda nabi Muhammad SAW yang bukan berasal dari al-Quran, pekerjaan
atau ketetapannya. Sementara Fuqaha mendefinisikan Sunah sebagai hal-hal yang
berasal dari nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu
tidak wajib dikerjakan.[14]
Sampai
disini tentu akan membawa pada sebuah kesimpulan bahwa antara Hadis dan sunah
terdapat perbedaan walaupun kemudian perbedaan tersebut tidak secara subtantif
merubah esensi keduanya sebagai asas normatif terkait model, prilaku ataupun
praktik kehidupan yang diimplementasikan nabi.
Terkait
perbedaan tersebut Fazlur Rahman sebagaimana yang dikutip Jalaludin Rahmat
mengungkapkan bahwa Sunnah merupakan perumusan para ulama mengenai kandungan
hadis. Ketika terjadi perbedaan faham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat
umum sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma’ karena sunnah merupakan
hasil penafsiran.[15]
Sementara itu Syuhudi Ismail mengemukakan dua kesimpulan terkait perbedaan
antara Hadis dan Sunah yaitu, pertama bila ditinjau dari segi kualitas
amaliyah dan periwayatannya, maka hadis berada di bawah sunah, sebab hadis
merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkaan kepada nabi
walaupun hanya sekali saja nabi mengerjakannya dan walaupun diriwiyatkan oleh
seorang saja. Adapun sunah merupakan amaliyah yang terus menerus di kerjakan
nabi beserta para sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi
berikutnya sampai pada kita. Kedua sebagai konsekuensinya, maka ditinjau
dari segi kekuatan hukumnya, hadis berada satu tingkat di bawah sunah.[16]
Kedudukan
Hadits dalam Islam
Hadits
dan al Quran memang secara subtantif memiliki perbedaan, al Quran bersifat Qothil
Wurud sementara hadis bersifat zonnil
wurud, hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan di kalangan umat
islam terkait legalitas hadis sebagai sumber hukum islam. Apakah hadis memiliki
otoritas dalam melegalisasi sebuah produk hukum atau tidak, padahal al Quran
sendiri merupakan Quranun Mubinun[17]
yang sejatinya tidak membutuhkan
penjelas karena memang al Quran sendiri sudah jelas.
Dengan
demikian sangat wajar kemudian muncul kelompok yang tidak mengakui eksistensi
hadis sebagai sumber hukum islam. Penolakan tersebut tentu saja bukannya tidak
memiliki alasan, kelompok ini memberikan dua argumen yaitu : pertama Al
Quran adalah menggunakan bahasa arab, sehingga orang yang memahami al Quran
tidak membutuhkan hadis, kedua Al Quran telah mencakup segala hal yang
dibutuhkan manusia sebagaimana yang terdapat dalam surat an Nahl : 89 ...dan
Kami turunkan kepadamu al Kitab ( al Quran ) untuk menjelaskan segala
sesuatu.....[18].
Menanggapi persoalan ini Imam Syafii mengungkapkan bahwa al Quran tidak
lepas dari penjelasan hadis karena banyak ayat al Quran yang bersifat mujmal.
Sementara terkait surat an Nahl tersebut Imam Syafii selanjutnya mengatakan
bahwa Allah menjelaskan segala sesuatu atau semua yang dibutuhkan itu secara
global. [19]
Terlepas
dari persoalan tersebut, umat Islam telah menyepakati bahwa hadis merupakan
bagian yang esensial dalam ajaran Islam, hal ini tentu saja sangat erat
kaitannya dengan kedudukan rasul sebagai mubayin terhadap wahyu.
Sehinggga dapat dikatakan disini bahwa hadits menempmati posisi kedua setelah
al Quran dalam melegalisasi sebuah aturan atau konsep hidup yang diinginkan
wahyu, sebab tidak mungkin kemudian aturan-aturan tersebut diadopsi secara
langsung dari al Quran yang notabenenya tidak merinci persoalan-persoalan yang
bersifat praktis.
Kaitannya
dengan hal tersebut Syatibi berpendapat bahwa tingkatan Hadis berada di bawah
tingkatan al Quran disebabkan karena, pertama: al Quran bersifat qothi
baik secara ijmali maupun tafshili, sedangkan hadis qothi secara ijmali dan
zonny secara tafsili. Kedua: turunnya
Mubayan (al Quran) diikuti dengan turunnya bayan (hadis), sehingga kedududkan
al Quran lebih dulu baru kemudian hadis.
Ketiga: alasan Syatibi didasarkan pada hadis Muaz bin Jabal ketika
rasul akan mengutusnya ke Yaman[20].
Namun apa yang dikemukakan Syatibi tersebut tidak diamini Syafii dengan alasan
bahwa jika hadis memiliki derajat shohih maka kedudukannya akan sama
dengan al Quran.
Abdul
Halim Mahmud dengan merujuk pada pendapat Syafii dalam ar Risalah sebagaimana
yang dikemukakan Qurais Shihab mengatakan bahwa dalam korelasinya dengan al
Quran ada dua fungsi hadis yang tidak diperselisihkan yang diistilahkan dengan bayan
ta’kid dan bayan tafshil[21].
Sementara itu Utang Ranuwijaya dalam bukunya memberikan perincian terkait
kedudukan hadis dalam hubungannya dengan al Quran yaitu hadis berfungsi sebagai
Bayan Taqrir[22],
Bayan Tafsir[23],
Bayan Tasyri’[24]
dan Bayan Nasakh[25]
Yusuf
Qordhawy mengemukakan bahwa metodologi praktis dalam ajaran islam dengan segala
karakteristik dan prinsip ajarannya teraktualisasi dalam sunah atau hadis nabi,
karena itu kemudian Yusuf Qordhawi mengemukakan tiga metodologi terkait
kedudukan sunah dalam islam. Pertama, Metode komprehensif manhaj islam
mencakup seluruh aspek kehidupan baik vertikal maupun horizontal. Horizontal
terkait dengan jarak masa yang dialami manusia sejak lahir hingga kematian,
sementara vertikal cara pandang manusia yang mencakup segala aspek kehidupan. Kedua
metode seimbang yakni kesembanan antara ruh dan jasad, akal dan kalbu,
dunia dan akhirat, ideal dan relitas, teori dan praktik. Ketiga metode
memudahkan ( al A’raf : 157 )[26]
. Disamping itu, nabi adalah sosok manusia patut dijadikan sebagai model ideal
panutan umat yang wajib ditaati, sebagai konsekuensinya tentu saja hadis
menjadi sebuah keniscayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis dalam
islam memiliki posisi yang sangat sentral sebagai sebuah produk hukum ataupun
prinsip hidup normatif.
Penutup
Al Quran merupakan sentral sumber hokum dalam islam,
namun al Quran hanya berisi prinsip-prinsip hokum yang bersifal global,
sehingga nabi (hadis) dalam hal ini tentu saja memiliki otoritas dalam
menjelaskan prinsip-prinsip hokum tersebut melalui sabda-sabdanya (an Najm :
2-3). Dengan demikian maka secara otomatis hadis juga memiliki otoritas dalam
melegalisasi sebuah produk hokum, walaupun kemudian terdapat beberapa kelompok
yang tidak meyakini eksistensi dan legalitas hadis sebagai sumber hokum islam.
[17] الر. تلك ايت الكتاب وقرأن مبين Alif
Lam Ra. ( surat) ini adalah (sebagian dari ayat-ayat ) al kitab ( yang sempurna
) yaitu
(Ayat) al Quran yang
memberi penjelasan ( Q.S. al Hijr : 1 )
[22]
Bayan Taqrir adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan al Quran seperti surat al Maidah
tentang wudu ditaqrir dengan hadits nabi tidak diterima sholat
seseorang yang berhadats sebelum berwudu ( HR. Bukhori )
[23]
Bayan Tafsir adalah menjelaskan terhadap ayat-ayat yang memerlukan
perincian atau penjelasan lebih lanjut, maka
fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran
terhadap ayat al Quran yang masih mujmal dan
memberikan taqrir pada ayat yang masih mutlaq dan mentakhsih ayat yang
masih umum.
1.
Merinci yang global, spt:صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (HR.Bukhari) merinci QS. 2: 43: وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ.
2.
Membatasi ayat yg apa adanya, spt: tgn pencuri yg
boleh dipotong sebatas pergelangan tangan (مِن مِفْصَلِ الْكَفِّ) membatasi
ayat potong tangan pencuri dlm QS. 5: 38: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
3.
Mengkhususkan ayat yang bersifat umum, spt: pembunuh
tdk mewarisi sdikitpun warisan orang yg dibunuhnya: لا يَرِثُ
الْقَاتِلُ مِنْ الْمَقْتُولِ شَيْئًا (Drm & Ah, dr Ibn ‘Abbâs), men-takhshîsh keumuman QS. 4: 11: يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ .
[24]
Bayan Tasyri’ adalah hadis berfungsi menetapkan suatu hokum atau
aturan syara’ yang tidak terdapat dalam al Quran
contoh : tidak dibolehkannya memadu bibi dan keponakan atau seperti
haramnya emas dan sutra untul laki-laki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar