Artikel

Minggu, 26 April 2015

KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM

Oleh:
Ahmad Munadi
  

Pendahuluan
“ Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka “ ( QS. An-Nahl : 44 ) [1]
Mengomentari ayat tersebut di atas, Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa Nabi adalah sosok makhluk yang paling utama yang diberikan wewenang untuk merincikan ayat yang global dan menerangkan ayat-ayat yang musykil. [2] Akan tetapi walaupun Rasul telah diberi wewenang untuk menjelaskan al-Quran melalui sabda-sabdanya, bukan berarti kemudian tidak ada perbedaan antara al-Quran dan al Hadits. Bahkan harus diakui antara al-Quran dan al-Hadits terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Betapa tidak, dari segi redaksi dan struktur kalimatnya, al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT yang kemudian disampaikan oleh Jibril kepada Rasul dan secara estavet rasulpun menyampaikannya kepada umat. Dengan demikian, al-Quran dari segi otentitasnya menjadi Qoth’i al Wurud, hal ini kontras sekali dengan al-Hadits, di mana dari segi redaksi terkadang memiliki perbedaan dari apa yang disampaikan Rasul dengan apa yang diterima oleh para sahabat, sehingga menyebabkan Hadits dari segi otentitasnya bersifat Zhonny al Wurud, maka tidak mengherankan kemudian jika bermunculan kelompok yang meragukan keabsahan dan legalitas Hadits sebagai sumber hukum Islam.
Terlepas dari persoalan tersebut di atas, Hadits menjadi wilayah yang amat penting untuk dikaji dan menjadi persoalan yang cukup fenomenal karena tidak bisa dipisahkan dari sejarah umat Islam, karena perkembangan Islam secara ontologis-budaya, sejak masa hidup nabi hingga sekarang didorong oleh nilai dan etika yang berbasis wahyu, sehingga tidak mengherankan kemudian banyak ilmuan Barat tertarik untuk mengkaji Hadits. Ignaz Goldzihar misalnya melakukan kritik terhadap otentitas Hadits melalui bukunya yang fenomenal pada abad 19“ Muhammadanische Studien”, dan buku ini pun selanjutnya ibarat “Kitab Suci” di kalangan orientalis yang dijadikan rujukan dalam meneliti Hadits.[3]
Studi terhadap Hadits seolah menjadi primadona di kalangan para ilmuan Muslim maupun ilmuan Barat, karena hal ini menjadi dialektika sejarah yang akan terus abadi sepanjang zaman. Tulisan ini akan mencoba menelusuri eksistensi Hadits dalam Islam. Namun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif pembahasan ini akan di awali dengan menelusuri terlebih dahulu makna Hadis serta perbedaannya dengan istilah Sunnah.
Perbedaan Term Hadis dan Sunah
Al-Quran merupakan bagian yang paling esensial yang diyakini sebagai sumber hukum Islam, namun ternyata persoalan-persoalan praktis tidak dapat diadopsi secara langsung dari al-Quran. Sehingga dalam hal ini wahyu memberikan otoritas kepada Rasulullah untuk menjadi legislator dalam mendefinisikan persoalan-persoalan praktis tersebut melalui kreativitas personal, sehingga dalam hal ini terlihat jelas korelasi antara al-Quran dan Hadis Nabi.
Dalam tulisan ini akan diuraikan lebih lanjut terkait kedudukan Hadits dalam Islam, namun sangat menarik kiranya jika menelusuri terlebih dahulu definisi Hadits untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif terkait persoalan tersebut.
 Penggunaan term “Hadits” memiliki perbedaan di kalangan ulama, sebagian ada yang menggunakan istilah Hadits dan ada juga yang menggunakan istilah Sunnah, namun sebagaimana yang diungkapkan Quraiy Shihab bahwa al Hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi  as Sunnah[4]. Perbedaan definisi tersebut menjadi wajar ketika persoalan tersebut ditinjau dari sudut yang berbeda.
Secara etimologi istilah Hadits merupakan isim yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan atau komunikasi verbal maupun tulisan[5]. Namun ada juga yang merumuskan bahwa Hadits bermakna  Qorib, Khabar dan jadid. Istilah Jadid ( baru ) digunakan sebagai lawan dari qadim, dengan memaksudkan qadim dengan kitab Allah[6], sementara istilah khabar (warta) adalah sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang dan makna qarib (dekat ) adalah yang belum lama lagi terjadi seperti perkataan “hadditsu ahdi bil islam” ( orang yang baru memeluk Islam)[7]
Disamping beberapa makna tersebut di atas, Hadits memiliki alternatif makna lain sebagaimana yang terdapat dalam al Quran diantaranya Hadits bisa bermakna Komunikasi relegius ( Azzumar : 23 ), Cerita duniawi ( al An’am : 68 ), Cerita Sejarah ( Toha : 9 ) dan Rahasia atau cerita Hangat ( Tahrim )[8]
Definisi Hadits secara terminologi juga memilki rumusan yang beragam, persoalan ini tidak lepas dari sudut pandang perumus. Muhadditsun misalnya sebagaimana yang dikemukakan Masykur memiliki rumusan yang berbeda dengan Ushuliyun. Muhaditsun merumuskan bahwa Hadis sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Muhammad. Masuk ke dalam pengertian “ hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh seperti hal kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Sementara Ushuliyun mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang berkaitan dengan hukum[9]
Namun jika ditelusuri, rumusan tersebut di atas tidaklah refresentatif memberikan makna Hadits, sebab banyak terdapat hadits yang tidak disandarkan langsung kepada Nabi atau hadits-hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat maupun generasi setelah sahabat ( tabi’in ). Lalu persoalannya kemudian adalah apakah sabda sahabat juga merupakan Hadits ? Jika konsisten dengan rumusan Hadits sebagaimana tersebut di atas tentu jawabannya “ sabda sahabat bukanlah Hadits “ lalu mengapa kemudian di dalam kitab-kitab hadits banyak juga terdapat sabda sahabat, dan anehnya sabda sahabat tersebut dijadikan referensi dalam melegalisasi sebuah hukum ?
Terkait persoalan ini ternyata ulama memunculkan istilah baru lagi yang disebut dengan Khabar dan Atsar. M. Hasby Ash Shiddieqy memberikan definisi keduanya sebagai segala warta yang diterima dari selain Nabi[10], dalam hal ini khabar diidentikan dengan hadis marfu’, mauquf dan maqthu, sementara atsar untuk hadis marfu’ dan mauquf.[11] Sampai disini tentu akan muncul sebuah kesimpulan bahwa terdapat kerancuan dan kontradiksi pada terma hadis.
Terkait kerancuan term hadis tersebut, banyak para ahli kemudian melakukan rekonstruksi terhadap definisi hadis, Dr. Ator misalnya sebagamana yang dikutip Jalaludin Rahmat merumuskan bahwa hadis adalah apa saja yang disandarkan kepada nabi berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat fisik maupun akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat.[12] Apa yang dirumuskan Dr. Ator ini tentu saja cukup refresentatif untuk mendefinisikan hadits walaupun kemudian definisi ini kurang populer.
Selain kontradiksi dalam perumusan definisi Hadits, terdapat juga kontradiksi penggunaan term Hadis itu sendiri. Sebagian ada yang menggunakan istilah Hadits dan ada juga yang menggunakan istilah Sunnah. Karena itu kemudian perlu disini dimunculkan definisi Sunah untuk melihat perbedaan antara Hadis dan Sunah.
Sunah berarti tata cara, menurut pengarang lisan arab bahwa sunah pada mulanya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui  orang dahulu yang kemudian diikuti oleh orang belakangan atau sunah berarti tata cara dan tingkah laku atau prilaku hidup, baik prilaku itu baik ataupun tercela[13]. Sebagaimana Hadis Sunah pun memiliki rumusan yang berbeda-beda, Muhadditsun mendefinisikan Sunah sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan ( watak, budi atau jasmani ) atau tingkah laku nabi Muhammad SAW, baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya. Ushuliyun mendefinisikan Sunah sebagai sabda nabi Muhammad SAW yang bukan berasal dari al-Quran, pekerjaan atau ketetapannya. Sementara Fuqaha mendefinisikan Sunah sebagai hal-hal yang berasal dari nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[14]
Sampai disini tentu akan membawa pada sebuah kesimpulan bahwa antara Hadis dan sunah terdapat perbedaan walaupun kemudian perbedaan tersebut tidak secara subtantif merubah esensi keduanya sebagai asas normatif terkait model, prilaku ataupun praktik kehidupan yang diimplementasikan nabi.
Terkait perbedaan tersebut Fazlur Rahman sebagaimana yang dikutip Jalaludin Rahmat mengungkapkan bahwa Sunnah merupakan perumusan para ulama mengenai kandungan hadis. Ketika terjadi perbedaan faham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma’ karena sunnah merupakan hasil penafsiran.[15] Sementara itu Syuhudi Ismail mengemukakan dua kesimpulan terkait perbedaan antara Hadis dan Sunah yaitu, pertama bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadis berada di bawah sunah, sebab hadis merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkaan kepada nabi walaupun hanya sekali saja nabi mengerjakannya dan walaupun diriwiyatkan oleh seorang saja. Adapun sunah merupakan amaliyah yang terus menerus di kerjakan nabi beserta para sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi berikutnya sampai pada kita. Kedua sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, hadis berada satu tingkat di bawah sunah.[16]
Kedudukan Hadits dalam Islam
Hadits dan al Quran memang secara subtantif memiliki perbedaan, al Quran bersifat Qothil Wurud sementara  hadis bersifat zonnil wurud, hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan di kalangan umat islam terkait legalitas hadis sebagai sumber hukum islam. Apakah hadis memiliki otoritas dalam melegalisasi sebuah produk hukum atau tidak, padahal al Quran sendiri merupakan Quranun Mubinun[17]  yang sejatinya tidak membutuhkan penjelas karena memang al Quran sendiri sudah jelas.
Dengan demikian sangat wajar kemudian muncul kelompok yang tidak mengakui eksistensi hadis sebagai sumber hukum islam. Penolakan tersebut tentu saja bukannya tidak memiliki alasan, kelompok ini memberikan dua argumen yaitu : pertama Al Quran adalah menggunakan bahasa arab, sehingga orang yang memahami al Quran tidak membutuhkan hadis, kedua Al Quran telah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia sebagaimana yang terdapat dalam surat an Nahl : 89 ...dan Kami turunkan kepadamu al Kitab ( al Quran ) untuk menjelaskan segala sesuatu.....[18]. Menanggapi persoalan ini Imam Syafii mengungkapkan bahwa al Quran tidak lepas dari penjelasan hadis karena banyak ayat al Quran yang bersifat mujmal. Sementara terkait surat an Nahl tersebut Imam Syafii selanjutnya mengatakan bahwa Allah menjelaskan segala sesuatu atau semua yang dibutuhkan itu secara global. [19]
Terlepas dari persoalan tersebut, umat Islam telah menyepakati bahwa hadis merupakan bagian yang esensial dalam ajaran Islam, hal ini tentu saja sangat erat kaitannya dengan kedudukan rasul sebagai mubayin terhadap wahyu. Sehinggga dapat dikatakan disini bahwa hadits menempmati posisi kedua setelah al Quran dalam melegalisasi sebuah aturan atau konsep hidup yang diinginkan wahyu, sebab tidak mungkin kemudian aturan-aturan tersebut diadopsi secara langsung dari al Quran yang notabenenya tidak merinci persoalan-persoalan yang bersifat praktis.
Kaitannya dengan hal tersebut Syatibi berpendapat bahwa tingkatan Hadis berada di bawah tingkatan al Quran disebabkan karena, pertama: al Quran bersifat qothi baik secara ijmali maupun tafshili, sedangkan hadis qothi secara ijmali dan zonny secara tafsili.  Kedua: turunnya Mubayan (al Quran) diikuti dengan turunnya bayan (hadis), sehingga kedududkan al Quran lebih dulu baru kemudian hadis.  Ketiga: alasan Syatibi didasarkan pada hadis Muaz bin Jabal ketika rasul akan mengutusnya ke Yaman[20]. Namun apa yang dikemukakan Syatibi tersebut tidak diamini Syafii dengan alasan bahwa jika hadis memiliki derajat shohih maka kedudukannya akan sama dengan al Quran.
Abdul Halim Mahmud dengan merujuk pada pendapat Syafii dalam ar Risalah sebagaimana yang dikemukakan Qurais Shihab mengatakan bahwa dalam korelasinya dengan al Quran ada dua fungsi hadis yang tidak diperselisihkan yang diistilahkan dengan bayan ta’kid dan bayan tafshil[21]. Sementara itu Utang Ranuwijaya dalam bukunya memberikan perincian terkait kedudukan hadis dalam hubungannya dengan al Quran yaitu hadis berfungsi sebagai Bayan Taqrir[22], Bayan Tafsir[23], Bayan Tasyri’[24] dan Bayan Nasakh[25]
Yusuf Qordhawy mengemukakan bahwa metodologi praktis dalam ajaran islam dengan segala karakteristik dan prinsip ajarannya teraktualisasi dalam sunah atau hadis nabi, karena itu kemudian Yusuf Qordhawi mengemukakan tiga metodologi terkait kedudukan sunah dalam islam. Pertama, Metode komprehensif manhaj islam mencakup seluruh aspek kehidupan baik vertikal maupun horizontal. Horizontal terkait dengan jarak masa yang dialami manusia sejak lahir hingga kematian, sementara vertikal cara pandang manusia yang mencakup segala aspek kehidupan. Kedua metode seimbang yakni kesembanan antara ruh dan jasad, akal dan kalbu, dunia dan akhirat, ideal dan relitas, teori dan praktik. Ketiga metode memudahkan ( al A’raf : 157 )[26] . Disamping itu, nabi adalah sosok manusia patut dijadikan sebagai model ideal panutan umat yang wajib ditaati, sebagai konsekuensinya tentu saja hadis menjadi sebuah keniscayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis dalam islam memiliki posisi yang sangat sentral sebagai sebuah produk hukum ataupun prinsip hidup normatif.
Penutup
Al Quran merupakan sentral sumber hokum dalam islam, namun al Quran hanya berisi prinsip-prinsip hokum yang bersifal global, sehingga nabi (hadis) dalam hal ini tentu saja memiliki otoritas dalam menjelaskan prinsip-prinsip hokum tersebut melalui sabda-sabdanya (an Najm : 2-3). Dengan demikian maka secara otomatis hadis juga memiliki otoritas dalam melegalisasi sebuah produk hokum, walaupun kemudian terdapat beberapa kelompok yang tidak meyakini eksistensi dan legalitas hadis sebagai sumber hokum islam.



     [1] Al-Quran dan Terjemahannya Depag R.I, PT. Karya Toha Putra Semarang : Semarang, 1996, hal. 217
     [2] M. Nasib Arifai, “ RingkasanTafsir Ibnu Katsir”, Gema Insani Press : Jakarta, 1999 hal. 1032
     [3] M. Abdullah Badri, “Studi Hadits : Dialektika Sejarah yang Terus Hidup”, http://abdollaoke.blogspot.com
     [4] Quraish Shihab, “Membumikan Al-Quran”, Mizan : Bandung, 2003 hal. 121
     [5] H. Masykur Ismail “Lebih Dekat dengan al Hadits dan as-Sunnah”, www.inpasonline.com
     [6] H. Masykur Ismail, Ibid.
     [7] M. Hasbi Ash Shiddieqy, “ Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits”, Bulan Bintang: Jakarta, 1993 hal. 20
     [8] Musahadi Ham “Evolusi Konsep Sunah ( Implikasinya terhadap Perkembangan Hukum Islam ) “, Aneka Ilmu : Semarang, 2000, hal. 31-32
     [9] H. Masykur Ismail Loc. Cit
     [10] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit. hal. 33
     [11] Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI : Yogyakarta, 1996, hal. 108
     [12] Ibid. hal. 150
     [13] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan sejarah kodifikasinya”, Jakarta : Pustaka Firdaus 1994, hal. 13
     [14] H. Masykur Ismail “Lebih Dekat dengan al Hadits dan as-Sunnah”, www.inpasonline.com
     [15] Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI : Yogyakarta, 1996, hal. 153
     [16] H. Masykur Ismail, Ibid. , www.inpasonline.com
     [17] الر. تلك ايت الكتاب وقرأن مبين      Alif Lam Ra. ( surat) ini adalah (sebagian dari ayat-ayat ) al kitab ( yang sempurna ) yaitu 
       (Ayat) al Quran yang memberi penjelasan ( Q.S. al Hijr : 1 ) 
     [18] Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI : Yogyakarta, 1996, hal. 118
     [19]  Ibid. hal. 115
     [20] Dirasah Islamiyah, CV. Aneka Bahagia Offset : Surabaya, 1995 hal. 36
     [21] Quraish Shihab, “Membumikan Al-Quran”, Mizan : Bandung, 2003 hal. 122
     [22] Bayan Taqrir adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan al Quran seperti surat al Maidah 
        tentang wudu ditaqrir dengan hadits nabi tidak diterima sholat seseorang yang berhadats sebelum berwudu ( HR. Bukhori )
     [23] Bayan Tafsir adalah menjelaskan terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, maka
         fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat al Quran yang masih mujmal dan
         memberikan taqrir pada ayat yang masih mutlaq dan mentakhsih ayat yang masih umum.
1.       Merinci yang global, spt:صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (HR.Bukhari) merinci QS. 2: 43: وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.
2.       Membatasi ayat yg apa adanya, spt: tgn pencuri yg boleh dipotong sebatas pergelangan tangan (مِن مِفْصَلِ الْكَفِّ) membatasi ayat potong tangan pencuri dlm QS. 5: 38: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
3.       Mengkhususkan ayat yang bersifat umum, spt: pembunuh tdk mewarisi sdikitpun warisan orang yg dibunuhnya: لا يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنْ الْمَقْتُولِ شَيْئًا (Drm & Ah, dr Ibn ‘Abbâs), men-takhshîsh keumuman QS. 4: 11: يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ .
     [24] Bayan Tasyri’ adalah hadis berfungsi menetapkan suatu hokum atau aturan syara’ yang tidak terdapat dalam al Quran
         contoh : tidak dibolehkannya memadu bibi dan keponakan atau seperti haramnya emas dan sutra untul laki-laki
     [25] Bayan Nasakh adalah hadis berfungsi memindahkan atau merubah hokum yang terdapat dalam al Quran seperti
         dalam hadis Sungguh Allah telah memberikan pada tiap-tiap orang haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli warits. Hadis ini
         menasakh ayat al Quran surat al Baqarah 180
     [26] Yusuf  Qardhawi, “Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW”, Karisma : Bandung, 1995 hal. 17-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar