Oleh:
Ahmad Munadi
A. Pendahuluan
Globalisasi
yang melanda masyarakat muslim saat ini menampilkan sumber dan watak yang
berbeda dari arus globalisasi akhir abad
19 di Timur Tengah. Saat ini arus globalisasi justru bersumber dari Barat yang
sekaligus menjadi pengendali dan pemegang hegemoni dalam berbagai lapangan
kehidupan, baik ekonomi-politik maupun sains-teknologi, bahkan termasuk juga
budaya dan gaya hidup.[1]Dengan
terbukanya “keran” globalisasi, maka perdagangan bebas dinilai menjadi ajang
kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta
pembangunanmasyarakatindustry[2],
yang menjadi salah satu ciri masyarakat pada millennium[3]
ketiga ini.[4]
Memasuki
millennium ketiga, dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan yang
begitu kompleks dan mendunia yang memaksa para actor pendidikan untuk segera
merumuskan solusi dalam mengatasi persoalan tersebut, sebab arus globalisasi dan industrialisasi
yang menggila saat ini tidak menutup kemungkinan menjadikan dunia pendidikan
akan ketinggalan zaman.Dengan demikian, maka pendidikan sesungguhnya berada
pada posisi yang sangat strategisdalam merespon berbagai tantangan zaman,
karenapendidikan menjadi bagian yang secara langsung terlibat dalam
mempersiapkan masa depan peradaban manusia.
Berdasarkan
kondisi tersebut, maka Islamsebagai bagian dari masyarakat dunia tentu saja
tidak bisa menghindar dari arus globalisasi dan industrialisasi yang melanda
masyarakat dunia saat ini, sehingga pendidikan Islam harus diarahkan pada
kebutuhan dan perubahan peradaban tersebut.Dalam menghadapi suatu perubahan
diperlukan suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan
baru. Jika tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan paradigma lama,
maka segala usaha akanmemenuhi kegagalan[5].
Karena itulah kemudian pendidikan Islam perlu didesain untuk menjawab tantangan
perubahan peradaban yang terjadi, tentu dengan tetap bersikap kooperatif
terhadap konsep-konsep Qurani.Lalu persoalannya kemudian adalah mampukah
pendidikan Islam eksis di tengah gempuran arus peradaban industrialisasi yang
mendunia saat ini? Apakah pendidikan Islamakan tetap bertahan dengan “keIslamannya”
atau malah ikut terseret arus peradaban industrial?
Persoalan
tersebut di atassesungguhnya memberikan gambaran posisi pendidikan Islam saat
ini, sehingga persoalannya kemudian adalah bagaimana mendesain pendidikan Islam
yang responsive di tengah arus peradaban industry tersebut. Oleh karena itu,
melalui coretan-coretan sederhana ini penulis akanmemaparkan bagaimana konsep
dan orientasi pendidikan Islam, serta bagaimana mendesain pendidikan Islam
dalam menghadapi arus peradaban industrial.
B. Pendidikan Islam dan Peradaban Insdustrial
1.
Orientasi Pendidikan Islam
Sebelum berbicara lebih jauh terkait
orientasi pendidikan Islam perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu definisi
pendidikan Islam sebagai pijakan awal untuk memahami lebih jauh orientasi
pendidikan Islam.Terkait definisi Pendidikan Islam, para ahli memberikan
definisi yang beragam, semua ini tentu saja dipengaruhi perbedaan sudut
pandang.Walaupun demikian, secara substansi definisi-definisi tersebut secara
signifikan tidak memiliki perbedaan. Achmadi[6]misalnya
mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)[7]
sesuai dengan normaIslam.
Sementara itu Arifin mengemukakan bahwa
pendidikan Islamadalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islamyang telah
menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya,[8]
bandingkan dengan Fadhil al Jamily[9],
pendidikan Islammerupakan proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang
baik dengan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar
(fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar). Jika dianalisis beberapa
definisi tersebut mengarah kepada usaha merubah manusia baik secara fisik maupun
psikologis berdasarkan nilai-nilai Islami. Dengan demikian, pendidikan Islamsesungguhnya
merupakan proses pemanusiaan manusia dengan mengembangkan potensi yang
dimilikinya.
Setelah merumuskan definisi pendidikan Islam, maka persoalan yang
tidak kalah petingnya adalah rumusan tentang orientasi atau tujuan dari
pendidikan tersebut. Rumusan ini menjadi sangat urgen mengingat tujuan sebagai
factor penentu kemana pendidikan akan diarahkan, sehingga tujuan pendidikan
perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya.
Rumusan tujuan pendidikan akan tepat jika sesuai dengan fungsinya.
Brubacher sebagaimana yang dikemukakan Achmadi merumuskan tiga fungsi tujuan
pendidikan yaitu: 1) memberikan arah bagi proses pendidikan; 2) memberikan
motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan
merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dan diinternalisasikan pada anak atau
subjek didik; dan 3) tujuan pendidikan merupakan criteria atau ukuran dalam
evaluasi pendidikan.[10]
Dengan demikian, maka tujuan dalam pendidikan harus dapat memberikan arah,
motivasi, serta criteria terhadap proses pendidikan.
Thoib mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam
tidak dengan sebenarnya mengarah kepada hal yang positif, namun hanya
diorientasikan kepada kehidupan akhirat saja dan cendrung hanya berupaya
menghindar dari serangan gagasan Barat yang notabennya mengancam standar
moralitas Islam.[11]
Dengan demikian, maka tidak mengherankan kemudian jika rumusan tujuan
pendidikan Islamhanya mandek pada tataran teoritis-formatif, yaitu bagaimana
menciptakan pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa. Jika demikian, lalu
persoalnnya kemudian adalah bagaimana system evaluasi yang harus dibangun untuk
menilai standar keimanan dan ketaqwaan? Di sinilah letak problematika pendidikanIslam.
Argumentasi yang dikemukakan Thoib tersebut nampak dari rumusan
tujuan pendidikan yang dikemukkan oleh beberapa ahli pendidikan Islam.Imam
Ghazali misalnya mengemukakan bahwa pendidikan Islambertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT,[12]sementara
itu Marimba merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam diidentikan dengan tujuan
hidup[13]
setiap muslim yaitu terbentuknya kepribadian muslim.[14]al
Abrosy sebagaimana yang dikemukakan Zuhairini, merumuskan lima tujuan asasi
pendidikan Islam yaitu: 1) untuk membantu pembentukan akhlaq yang mulia; 2)
persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat; 3) menumbuhkan ruh
ilmiah (scientificspirit) pada pelajaran dan menumbuhkan curiosity untuk
mengkaji ilmu; 4) menyiapkan pelajar dari segi professional, teknis dan
perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu; dan 5) persiapan untuk
mencari rezeki dan pemeliharaan segi pemanfaatan.[15]
Tujuan pendidikan sebagaimana yang dirumuskan Ghazali dan Marimba
tersebut di atas sangatlah ideal sehingga sangat sulit untuk direalisasikan
bahkan mungkin akan sebatas cita-cita dan harapan belaka, sebab tujuan tersebut
bersifat filosofis, termasuk juga rumusan yang dikemukakan al Abrasy pada point
1 dan 2 yaitu pembentukan akhlak serta persiapan untuk kehidupan dunia dan
akhirat, sementara point 3, 4, dan 5 memperlihatkan tujuan pendidikan yang
lebih bersifat aplikatif, sehingga dari sini dapat dianalisis bahwa tujuan
pendidikan Islamdapat dirumuskan menjadi tujuan yang bersifat filosofis dan
sekaligus bersifat praktis.
Achmadi dalam hal ini mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islamdapat
diklasifikasikan ke dalam tiga tahapan yaitu: 1) tujuan
tertinggi, pendidikan Islamdiidentikan dengan tujuan hidup, yaitu menghambakan
diri kepada Allah SWT, menghantarkan peserta didik menjadi Khalifah fil ard,
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat; 2) tujuan umum; tujuan ini lebih
bersifat empiric dan praktis yaitu mengukur
perubahan sikap, prilaku, dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu
merealisasikan diri (self realization); 3) tujuan kusus, tujuan yang ini
merupakan operasional dari tujuan tertinggi dan tujuan umum. Tujuan khusus
bersifat relative, sehingga memungkinkan diadakan perubahan sesuai tuntutan dan
kebutuhan.[16]
Dalam realisasinya, pendidikan agama Islammasih
menjadi problem.Muhaimin mengemukakan bahwa kesulitan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pendidikan agama Islamdisebabkan sifat pendidikan agama Islamyang
banyak menyentuh aspek metafisik yang bersifat abstrak bahkan terkesan supra
rasional, sehingga sebagian pihak mengatakan bahwa PAI tidak perlu diajarkan di
sekolah.[17]
Dengan mencermati persoalan tersebut,
penulis justru berpandangan bahwa pendidikan Islamharus senantiasa diajarkan di
sekolah, namun para pendidik perlu membangun paradigma baru yaitu dengan
merekonstruksi model pembelajaran yang lebih responsive terhadap probelamtika
sosial.
Terkait persoalan ini, menarik apa yang
yang dikatakan Tobroni[18]bahwa
saat ini perlu ada mainstraim
baru, di mana pembelajaran PAI harus diarahkan untuk implementasi kehidupan
sosial berdasarkan nilai-nilai universalitas Islam, sehingga konstruksi
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) harus menekankan etika sosial. Lebih
lanjut Tobroni mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara, sering kali pembelajaran PAI cenderung normative, sehingga dasar
filosofi yang harus digeser untuk kepentingan pembelajaran PAI ini adalah
paradigma berfikir teosentris harus dikembangkan kearah teo-antoposentris.
Karena itulah kemudian,
orientasi pendidikan Islamharus dibangun dalam bingkai sosio-kultural,
sosio-politik, sosio-ekonomi, dengan demikian pendidikan Islamakan mampu
menjawab persoalan-persoalan kemanusian di tengah peradaban dunia yang
menggelobal.
2.
Pendidikan tradisional dan modern: kasus Indonesia
Dalam perjalanannya, Pendidikan Islam di Indonesia telah melalui tiga tahapan. Tahapan pertama
berlangsung pada awal masuknya Islamdi Indonesia. Periode ini ditandai dengan
perkembangan pesantren. Sementara tahapan kedua berlangsung semenjak munculnya
ide-ide pembaharuan yang ditandai dengan lahirnya madrasah kemudian selanjutnya
tahapan yang ketiga pendidikan Islam
telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003.[19]
Secara
historis, pesantren dinilai tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuansa keislaman, tetapi juga menjaga nuansa keaslian (indigenious) Indonesia
karena lembaga sejenis telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan
pesantren tinggal meneruskan dan mengIslamkan saja.[20]
Pada abad ke 15 M, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, di
antaranya walisongo. Dalam menyebarkan Islam mereka mendirikan masjid dan
asrama untuk santri. Di Ampel Denta Sunan Ampel telah mendirikan lembaga
pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu para pemuda Islam.[21]
Pada awal abad
20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan yaitu: 1)
pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak
mengenal ajaran agama (corak baru); 2) pendidikan pondok pesantren yang hanya
mengenal agama saja (corak lama).[22] Ciri-ciri pendidikan corak lama: 1) menyiapkan calon ulama yang hanya menguasai
masalah agama semata; 2) kurang
diberikan pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan
pengetahuan umum sama sekali tidak dibberikan; 3) sikap isolasi yang disebabkan karena sikap
nonkooperasi secara total terhadap Barat. Di samping karakterristik tersebut,
pendidikan tradisional juga memiliki ciri-ciri yaitu:[23] (1) anak-anak biasanya dikirim ke
sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian
dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3)
anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu
itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah
otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku
yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada
kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh
guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru,
(9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum
tertera dalam kurikulum adalah buku-bukuteks. Sedangkan ciri
corak baru adalah: 1) hanya menonjolkan intelek; 2) bersikap negative terhadap
agama; 3) alam pikiran terasing dari kehidupan bangsanya.[24]
Dalam sejarahnya, pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang
dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abad ke-19,
dan mewakili puncak pencarian elektik atas “satu sistem terbaik”.Karakteristik
pendidikan tradisional sebagaimana yang dikemukakan di atas, masih dianut oleh
sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
lainnya, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan,
kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi
dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatikan dan
mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat
pada guru (sentralistik).
Wirojosukarto sebagaimana yang dikutip Muhaimin mengatakan bahwa
pondok pesantren bertujuan menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai
masalah agama semata dan kurikulum
ditetapkan oleh Kyai dengan menunjuk kitab-kitab apa yang harus dipelajari.[25]Keseluruhan
kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren dapat digolongkan ke dalam 8
kelompok yaitu: 1) Nahwu dan Shorof, 2) Fiqih, 3) Ushul Fiqh, 4) Hadits, 5)
Tafsir, 6) Tauhid, 7) Tasawuf, 8) cabang-cabang lain seperti Tarikh dan
Balaghah.[26]Sementara
itu metode yang diterapkan di pondok pesantren seperti metode wetonan, sorogan,
muhawarah, mudzakarah, majlis ta’lim, wetonan, bahtsul masail, pengajian
pusaran, muhafazhah, dan praktek ibadah.[27]
Tujuan pendidikan pondok pesantren
pada dasarnya adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah
agama agama semata (Tafaqquh fi Addien ), pola pikir seperti ini
dilandasi oleh pemikiran bahwa hakikat manusia adalah sebagai ‘abd Allah yang
hanya mengadakan hubungan vertikal dengan Allah SWT guna mencapai kesholehan
dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[28]
Namun persoalannya kemudian adalah mampukah pesantren tetap eksis dengan
orientasi pendidikan seperti ini di tengah derasnya arus perubahan zaman?
Paradigma pendidikan tradisional semisal pondok pesantren bukan
merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi perlu sebuah model
pendidikan yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, terutama
dalam menghadapi peradaban industrialisasi.
Berbeda halnya dengan model pendidikan tradisional
(baca:pesantren), pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah
bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada
dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial
kulturalnya yang terus berubah dengancepat.
Azyumardi Azra mengemukakan bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam
masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1)
sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama,
sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik
ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan.Kedua,
pembelajaran (schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki
posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat
membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi
yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam
masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan "education" untuk
menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar
bagi kelanjutan program pembangunan"[29]
Konsep pendidikan modern dibangun berdasarkan paradigma bahwa
keberhasilan pendidikan tidak dilihat dari seberapa banyak ilmu yang disampaikan
kepada peserta didik, akan tetapi seberapa besar peluang yang diberikan guru
kepada peserta didik untuk belajar.[30]Dengan
demikian, pendidikan harus menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik,
pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi
oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi
sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik.
3.
Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial
Peradaban adalah terjemahan dari kata Arab al hadhaarah al
Islaamiyah.Kata arab ini sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
dengan Kebudayaan Islam. “Kebuadayaan” dalam bahasa Arab adalah al
Tsaqaafah.Dalam perkembangan ilmu Antropologi, terdapat perbedaan antara
kebudayaan dan peradaban.Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat
dalam suatu masyarakat, seperti seni, sastra, religi dan moral.Sedangkan
manifestasi dari kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan
peradaban seperti politik, ekonomi, dan teknologi.[31]
Proses menuju peradaban industrial merupakan persoalan yang pasti akan terjadi, sebab
dengan industry peradaban yang lebih besar dapat dibangun. Industrialisasi
memiliki keterkaitan yang erat dengan modernisasi, sebab industrialisasi
merupakan bagian dari proses modernisasi.Industrialisasi bukanlah suatu
perjalanan sejarah yang secara langsung dari masyarakat agraris ke masyarakat
industry, masyarakat tradisional ke masyarakat modern, tetapi suatu evolusi
yang multilineal. Masyarakat industry dapat terbentuk melalui berbagai cara
misalnya revolusi borjuis, fasisme, komunisme dan lain sebagainya.[32]
Memasuki peradaban industrial, Pendidikan
nasional masyarakat Indonesia diarahkan pada pengembangan sains dan teknologi,
sehingga masyarakat Indonesia harus diarahkan untuk mengembangkan potensi untuk
meraih, mengembangkan serta menerapkan sains dan teknologi untuk meningkatkan
taraf hidup[33].
Sains dan teknologi menjadi sangat urgen sebab masyarakat industry terbentuk
jika metode ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan dalam masyarakat, di mana
sector produksi komoditi dilakukan secara mekanis dalam pabrik maupun
perusahaan-perusahaan.Gejala-gejala penting dalam masyarakat industry dapat
dilihat dari kenaikan output nasional, obsesi yang besar terhadap produksi dan
ekspansi, tenaga kerja dan organisasi yang serba besar, spesialisasi dan
rasionalisasi intelektual dan social, penekanan pada rasionalisme ekonomi,
pencapaian perorangan dan kesamaan.[34]
Mengingat kemajuan sains dan teknologi
sebagai pemicu lahirnya peradaban industry, maka visi masyarakat Indonesia di
tahun 2018 adalah menciptakan manusia Indonesia yang berpendidikan lebih tinggi, lebih sehat,
pengetahuan umum lebih luas, pekerjaan makin terspesialisasi, penguasaan IPTEK
yang semakin canggih, semakin intensif berineraksi dengan masyarakat
internasional,[35]sebabkekuatan
Global bertumpu pada: 1) kemajuan iptek terutama dalam bidang informasi serta
inovasi baru dalam bidang teknologi yang mempermudah kehidupan manusia; 2)
perdagangan bebas yang ditujang kemajuan iptek; [36]
Industrialisasi pada satu sisi berdampak
positif terhadap kemajuan peradaban masyarakat, namun pada sisi yang lain
justru menjadi ancaman terhadap tata nilai keberagamaan masyarakat. Bahkan
Peter L.Berger sebagaimana yang dikemukakan Kuntowijoyo mengemukakan bahwa
ekonomi industrial-capitalistic merupakan wilayah sekuler yang terbebas dari
agama, sehingga agama tidak memiliki kekuatan untuk melakukan legitimasi sebab
hal ini akanmengancam kelangsungan dari tata ekonomi.[37]Jika
demikian, maka industrialisasi merupakan ancaman terbesar yang harus dihadapi
agama, sebab kondisi ini akan berpotensi melahirkan penyakit dalam masyarakat.
Namun dalam hal ini Cak Nur[38]
justru mengatakan bahwa agama di tengah peadaban industrial akan senantiasa
memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat mengingat: 1) kebutuhan atau
kepercayaan kepada Tuhan dengan segala atributnya; 2) hubungan yang personal
dan intim dengan Tuhan; 3) doktrin tentang fungsi-sosial harta kekayaan: tujuan
hidup bukan pada terkumpulnya kekayaan tetapi cara penggunaannya untuk sesame
manusia; 4) pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak dapat didekati
secara empiris melainkan dengan cara “percaya”; 5) kepercayaan akan adanya
kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia).
Sebagai bagian dari modernitas, peradaban
industrial berpotensi melahirkan persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti: 1) disitegrasi
antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berujung
pada pengkotakan akal fikiran manusia;
2) kepribadian yang terpecah akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu
pengetahuan yang terspesialisasi dan tidak berwatak ketuhanan; 3) dangkalnya
keimanan dan ketaqwaan akibat dari kehidupan yang terlampau rasional dan
individualistis; 4) timbulnya pola hidup materialistis akibat kehidupan yang
berorientasi pada dunia semata; 5) cendrung menghalalkan segala cara akibat
faham hedonism; 6) mudah stress dan frustasi akibat terlampau bangga dengan
kemampuan diri, tanpa sikap tawakal dan percaya dengan ketentuan Tuhan; 7)
perasaan terasing di tengah keramaian akibat sikap individualistis; dan 8)
kehilangan harga diri akibat dari perbuatan yang menyimpang.[39]
Problematika kehidupan masyarakat modern tersebut sebagaimana yang
dikemukakan Abudin Nata sesungguhnya menghendaki sebuah reorientasi dalam
pendidikan yang tidak hanya terkungkung pada tataran kognitif, namun juga harus
terpartisi dalam aspek afektif-psikomotorik atau Abudin Nata menyebutnya dengan
istilah pengisian jiwa, pembinaan akhlak, dan kepatuhan beribadah, sehingga
dalam hal ini pendidikan Islam harus memainkan fungsi cultural dan control
sekaligus[40].
Dengan demikian, maka pendidikan Islamharus mampu menyiapkan sumber
daya manusia handal yang tidak hanya sebagai konsumen produk-produk peradaban
industrial, namun harus menjadi actor yang mampu mengolah, menyesuaikan,
dan mengembangkan arus informasi, sains dan teknologi dengan kreatif, inovatif
, dan produktif.
Dalam sejarah, terdapat beragam sikap umat Islamterhadap
sains-teknologi.Sebagian umat Islamada yang anti terhadap teknologi, ada juga
yang bersikap moderat dan bersikap fleksibel terhadap perkembangan teknologi,
bahkan ada yang cendrung liberal dengan menerima semua gagasan baru.
Perdebatan seputar sains-teknologi tersebut
di atas hanyalah gambaran sikap umat Islamterhadap peradaban industrial. Namun
yang menarik untuk dikaji adalah bagaimanapendidikan Islammenghadapi peradaban
industrial, mengingat peradaban industry sebagai sunatullah yang pasti akan
terjadi? Apakah pendidikan Islamakan bersikap apatis terhadap perkembangan
sains dan teknologi? Jika demikian, maka pendidikan Islam telah gagal membangun
peradaban masyarakat madani.Jika pendidikan Islam bersikap responsive, lalu
bagaimana paradigma pendidikan Islam yang responsive tersebut?
Salah satu karakteristik masyarakat
industrial adalah institusi berkembang cukup kompleks dan memunculkan
sikap kompetitifpada lapangan pekerjaan,
kondisi ini menuntut pekerja memiliki keprofesionalan dalam setiap bidang
pekerjaannya.[41]Sehingga
pendidikanIslamharus mampu menghadirkan desain
atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan
masyarakat. Kemudian desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu
ditransformasikan secara sistematis dalam masyarakat.Persoalan pertama ini
lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis.Dengan
demikian, maka Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana
pendidikan pada dataran filosofis sekaligus pada tataran metodologis.
Karena itulah kemudian dalam menghadapi
tuntutan idealism cultural dan reformasi global perlu dilakukan langkah-langkah
strategis di mana guru agama wajib memprofesionalkan dirinya dan beradaptasi
sesuai tuntutan reformasi global, selanjutnya perlu adanya peningkatan
kesejahteraan guru dan para calon guru
agama harus mempersiapkan diri melakukan penggodokan terhadap sumber daya
intelektual.[42]
Disamping
langkah-langkah strategis tersebut di atas, pendidik hendaknya
mengarahkan pendidikan Islam kepada 5 hal:
1.
Pendidikan Islam
jangan memperlakukan pesrta didik sebagai konsumen dari sebuah paham maupun
gagasan ilmu tertentu, namun harus menjadi produsen dalam membentuk paham
keagamaan yang kondusif dengan zaman. Dengan demikian pendidikan harus dilihat
dari proses yang di dalamnya anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk
memahami pesan-pesan dasar yang diberikan agama.
2.
Pendidikan
hendaknya kebiasaan menggunakan anndaian-andaian model yang yang diidealisir
yang selalu menjebak dalam romantisme masa lalu yang berlebihan.
3.
Bahan
pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematic empiric di
sekitarnya, agar anak didik tidak memperoleh bentuk pemahaman keagamaan yang
bersifat parsial.
4.
Perlu
dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses belajar mengajar agama,
sehingga anak didik memilik kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki
keemampuan metodologis untuk mempelajari materi dan substansi agama.
5.
Hal-hal yang
berkaitan dengan emosional keagamaan, berperilaku baik, dan memiliki sikap
terpuji lebih tepat ditekankan dalam lingkungan keluarga. Sementara di sekolah, digunakan untuk melatih kemampuan pembacaan
kritis anak didik, agar mereka berkemampuan mempersepsi ilmu pengetahuan dan
keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normative agama.[43]
Jika dicermati lebih tajam, peradaban
industrial pada dasarnya memperlihatkan kontribusi pendidikan Islam sebagai
wadah penghasil guru agama. Di tengah gelombang reformasi global kehadiran guru
agama memiliki kompetensi strategis dalam menghantarkan peserta didik bukan
terbatas pada sosok pelaku pembangunan, produser sains dan teknologi, namun
mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang tidak kropos dalam persoalan
moralitas[44]
Posisi strategis guru agama tersebut
menjadi sangat penting mengingat bahwa dalam peradaban industrialisasi peran
pendidikan tidak terfokus pada penyiapan
sumber daya manusia yang siap pakai. Sebaliknya dunia pendidikan harus
menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menerima serta menyesuaikan dan
mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungan. Sementara bagi
pendidikan Islam, visi dan orientasi tersebut harus harus ditambah dengan menempatkan pendidikan Islamsebagai lembaga
yang melestarikan nilai-nilai luhur dan memperbaiki penyimpangannya yang
diakibatkan oleh pengaruh globalisasi.[45]
M. Tolhah Hasan mengemukakan bahwa, pengembangan
Sumber Daya Manusia tidak mungkin cukup hanya mengembangkan potensi akal dan
jasad saja tanpa mempertimbangkan potensi qalbu. SDM yang tidak
mempertimbangkan keunggulan spritualitas dan moralitas akan memunculkan SDM
yang mempertanyakan “apa yang bisa dilakukan?” bukan “apa yang baik dilakukan?”
yang lebih jauh lagi “apa yang halal dilakukan?”[46].
Karena itulah kemudian, pendidikan Islamharus lebih kritis-konstruktif dengan
menginterpretasikan gagasan normative agama dalam kehidupan yang berbasiskan sosio-religius,
sosio-kultural, sosio-politik, sosio-ekonomik, maupun sosio-teknologi.
C. Penutup
Peradaban millennium ketiga ini ditandai dengan munculnya masyarakat
industry di mana kemajuan sains dan teknologi telah mencapai posisi yang cukup
signifikan.Dengan lahirnya peradaban industrial, maka pendidikan Islamharus
mampu bertahan di tengah arus gelombang industrialisasi tersebut.
Dalam menghadapi suatu perubahan diperlukan
suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baru. Jika
tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan paradigma lama, maka segala
usaha akan memenuhi kegagalan. Karena itulah kemudian, pendidikan Islam
perlu membangun paradigma pendidikan baru yang berbasis sosio-kultural,
sosio-ekonomi, sosio-teknologi dengan merekonstruksi model pembelajaran pada
tataran teosentris menuju teo-antroposentris
[1]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam (Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru), Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
[2]Masyarakat
industry adalah
masyarakat yang mendukung industrialisasi. Lihat: Samsul Nizar
& Muhammad Syaifuddin, Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam”, Jakarta:
Kalam Mulia, 2010, h. 86. Industrialisasimerupakan proses perkembangan
teknologi oleh penggunaan ilmu pengetahuan terapan, ditandai dengan ekspansi
produksi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan
pasaran yang luas bagi barang-barang produsen mauapun konsumen melalui angkatan
kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh
urbanisasi yang meningkat. Lihat: Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1994, h. 139-140.
Sementara karakter peradaban industry dapat digambarkan
sebagai berikut: 1) Institusi tempat aktivitas pekerjaan dilakukan dan
diorganisasikan tumbuh berkembang semakin kompleks. Mereka mempekerjakan
puluhan dari ribuan tenaga kerja; 2) Jumlah unit organisasi pekerja dikurangi,
produksi dikonsentrasikan; 3) dalam kehidupan ekonomi, tenaga kerja terutama
disebar dalam tiga sector; (a) produksi primer-agriculture, tambang,
perkebunan, perikanan, (b) sector produksi skunder manufacture, tiga sector
jasa, dan profesi. Dalam ekonomi industry jumlah tenaga kerja sector pertanian
cendrung menyusut, sedang sector jasa meningkat. Lihat: Zaenuddin Maliki, Sosiologi
Pendidikan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008, h. 163
[3]Millenium
adalah suatu istilah yang mengacu pada rentang waktu untuk jangka setiap seribu
tahun.Jika saat ini kita berada pada tahun 2011, maka kita tengah memasuki
millennium ketiga.
[4]Empat karakteristik millennium ketiga: 1) saling
ketergantungan social ekonomi; 2) kompetensi antar bangsa semakin keras;
3)makin beratnya usaha Negara berkembang untuk mencapai posisi menjadi Negara
maju; dan 4) munculnya masyarakat hiperindustrial yang akan mengubah budaya
bangsa. Lihat: H. Abudin Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia), Bogor: Kencana, 2003, h. 166
[6]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008, h. 28-29
[7]
Konsep Insan Kamil atau manusia
seutuhnya dalam pandangan Islam dapat diformulasikan secara garis besar sebagai
sebagai pribadi muslim yakni manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki
berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
sesame manusia, dan dengan alam sekitarnya secara baik, positif, dan
konstruktif. Lihat: Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam…..h. 29
[8]
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner), Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003, hal. 7
[9]
Lihat: Ismail Thoib, Konsep-konsep Dasar Pendidikan Islam, Mataram:
Yayasan Masyarakat Baru, 2004,h. 175
[10]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008, h. 90-91
[11]
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan Islam), Yogyakarta:
Genta Press, 2008, h. 182
[12]Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid I, Beirût: Dâr
al-Fikr, t.t., h. 52
[13]
Tujuan hidup setiap muslim adalah menghambakan diri kepada sang pencipta,
hal ini digambarkan dalam firman Allah
SWT surat Adz Dzariat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ
وَ الإِنْسَ الاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
[14] H.
Abdul Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam
Mulia, 2002, h. 18
[15]
Zuhairini dkk, Filsafat Penndidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004,
h. 164-166
[16]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008, h. 98-103
[17]
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga strategi Pembelajaran), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009, Hal. 242
[18] Prof. Dr. Tobroni, M.Si adalah Guru Besar bidang Pendidikan Islam, Fakultas
Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pemikiran Tobroni ini
dipaparkan dalam artikel berjudul
“Merajut Paradigma Baru Pembelajaran PAI” yang dimuat pada tanggal 27 Mei
2010
[20]Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta:
LkiS, 165-166
[21]Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta, 2005, h. 46
[22]
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa,
2010, h. 14-15
[24]
Muhaimin Ibid. h. 15
[25]
Muhaimin, Ibid, h. 16
[26]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai),
Jakarta: LP3ES, 1994, h. 50
[27]Imron
Arifin, Kepemimpinan Kyai (Kasus Pondok Pesantren Tebuireng), Malang:
Kalimasahada, 1993, h. 37. Lihat juga: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam,
Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah (Pertumbuhan dan Perkembangannya), Jakarta,
2003, h. 39
[28]H. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan), Bandung:
Nuansa, 2010, h. 16
[30]
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Prenada Media,
2004, h. 91
[31]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998 hal.1
[32]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan,
1998, hal. 171
[33] HAR
Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta:
PT. Grasindo, 1997
[34]
Kuntowijoyo, Op. Cit, h. 173
[35]
Samsul Nizar & Muhammad Syaifuddin, Isu-isu Kontemporer Tentang
Pendidikan Islam”, Jakarta: Kalam Mulia, 2010, h. 86
[36]
Samsul Nizar, Ibid. h. 90
[37]
Kuntowijoyo, Op. Cit, h. 174
[38]
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1994, h. 155
[39]H.
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia), Bogor: Kencana, 2003, h. 82-83
[40]H.
Abudin Nata, Ibid.
[41] H.
Abudin Nata, Op. Cit, h. 166
[42]
Iman Tolkhah dan A. Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi
dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, h. 99
[43] H.
Abudin Nata, Op. Cit, h. 167-169
[44]Iman
Tolkhah dan A. Barizi, Loc. Cit.
[45] H.
Abudin Nata, Op. Cit, h. 82
[46]
Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta:
Lantabora Press, 2003, h. 134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar