Artikel

Selasa, 26 Januari 2021

MERACIK TULISAN MENJADI BUKU ALA CAK ININ (Pertemuan ke 8)

Tidak terasa hari ini kita memasuki pertemuan ke 8,  Mari kita bersyukur selalu karena masih diberikan kesempatan pada malam ini 20 Januari 2021 untuk mengikuti kegiatan belajar menulis bersama orang-orang hebat dan nara sumber hebat.

Menu pertemuan kali ini disuguhkan oleh seorang nara sumber hebat, beliau adalah bapak Mukminin, S.Pd., M.Pd. beliau terlahir di Jombang 6 Juli 1965. Beliau sehari hari adalah seorang pendidik di SMP 1 Kedungpring Lamongan sejak 1989 sampai sekarang, waktu yang sangat lama bukan?. Di samping seorang pendidik, beliau juga adalah seorang konsultan Umroh dan Haji Plus dan yang tidak kalah pentingnya adalah beliau seorang penulis handal yang karyanya sudah tidak bisa diragukan lagi.

Sebagai motivasi untuk saya pribadi, saya ingin mengutip salah satu motto nara sumber malam ini, Man Jadda Wa Jada”. Motto ini jika kita analisa memiliki makna yang sangat luar biasa, mampu melahirkan semacam kekuatan yang akan memacu dan memicu semangat kita untuk mencapai suatu tujuan, “barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan”. Motto ini sangat relevan sebagai sebuah motivasi bagi kita yang saat ini lagi berjuang mengikuti kegiatan belajar menulis sebagai ikhtiar untuk membumikan literasi.

Cak Inin di awal penyampaian materi mengemukakan bahwa dalam menerbitkan buku seorang penulis pemula setidaknya memperhatikan 4 hal penting yaitu:

PERTAMA, Diperlukan sebuah keberanian dan tekad yang kuat untuk mempublikasikan tulisan dengan satu niat yaitu berbagi pengalaman. Tanpa niat yang kuat keinginan menerbitkan buku hanya akan sebatas keinginan. Menulis bukanlah sebuah bakat namun sebuah usaha yang didorong dengan kekuatan niat yang tulus di samping terus mengasah kompetensi untuk berlatih menulis.

KEDUA, mendesain ulang mindset kita bahwa “menulis itu mudah”. Jika pola pikir sudah terbentuk bahwa menulis itu mudah, maka secara otomatis akan menggerakan seluruh indra secara bersamaan melahirkan sebuah karya tulis yang melibatkan hati, rasa, jemari dan seluruh indra yang ada. Sugesti yang positif akan melahirkan aksi yang positif demikian pula sebaliknya. Cak Inin mengatakan bahwa “Menulis itu semudah bicara”. Anda bicara lalu rekam dengan handphone (Writter plus atau  Color Note) lalu edit maka jadilah tulisan. Karena itulah kemudian Cak Inin menyarankan kita untuk menulis apa saja  yang kita dengar, kita lihat, kita baca dan kita rasakan.

KETIGA Kenali potensi diri, apakah kita suka menulis buku bisnis,  agama, pendidikan, atau fiksi seperti novel, cepen, puisi dan sebagainya. Dengan mengenali potensi diri maka akan mempermudah kita dalam menulis. Namun tentu saja potensi ini tidak akan bermakna jika tidak dilatih secara terus menerus, karena itu kita harus terus berlatih menulis dan menulis.

KEEMPAT Banyak membaca. Kompetensi menjadi seorang penulis bisa didapatkan dari berbagai macam cara, bisa melalui pengalaman atau pengetahuan dengan banyak membaca buku. Dengan kedua hal ini maka karya yang kita tulis bisa lebih kaya dan menarik.

Tentu tidak semua dari kita memiliki waktu luang karena kita harus membaginya dengan profesi atau pekerjaan yang kita geluti, misalnya saya sebagai seorang guru yang harus disibukkan dengan kegiatan rutin d sekolah, mendesain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi sampai membuat tindak lanjut untuk program pembelajaran selanjutnya, karena itu kita harus pandai membagi waktu.

Dengan kesibukan tersebut, kita harus pandai “mencuri” waktu untuk mengumpulkan ide yang nantinya akan menjadi sebuah tulisan. Kita harus mampu untuk merekam setiap peristiwa atau kejadian yang ada di sekitar. Hal ini selanjutnya bisa dijadikan sebagai materi atau ide dalam mendesain sebuah karya tulis. Bagaimana cara melakukannya? Manfaatkan handphone kita untuk merekam peristiwa atau kejadian di sekitar lalu tulis point-point penting dengan menerapkan rumus 5W + 1H. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan menulis di buku catatan atau langsung bicara dan direkam menggunakan handphone.

Di samping itu kita harus bisa menentukan waktu yang tepat untuk menulis karena setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang bisa menulis di waktu shubuh setiap selesai sholat dan ada juga yang merasa nyaman jika menulis sebelum tidur. Kembangakan pokok-pokok tulisan menjadi tulisan yang baik, enak dibaca dengan kalimat pendek, sederhana yang mudah dipahami dan gunakan istilah umum.

Selanjutnya tampilkan tulisan yang kita miliki dengan  gaya tersendiri (trade Mark), karena setiap orang tentu saja memiliki style dan gaya yang berbeda-beda. Kemudian hal penting yang perlu kita pahami adalah jangan membatasi jumlah halaman, mengalir saja, tulislah sebanyak-banyaknya. Jangan menulis sambil mengedit. Tulis saja sampai selesai baru kita edit sampai benar-benar bagus sesuai dengan EYD / EBBI. Kemudian selanjutnya kita harus mempelajari bagaimana buku itu diterbitkan.

Adapun langkah-langkah menyiapkan naskah tulisan untuk diterbitkan adalah: (a) menyiapkan cover buku; (b) membuat Judul yang menarik perhatian pembaca; (c) Apa saja yg harus dikirim ke penerbit dari naskah / tulisan kita menjadi buku; (d). Siapkan kata pengantar; (e) Daftar Pustaka; (f) Biodata penulis; (g) Sinopsis untuk cover buku bagian belakang yang berisi, inti dari isi buku,  kelebihan buku kita dan untuk promosi; (h) Semua jadikan 1 file kirim ke ke penerbit melalui email dan WhatsApp.

Mengenal Penerbit

Penerbit buku ada macam yaitu penerbit Mayor dan kedua penerbit Indhie. Apa perbedaanya?

1.  Perbedaan dari Jumlah Cetakan.  Penerbit mayor  mencetak bukunya secara masal. Biasanya cetakan pertama sekitar 3000 eksemplar atau minimal 1000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku. Sementara Penerbit indie : hanya mencetak buku apabila ada yang memesan atau cetak berkala yang dikenal dengan POD ( Print on Demand) yang umumnya didistribusikan melalui media online Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, WA grup dan sebagainya.

2.  Perbedaan dari Naskah yang Diterbitkan. Penerbit mayor naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum menerbitkan sebuah naskah. Tentu saja, menyambung dari poin yang pertama, penerbit mayor mencetak bukunya secara masal 1000 - 3000 eksemplar. Mereka ekstra hati-hati dalam memilih naskah yang akan mereka terbitkan dan tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Penerbit mayor memiliki syarat yang semakin ketat, harus mengikuti selera pasar, dan tingginya tingkat penolakan. Penerbit indie tidak menolak naskah. Selama naskah tersebut sebuah karya yang layak diterbitkan; tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri, tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, naskah tersebut pasti diterbitkan.

3.  Perbedaan dari profesionalitas. Penerbit mayor tentu saja profesional dengan banyaknya dukungan Sumber Daya Manusia di perusahaan besar mereka. Penerbit indie pun profesional, tapi sering disalah artikan. Banyak sekali anggapan menerbitkan buku di penerbit indie asal-asalan, asal cetak-jadi-jual. Sebagai penulis, harus jeli memilih siapa yang akan jadi penerbit. Jangan tergoda dengan paket penerbitan murah, tapi kualitas masih belum jelas. Mutu dan manajemen pemasaran buku bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Kadang murah Cover kurang bagus, kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper (kertas coklat halus).

4.  Perbedaan Waktu Penerbitan. Penerbit mayor pada umumnya sebuah naskah diterima atau tidaknya akan dikonfirmasi dalam tempo 1-3 bulan. Jika naskah diterima, ada giliran atau waktu terbit yang bisa cepat, tapi ada juga yang sampai bertahun-tahun. Karena penerbit mayor adalah sebuah penerbit besar, banyak sekali alur kerja yang harus mereka lalui. Bersyukur kalau buku bisa cepat didistribusikan di semua toko buku. Namun, jika dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, maka buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit. Penerbit indie tentu berbeda, penerbit akan segera memproses naskah yang diterima dengan cepat. Dalam hitungan minggu sudah bisa terbit. Karena memang, penerbit tidak fokus pada selera pasar yang banyak menuntut ini dan itu. Penerbit menerbitkan karya yang penulisnya yakin karya tersebut adalah karya terbaiknya dan layak diterbitkan sehingga tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.

5.  Perbedaan dari Royalti. Penerbit mayor kebanyakan penerbit mayor mematok royalti penulis maksimal 10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku. Penerbit indie umumnya 15-20%  dari harga buku. Dipasarkan dan dijual penulis lewat facebook, Instagram, whatApp grup, Twitter, status, dan sebagainya

6. Perbedaan Biaya penerbitan. Penerbit mayor biaya penerbitan gratis. Itulah sebabnya mereka tidak bisa langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus oleh mereka. Seperti yang sudah disebut di atas, penerbit mayor memiliki pertimbangan dan tuntutan yang banyak untuk menerbitkan sebuah buku karena jika buku tersebut tidak laku terjual, kerugian hanya ada di pihak penerbit. Penerbit indie berbayar sesuai dengan aturan masing-masing penerbit. Antara penerbit satu dengan yang  lain berbeda. Karena pelayanan dan mutu buku yang diterbitkan tidak sama.

Contoh penerbit mayor adalah Gramedia Pustaka Utama, Mizan, Republika, Grasindo, Loka Media, Tiga Serangkai, Bentang Pustaka, Erlangga, Yudhistira,  Andi Yogyakarta dan lain sebagainya.

Mengenal penerbit Kamila Press Lamongan

Kamila Press Lamongan merupakan penerbit Indhei  yang melayani cetak buku , jasa lengkap dengan jasa desain cover buku,   Lay out,  editing dan ISBN. Jasa Penerbitan Kamila Press Lamongan dengan harga terjangkau.  Kamila Press Lamongan   melayani seluruh Indonesia. Dalam tahun 2020 sebagai penerbitan tahun perdana yang berjalan mulai  September sampai dengan Desember 2020 telah menerbitkan 20 buku para guru dari pulau Jawa, NTT, Kalimantan, dan Sumatera.

Syarat-syarat penerbitan di KAMILA PRESS LAMONGAN yaitu: (1) Kirimkan naskah lengkap mulai judul, kata pengantar, daftar isi, naskah lengkap sesuai urutan daftar isi, daftar pustaka, biodata penulis dengan foto dan Sinopsis; (2) Ketik  A5 ukurannya 14,8 x 21 cm, spasi 1,15 ukuran fon 11 dan margin kanan 2 cm, kiri 2 cm, atas 2 cm dan bawah 2 cm. Gunakan huruf Arial, calibri atau  Cambria dan masukkan dalam 1 file kirim ke WA atau email gusmukminin@gmail.com. Selain mendapat fasilitas buatkan cover buku, layout, edit dan ISBN penulis juga dapat PO (Pre Order) buku / promo buku dengan harganya serta dapat sertifikat dari penerbit yang kerja sama dengan pencetakan.

Demikian paparan Cak Inin yang dapat saya ramu dan racik dari pertemuan malam ini. Jika ada yang kurang tentu ini menjadi peluang bagi bapak ibu pembaca untuk memberikan masukan agar resume ini menjadi lebih baik lagi. Mari terus bersemangat, menorehkan karya sebagai warisan untuk anak cucu.

Kamis, 21 Januari 2021

MEMBONGKAR RAHASIA MENJADI PENULIS PRODUKTIF (Pertemuan 7)

Alhamdulillah di pertemuan ke 7 ini Senin 18 Januari 2021 kita masih diberikan anugerah kesehatan sehingga masih bisa bersilaturrahmi di majlis “Belajar Menulis Gelombang 17”. Kita berharap pertemuan demi pertemuan bisa kita lalui dengan semangat. Semangat ini perlu kita rawat, jaga, dan pertahankan, sebab secara fitrah “semangat” ini tidak ubahnya seperti “hati” yang dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Qolb yang berarti “membalikkan” atau “memalingkan”. Dari sini kemudian kita bisa memahami bahwa hati bersifat inkonsisten demikian pula dengan semangat, karena itu kita berharap semoga semangat ini terus menemani hingga aktivitas menulis menjadi bagian dari hidup kita.

Adapun narasumber hebat malam ini adalah Ibu Noralia Purwa Yunita, M.Pd, seorang nara sumber yang memiliki “jam terbang” luar biasa tinggi. Beliau sehari-hari adalah seorang pendidik di SMP Negeri 8 Semarang. Ibu Nora saat ini sudah menjadi penulis hebat yang karyanya tembus ke Penerbit Mayor PT Andi Offset, hebat bukan? Sudah pasti hebat karena beliau adalah alumni “Belajar Menulis Gelombang 8” yang merupakan hasil didikan Omjay dan Tim.

Menu perkuliahan yang disuguhkan malam ini adalah “Produktif Menulis Buku”. Menu ini cukup menggugah selera belajar menulis saya, karena saya mengaggap menu ini akan menyajikan trik dan tips lezat menulis produktif untuk mengasilkan sebuah buku. Materi yang disampaikan nara sumber malam ini begitu detail, isinya daging semua sehingga saya agak kesulitan membuat resume memilah dan memilih pont penting mana yang harus saya tulis.

Malam ini nara sumber membantu kita untuk membongkar rahasia menjadi penulis yang produktif. Produktif dalam menulis tentu saja bukan hal yang mudah, penulis yang produktif akan terlihat dari sejumlah karya tulis yang dihasilkannya dalam durasi waktu singkat karena itulah kemudian menjadi penulis produktif membutuhkan keistiqomahan dalam menghasilkan sebuah karya.

Berdasarkan pemaparan nara sumber, bahwa ada 5 trik yang dapat kita lakukan jika ingin menjadi penulis produktif yang menghasilkan beberapa karya dalam waktu singkat.

PERTAMA,  Mengikuti program menulis antologi atau kolaborasi. Program menulis ini sebagai langkah awal untuk menyadarkan kita bahwa setiap orang memiliki potensi diri. Jika kita masih merasa belum “percaya diri” misalnya menulis solo, maka setidaknya kita memilih alternative mengikuti program menulis antologi atau kolaborasi. Manfaat lain dari mengikuti program menulis kolaborasi adalah kita tidak terbebani menulis terlalu banyak bab untuk dijadikan buku. Di samping itu tentu kita akan banyak belajar dari pemikiran-pemikiran penulis lain.

KEDUA, Menulis setiap hari di blog. Menulis tiap hari tentu tidak mudah namun bukan berarti kita tidak berpeluang untuk dapat melakukannya. Menulis tiap hari menuntut  konsistensi dan keistiqomahan kita. Hal ini bisa kita capai jika kita mau mencoba dan terus berlatih. Seperti yang dilakukan nara sumber ketika menjadi “anak didik” Omjay, setiap hari menulis di blog dan tulisan-tulisan ini dikumpulkan dan diracik dengan melakukan perbaikan di sana sini sehingga menghasilkan sebuah buku yang diberi judul “Jurus Jitu menulis dan berprestasi” yang merupakan kumpulan resume dari pelatihan bersama Om Jay

KETIGA, Menulis di media social. Di samping rajin menulis di blog, kita juga bisa memanfaatkan media social misalnya dengan membuat status di Facebook atau instagram. Tulislah hal-hal menarik seperti cerita motivasi, pengalaman pribadi ataupun cerpen. Jika kita bisa konsisten menulis tiap hari, maka itu sangat mudah untuk kemudian dikumpulkan dan dibukukan.

KEEMPAT Menulis buku harian. Produktif menulis bisa juga kita lakukan dengan memanfaatkan diary atau buku harian. Kita bisa mencurahkan semua rasa yang kita miliki di buku harian, baik sedih, senang atau apapun yang kita rasakan. Jika catatan harian ini sudah terkumpul, maka kita bisa merubah cerita dalam catatan itu ke dalam karya fiksi atau pengalaman pribadi yang selanjutnya bisa dibukukan.

KELIMA  undang siswa untuk menulis. Jika kita berprofesi sebagai seorang guru, kita bisa memberikan tugas kepada siswa menulis pusi, cerpen atau pantun dengan tema tertentu. Jika karya-karya tersebut sudah terkumpul tentu selanjutnya bisa didokumentasikan dalam bentuk buku. Di samping itu cara lain yang bisa kita lakukan misalnya dengan membuat Grup menulis lalu undanglah siswa untuk bergabung dan berkontribusi dalam bentuk membuat karya tulis. Agar terarah, kita bisa menentukan tema tulisan yang bisa dipilih oleh siswa. Karya tulisan yang terkumpul di grup ini selanjutnya tentu saja bisa kita dokumentasikan dalam bentuk buku.

Bagaimana teknik menulis buku?

Pertanyaan ini perlu kita pahami jawabannya agar karya yang nantinya kita hasilkan bisa menjadi karya yang berkualitas. Lalu apa saja teknisnya? (1). Tentukan tema buku yang akan ditulis; (2) Buatlah Outline / TOC/ Daftar isi; (3) membuat jadwal berdasarkan outline; (4) Mulai menulis berdasarkan outline yang sudah dibuat; (5) melakukan revisi dengan bantuan yaitu minta beberapa teman membaca naskah yang ditulis untuk bisa menemukan kesalahan-kesalahan terutama dalam penulisan; (6) Terakhir penerbit, Setelah semua tahapan sudah dilalui, maka tahapan yang terakhir adalah masuk ke penerbit.

Bagaimana membuat daftar isi yang baik?

Sebelum mulai menulis karya, kita harus membuat daftar isi karena hal ini sangatlah penting. Beberapa alasan pentingnya pembuatan daftar isi adalah (1) daftar isi merupakan kerangka pikiran dalam menuangkan setiap ide dalam buku yangg akan ditulis; (2) daftar isi membantu kita menjabarkan tiap bab dan sub bab dalam buku; (3) daftar isi membantu kita memahami secara utuh awal dan akhir dari buku yang akan kita tulis; (4) Membantu kita dalam mencari referensi / pustaka yang kita butuhkan; (5) Agar tulisan dalam buku lebih terfokus dan tidak sampai keluar dari topic bahasan; (6) Dan yang paling penting, daftar isi  membantu kita untuk membuat target kapan buku itu harus selesai. Misalnya jika kita memiliki 5 bab dalam daftar isi, kita mungkin dapat menargetkan kelima bab ini harus selesai dalam 5 bulan. Berarti 1 bab harus selesai dalam 1 bulan. Dengan adanya target tersebut, tentu kita akan mudah untuk menyelesaikan buku dalam durasi waktu yang singkat.

Membuat daftar isi yang baik harus menentukan dulu jenis naskah yang akan dipublikasikan, apakah naskah tersebut fiksi atau non fiksi. Jika naskah tersebut non fiksi maka formula yang digunakan adalah  2W+ 1H, artinya rangkaian bab pada buku yang akan ditulis harus mendeskripsikan jawaban dari pertanyaan WHY, WHAT, dan HOW. Dengan demikian, maka harus dipartisi menjadi 3 bagian,  bab awal mendeskripsikan jawaban untuk pertanyaan “WHY”.

Selanjutnya bagian bab kedua menjawab WHAT (apa) artinya bab tersebut menjelaskan pengertian, jenis, atau mungkin ciri khusus dari apa yang akan kita tulis di buku tersebut. Sebagai contoh: jika kita menulis tentang “Mengenal Media”, maka perlu pertanyaan turunan yaitu “Apa Itu Media” lalu apa jenis-jenisnya dan sebagainya.

Adapun bab berikutnya yang biasanya merupakan bab akhir, biasanya menjawab HOW (bagaimana). Nah, untuk menjawab HOW ini, dapat dibuat lebih dari 1 bab karena How meliputi tahap pembuatan, pelaksanaan, penerapan, hasil dan kelebihan serta kekurangan. Misalnya Penerapan Model Pembelajaran TGT, lalu bagaimana implementasinya, skenarionya, hubungannya dengan model yang lain serta kelebihan dan kekurangannya.

Sedangkan naskah fiksi seperti novel, maka cara membuat daftar isi adalah dengan:

1. Tentukan prolog, Biasanya pengenalan tokoh, setting cerita, awal cerita. Biasanya di prolog ini belum ada konflik, alur juga belum terlalu terlihat karena masih merupakan bagian awal dari cerita

2. Tentukan konflik cerita, biasanya di bab-bab pertengahan sudah mulai muncul apa yang menjadikan konflik atau permasalahan dari cerita itu. Ini merupakan bab inti karena di dalamnya ada hikmah yang dapat diambil dari pembaca

3. Tentukan klimaks dari konflik. Ini biasanya masih ada di bab pertengahan yang merupakan puncak dari konflik yang terjadi.

4. Tentukan solusi dari konflik yang ada. Ini merupakan bagian bab sebelum akhir bab. Biasanya penulis menyajikan solusi permasalahan dari konflik.

Nah inilah rahasia untuk menjadi penulis produktif. Jika anda ingin menjadi penulis produktif yang bisa menyelesaikan penulisan buku dalam durasi singkat tanpa mengabaikan kualitas, maka tips dan trik yang dipaparkan di atas menjadi menu wajib yang harus dipedomani. Demikian hasil dari resume pertemuan ke 7 yang bisa saya ramu dari pemaparan nara sumber. Mungkin jika ada hal yang terlewat, mohon kiranya diberikan catatan di kolom komentar. Saran dan masukkan anda menjadi solusi terbaik agar tulisan ini menjadi lebih baik.

Selasa, 19 Januari 2021

GURU MILLENIAL MENULIS DI BLOG (Pertemuan ke 6)

Hari ini Jumat 15 Januari 2021 merupakan pertemuan ke 6 kegiatan belajar menulis yang dimotori Omjay. Semoga pertemuan demi pertemuan bisa kita lalui dengan semangat. Kegiatan ini sungguh luar biasa, bisa mempertemukan kita dalam satu wadah yang dimana kita berasal dari daerah yang berbeda-beda, kita berasal dari tempat yang berjauhan bahkan kita tidak pernah saling berjabat tangan. Namun jarak yang jauh, daerah yang berbeda-beda tidak lagi menjadi sekat yang membatasi sebuah silaturrahmi. Sebab kecanggihan teknologi saat ini senantiasa memberikan ruang kepada kita untuk tetap berjumpa, saling mengenal dan bersilaturrahmi. 

Materi pertemuan kali ini disuguhkan oleh nara sumber yang luar biasa beliau adalah Ibu Theresia Sri Rahayu, S.Pd. SD. Adapun menu yang disuguhkan malam ini adalah “Blog Sebagai Identitas Digital bagi Guru Millenial”. Tidak diragukan lagi Ibu Theresia memiliki kompetensi yang mumpuni di bidang pendidikan, hal ini bisa kita telusuri dari ide-ide yang dituangkan di blog, nampaknya inilah pesan yang ingin disampaikan nara sumber dengan menyuguhkan tema malam ini, bahwa seorang guru sejatinya mampu menjadikan blog sebagai identitas digital. Nah dengan begitu kita bisa dengan cepat mengenal atau mengetahui tentang seseorang di era digital ini. Hanya dengan mengklik tautan atau mungkin hanya dengan menulis “kata kunci”
 menggunakan mesin pencarian google.

Sebagai seorang guru yang ditakdirkan hidup di era digital ini, saya sejatinya harus bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi dalam melakoni peran saya sebagai seorang pendidik. Kecanggihan teknologi ini memberi dampak yang cukup positif bagi perkembangan pendidikan. Karena pendidikan dan semua komponen di dalamnya cenderung bersifat dinamis. Sebagai contoh, sebelum masa pandemi Covid-19  pembelajaran bisa kita lakukan dengan tatap muka dan ketika pandemi mulai menebar terror kita pun dipaksa untuk menutup sekolah-sekolah dan pembelajaran mulai bergeser memanfaatkan teknologi dengan system daring.

Guru millennial yang hidup di era digital ini tentu saja akan mampu mendesain pembelajaran dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, berbeda halnya dengan guru “Kolonial” istilah yang saya gunakan untuk guru yang tidak mampu memanfaatkan kemajuan teknologi justru akan tergilas. Namun terror yang ditebar Covid-19, dari sisi yang berbeda justru memberi dampak positif bagi guru “kolonial” sebab “mereka” dipaksa untuk melaksanakan pembelajaran dengan “daring”, dengan demikian secara otomatis  harus belajar untuk mengakrabkan diri dengan teknologi.

Pembelajaran “ala korona” yang saat ini kita lakukan akan menjadi semacam percepatan bagi seorang guru untuk mengasah kompetensi digital. Mengapa harus memiliki kompetensi tersebut? karena saat ini kita sudah memasuki abad 21 di mana salah satu jenis keterampilan yang harus dimiliki baik oleh guru maupun siswa adalah Literasi. Dan salah satu literasi dasar yang harus dimiliki adalah Literasi Digital. Di samping itu, siswa yang kita hadapi saat ini adalah siswa generasi milenial yang tentu saja mempunyai kecakapan digital karena mereka tumbuh dan akrab dengan kemajuan teknologi yang ada di lingkungan sekitarnya.

Sebagai langkah awal bagi kita yang ditakdirkan hidup di era milenial ini, setidaknya bisa memanfaatkan blog sebagai media untuk mengasah kompetensi digital. Apa yang harus kita lakukan di blog? Kita berlatih untuk menulis, menulis apa saja, menulis apa yang kita rasakan, menulis apa yang kita pikirkan, terlebih lagi menulis yang berkaitan langsung dengan tugas pokok kita sebagai seorang guru misalnya dengan menulis materi pembelajaran, model dan desain pembelajaran, teknik evaluasi dan sebagainya.

Lalu bagaimana caranya membuat konten blog yang menarik dan berkualitas ? tips untuk membuat konten blog yang menarik dan berkualitas adalah (1) hindari plagiasi; (2) mudah dipahami dan diterapkan; (3) buatlah kontens yang singkat, padat, dan jelas; (4) mengkombinasikan tulisan dengan gambar, animasi atau video; (5) kontennya harus kekinian (up to date); (6) hindari konten yang berbau hoaks; (7) ciptakan  Engaging  Content: (8) lakukan swa editing untuk menghindari typo.

Jika konten yang kita buat sudah mengacu pada tips tersebut, maka langkah berikutnya adalah kita harus mengoptimalkannya lagi dengan menjadikan blog yang kita buat sebagai sebuah ruang kelas di mana siswa bisa mengakses materi pembelajaran, link video pembelajaran, soal-soal latihan dan semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran.

Saya kira ini ilmu hasil racikan yang dapat saya paparkan dari menu materi yang disuguhkan nara sumber malam ini. Mungkin masih banyak bagian dari ilmu yang dipaparkan nara sumber belum tertuang dalam resume ini, dan tentunya ini bagian dari peluang para pembaca Pelatihan Belajar Menulis Gelombang 17 untuk berbagi ilmu agar paparan resume ini menjadi lebih lengkap.

Senin, 18 Januari 2021

SEMANGAT MENULIS DAN BUDAYA LITERASI (Pertemuan ke 5)

Alhamdulillah hari ini Jumat 13 Januari 2021 perkuliahan para pegiat literasi memasuki hari yang ke 5. Tidak terasa kita sudah disuguhkan ilmu dan pengalaman luar biasa dari para nara sumber. Hari ini menu perkuliahan disuguhkan bapak Bambang Purwanto, S.Kom., G
r. atau akrab dengan sapaan “Mr. Bams”.
 Pertemuan kali ini mengangkat tema “ Menebarkan Semangat Hobi Menulis untuk Gerakan Literasi Sekolah”.

Sebagai seorang yang sudah terlanjur jatuh cinta pada dunia tulis menulis, sejatinya semangat menulis tidak sebatas keinginan memiliki blog pribadi yang selalu ramai dikunjungi, atau tidak sebatas menuangkan ide-ide hebat pada halaman-halaman buku namun jauh yang lebih hebat dan luar biasa dari semua itu adalah kita mampu menjadikan hobi ini semacam lokomotif yang akan menggerakan semangat literasi di lingkungan masing-masing.  

Hal inilah yang dilakukan Mr. Bams, menjadikan hobi menulis sebagai pondasi untuk membangun budaya literasi yang dimulai dari lingkungan sekolah. Gerakan yang dilakukan Mr. Bams dimulai sejak tahun 2015 dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diinisasi oleh Anis Baswedan. Adapun program literasi yang dilakukan Mr. Bams ketika itu adalah melaksanakan kegiatan Gerakan 15 menit membaca sebelum belajar.

Mr. Bams membuat program literasi mingguan dengan kegiatan Senin Membaca Kitab Suci (SMKS), kemudian hari selasa-kamis membaca buku non pelajaran dan pada hari Jumat ada kegiatan yang diistilahkan dengan Jumat Ayo Menulis (JAM). Program ini sesungguhnya menjadi benih yang nantinya diharapkan menjadi semacam budaya yang dilakukan secara konsisten oleh warga sekolah.

Dalam rangka mengevaluasi program ini, maka dibuat alat evaluasi berupa table dengan indikator capaian yang benar-benar terukur untuk melihat perkembangan membaca dan menulis yang dilakukan oleh seluruh siswa di sekolah. Program ini tentu saja akan memetakan siswa setidaknya menjadi  kelompok, ada siswa yang memang dengan niat yang ikhlas mengikuti program ini, ada juga siswa mengikuti program ini karena keterpaksaan. Namun jika program ini secara terus menerus dilaksanakan dan menjadi semacam “pembiasaan” di sekolah, maka siswa yang awalnya merasa terpaksa lambat laun akan menikmati program ini.

Semangat literasi dalam pandangan agama juga memiliki posisi yang cukup strategis. Kita bisa lihat misalnya dalam kajian agama (baca: Islam) bahwa ayat atau pesan pertama kali yang disampaikan Allah SWT kepada manusia adalah perintah untuk membaca (lihat QS al ‘Alaq 1-5). Perintah membaca ini bersifat umum, Tuhan dalam QS al ‘Alaq ayat 1 memerintahkan membaca apa saja, tidak sebatas teks tertulis. Menikmati keindahan alam, keindahan langit dengan bintang yang bertaburan sesungguhnya adalah proses membaca. Maka point penting yang ingin disampaikan al Quran dalam konteks ini adalah bagaimana kita bisa menjadikan membaca sebagai sebuah aktivitas yang membudaya.

Sabtu, 16 Januari 2021

KIAT MENULIS KILAT (Pertemuan 4)

Hari ini Senin 11 Januari 2021 perkuliahan para pegiat literasi sudah memasuki pertemuan ke 4. Tidak terasa 16 pertemuan lagi kita akan menyelesaikan perkuliahan ini, tentu kita berharap setelah ini akan benar-benar mewarisi ilmu yang disuguhkan Omjay dan Tim karena itulah kemudian ayo kita manfaatkan pertemuan demi pertemuan untuk “menikmati setiap menu ilmu” yang disuguhkan.

Adapun menu pertemuan kali ini adalah “Pengalaman Menjadi Penulis Buku Kilat” yang disuguhkan oleh Ibu Eva Hariyati Israel, S.Kom nara sumber nasional yang sudah pasti kepiawaiannya dalam menulis tidak diragukan lagi. Betapa tidak! Beliau menulis buku dalam durasi yang sangat singkat, hanya dalam waktu 7 hari.

Setiap orang memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam menulis. Karena itu kita harus memiliki  motivasi yang jelas sebelum menuangkan ide-idenya dalam rangkaian kata yang akan kita tulis. Mengingat pentingnya pesoalan ini, maka hampir setiap narasumber sebelum menyampaikan materi selalu menanyakan terlebih dahulu motivasi dalam menulis. Pada pertemuan ke 4 ini, nara sumber pun di awal penyampaian materi menanyakan hal yang sama. Apa motivasi anda dalam menulis?

Menu yang disuguhkan pada pertemuan kali ini cukup “mengagetkan” otak saya, betapa tidak bayangkan saja Bu Eva yang menurut cerita beliau termasuk baru memulai dalam dunia tulis menulis atau bisa dikatakan masih pemula. Namun ternyata mampu menulis dan melahirkan sebuah buku dalam durasi waktu yang teramat singkat. Hanya 7 hari, mungkin tidak? Tapi ternyata pertanyaan ini dijawab oleh Ibu Eva dengan jawaban yang juga mengagetkan, “MUNGKIN”.

Saya menjadi semakin penasran bagaimana beliau bisa melakukan hal ini. Untuk mengobati rasa penasaran tersebut saya mencoba untuk mengolah dan meramu setiap pemaparan yang disampaikan Ibu Eva. Setelah meramu dan mengolah penyampaian materi Ibu Eva, setidaknya saya bisa menyimpulkan bahwa ada 5 hal yang harus kita siapkan:

PERTAMA, Niat yang Kuat. Langkah yang pertama dan utama sebelum mulai menulis tentu saja kita harus memastikan bahwa kita memiliki niat yang kokoh. Niat yang kokoh ini sangat berpengaruh terhadap seberapa tangguh nantinya kita menyelesaikan tahapan-tahapan dalam menulis. Karena itulah kemudian niat sangat perlu kita tata dengan baik sebelum mulai menulis.

KEDUA, Menghargai Potensi Diri. Bahasa lain dari menghargai potensi diri adalah bahwa kita harus memiliki rasa percaya diri. Hal ini menjadi sangat penting sebab komponen ini akan menjadi semacam kekuatan bagi kita untuk menerima sebuah tantangan. Hal inilah yang dimiliki Ibu Eva ketika ditantang untuk menulis dengan durasi waktu satu minggu. Awal mula ragu, namun ketika percaya diri ditonjolkan, maka rasa psimis akan berubah menjadi optimisme yang tinggi

KETIGA, Fokus. Setiap pekerjaan tentu saja membutuhkan konsentarsi tinggi yang dalam hal ini saya menggunakan istilah “fokus”. Dalam menulis kita juga harus bisa fokus agar tujuan yang sudah kita desain sejak awal bisa direalisasikan dengan baik.

KEEMPAT, Konsisten yang dalam istilah agama sering kita kenal dengan sebutan “Istiqomah”. Istiqomah ini menjadi sangat penting sebagai tambahan menu yang harus kita miliki ketika menulis. Kita masih ingat bukan materi pertama yang disampaikan Omjay? Omjay sering sekali menjelaskan bahwa menulis tiap hari akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa. Kita akan menjadi seorang penulis professional jika menulis tiap hari ini bisa kita terapkan. Inilah kekuatan “istiqomah” sehingga wajar lah kemudian dalam agama sering kita mendengar sebuah ungkapan: “Istiqomah itu lebih baik dari seribu orang yang memiliki karomah”

KELIMA, Merumuskan Target. Di samping keempat hal di atas, saya bisa memaparkan disini bahwa Ibu Eva juga merumuskan target untuk bisa menulis buku dalam durasi 7 hari. Seperti yang dideskripsikan dalam blog pribadi beliau bahwa di hari pertama hal yang dilakukan adalah membuat mind mapping, hari kedua membuat daftar isi, hari ketiga membuat outline, hari keempat dan seterusnya mulai menuangkan ide-ide berdasarkan outline yang sudah dibuat dan hal yang paling penting dalam proses menulis adalah tuangkan semua ide-ide yang kita miliki tanpa harus melakukan proses editing terlebih dahulu agar ide-ide yang kita miliki bisa tersalurkan dengan utuh.

Kelima hal inilah yang bisa saya simpulkan dari hasil mengolah dan meramu penjelasan nara sumber dalam pertemuan kali ini. Tentu saja apa yang saya simpulkan dari pemaparan nara sumber ini tidak secara otomatis merepresentasikan semua pesan yang disampiakan narasumber, karena itulah kemudian saya berharap para pembaca yang budiman yang tergabung dalam gelombang 17 untuk memberikan kritik dan saran terutama Omjay dan Tim.

Sabtu, 09 Januari 2021

KONSEP "KAFIR" DALAM KERANGKA TEOLOGI KHAWARIJ

Pendahuluan

Islam adalah agama kedamaian yang menyeru pemeluknya hidup damai, karena itulah kemudian islam menyediakan prinsip-prinsip umum mengenai tata cara hidup perseorangan, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia demi menjamin perdamaian dan stabilitas keadilan ( lihat : Osman : h. xxvii ), namun sejarah mencatat ternyata banyak peristiwa-peristiwa dalam sejarah islam yang justru memudarkan kedamaian yang melekat pada islam. Islam pada sisi yang lain ternyata memiliki sejarah suram yang melahirkan perpecahan umat, dengan demikian fakta sejarah tersebut sangat kontras dengan semangat islam yang sejatinya  sebagai agama penebar rahmat bagi kehidupan ( rahmatan lil 'alamin ). Catatan hitam sejarah islam dimulai dengan peristiwa terbunuhnya Usman oleh oknum yang tidak puas terhadap kebijakan politiknya, yang kemudian selanjutnya berkembang menjadi kontak senjata antara pihak yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok penuntut balas kematian Usman, yang dalam hal ini adalah Siti Aisyah dan Muawiyah bin Abu Sufyan.  Kedua kelompok ini kemudian melakukan kontak senjata dengan pasukan pemerintah yang sah yaitu Ali bin Abu Tholib. Siti Aisyah terlibat kontak senjata dengan Ali pada perang Jamal, sementara Muawiyah bin Abu Sufyan adu senjata dengan pasukan Ali pada perang Shiffin.

Perpecahan dan pertikaian yang berlarut-larut di kalangan umat islam inilah yang kemudian menjadi isue teologis yang serius, sehingga menyebabkan munculnya sekte-sekte dalam islam yang sekaligus menjadi daftar awal munculnya firqah teologis dalam islam. Sebut saja Khawarij di mana kelompok ini menjadi embrio yang melahirkan sekte-sekte teologis dalam islam, walaupun dalam sejarah kelompok ini lebih nampak sebagai sebuah gerakan politis, namun isue politik ini justru membias menjadi persoalan teologi yang begitu serius bahkan memancing lahirnya sekte-sekte teologi lainnya. Khawarij dengan begitu radikal melegalisasikan istilah "kafir" kepada setiap orang yang berhaluan gerakan dengan mereka. Kafir tidak lagi milik orang-orang yang ada di luar islam, namun kafir menjadi "mungkin" menurut Khawarij untuk orang-orang islam sendiri. Lalu bagaimana sebenarnya konsep kafir yang dikembangkan Khawarij dan mengapa Khawarij memiliki pandangan seperti itu???

Lintas Sejarah Khawarij
Khawarij adalah sebuah aliran teologi, di mana istilah "khawarij" berasal dari kata kharaja bentuk jama' dari kata kharij  yang berarti keluar dan memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Tholib ( lihat : Ghazali : hal 157), Pemisahan diri ini tentu saja merupakan bentuk ketidaksepahaman mereka terhadap kebijakan Ali yang menerima arbitrase, bahkan Asy Syarastany menyebutnya sebagai sebuah pemberontakan terhadap imam sah yang diakui rakyat. ( lihat : Ghazali hal. 57). Watt menyebutkan bahwa pasca terbunuhnya Usman di Madinah tahun 656 M merupakan titik awal yang tepat untuk studi pemikiran islam khususnya studi tentang Khawarij (  lihat : Watt hal 9 ), karena itulah kemudian ulasan sejarah kemunculan Khawarij ini penulis mulai dari tragedi pasca terbunuhnya khalifah Usman.

Ali yang dinobatkan sebagai pengganti Usman sebagai khalifah dituntut untuk mengambil langkah dalam upaya menghukum orang-orang yang harus betanggung jawab atas kematian Usman, namun ketika itu Ali tidak mengambil kebijakan yang konkrit dalam menyelesaikan secara hukum kasus kematian Usman, sehingga akhirnya munculah dua kekuatan besar yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok yang akan menuntut balas kematian Usman. Mereka itu adalah kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan dan kelompok Aisyah, Talhah, dan Zubaer. Kelompok Aisyah  melakukan kontak senjata dengan Ali pada perang Jamal, walaupun kelompok ini menurut Watt mengklaim hendak menegakan penerapan hukum terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan secara adil, tampaknya mereka tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas dan mungkin lebih dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ( lihat : Watt hal 13 ). Kepentingan-kepentingan tersebut nampak dari apa yang dikemukakan Syalabi bahwa penuntutan bela yang dilakukkan Aisyah atas kematian Usman pada dasarnya dipengaruhi tiga faktor yaitu : 1). Sejak dulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah terutama pada peristiwa Haditsul Ifk dimana pendirian Ali memberatkan Aisyah ; 2). Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah. Lama Ali baru kemudian memberiakan bai'ahnya kepada Abu Bakar. Sekarang mengapa Aisyah akan lekas saja membai'ah Ali, dan mengapa akan dibiarkannya saja Ali menikmati jabatan tersebut? ; dan 3). Faktor yang lebih penting adalah terkait Abdullah bin Zubaer yaitu putra saudarinya Asma yang diangkat menjadi anak oleh Aisyah, karena telah ditakdirkan Tuhan, Aisyah tidak dikaruniai anak. Abdullah bin Zubaer memiliki ambisi menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya terhalang Ali, maka dihasutnyalah Aisyah - bibinya - untuk menceburkan diri dalam peperangan melawan Ali. ( lihat : Syalabi hal 288). Faktor tersebut di atas tentu saja membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa kontak senjata yang dilakukan Aisyah ternyata banyak dipengaruhi kepentingan-kepentingan pribadi. Sebagai keluarga dekat, Aisyah yang sejatinya memberikan dukungan kepada Ali justru malah menjadi ancaman terhadap kelangsungan pemerintahan Ali bin Abi Tholib. 

Usai menghadapi pasukan Aisyah pada perang Jamal, ternyata tidak serta merta sebagai tanda usainya peperangan, namun sebaliknya justru pasukan Ali disambut kembali oleh pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian dikenal dengan perang Shiffin, akan tetapi kontak senjata ini berakhir di meja perundingan. Dua tokoh tampil masing-masing sebagai juru damai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah yakni Abu Musa Al Asyari dan Amru bin Ash ( lihat : Ghazali hal 161). Penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase ini ternyata tidak diterima sepenuhnya oleh sebagian pasukan Ali. Penyelesaian sengketa dengan cara ini bukan merupakan penyelesaian menurut apa yang diturunkan Tuhan, dengan demikian mereka yang menyetujui arbitrase itu telah menjadi kafir ( lihat : Harun hal 31). Mereka memandang Ali telah berbuat salah, karena itu mereka meninggalkan barisannya. Kelompok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai kaum Khawarij.

Dari sini kemudian terlihat jelas bahwa, isue politik yang semula berhembus seketika itu juga berubah menjadi isue teologi yang begitu serius, betapa tidak....!! label kafir yang sejatinya digunakan dengan sangat hati-hati, ternyata oleh Khawarij digunakan secara bebas. Khawarij mempertanyakan status keimanan orang-orang yang terlibat dalam arbitrase apakah mereka masih beriman ataukah sebaliknya telah menjadi kafir, sebab arbitrase menurut pandangan Khawarij telah menentang hukum Tuhan.

Konsep Kafir dalam kerangka teologi Khawarij
Persoalan pergantian tumpuk kepemimpinan pasca Rasulullah SAW merupakan titik sentral pertikaian yang berlarut-larut sepanjang sejarah islam. Khawarij yang tidak menyetujui penyelesaian sengketa antara Ali dan Muawiyah dengan jalan arbitrase, menuduh setiap orang yang terlibat dalam arbitrase itu sebagai orang-orang kafir dan telah keluar dari islam, sebab penyelesaian sengketa dengan jalan ini tidak dibenarkan Tuhan karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan, Khawarij memperkuat argumennya dengan surat al Maidah 44 "Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Tuhan adalah kafir". Ayat ini difahami secara harfiah oleh kaum Khawarij, hal ini disebabkan karena mereka berasal dari Arab Badui yang jauh dari ilmu pengetahuan, sehingga doktrin-doktrin dalam al Quran dan Hadits mereka fahami menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Karena itulah kemudian, iman dalam faham mereka merupakan pemahaman iman dalam konteks pemikiran yang sederhana dan sempit serta fanatik, sehingga mereka tidak bisa kompromi terhadap penyimpangan yang terjadi ( lihat : Harun hal 15 ). Label kafir pun selanjutnya begitu enteng diberikan kepada siapa saja yang menurut mereka menyimpang dari ajaran islam, termasuk kasus arbitrase yang melibatkan Ali dan Muawiyah yang menurut sudut pandang mereka telah menyimpang dari ajaran Islam,  sehingga mereka pantas dibunuh.
Kafir dan non kafir merupakan persolan mendasar dalam islam, sebab tidak seorang pun yang dapat memungkiri bahwa kafir dan non kafir atau dalam hal ini terkait konsep keyakinan merupakan inti yang paling esensial dari agama. Dengan demikian, jika persoalan-persoalan teologis yang dimunculkan dari pertikaian politik sebagaimana kasus Khawarij ini disimpulkan, ternyata yang menjadi inti paham Khawarij terutama berkenaan dengan "iman dan amal" ( lihat : Ghazali hal 164), yakni seseorang yang melakukan dosa besar apakah masih  mukmin atau kafir. Persoalan ini tentu saja menggiring kita pada kesimpulan bahwa istiah kafir bukan lagi untuk orang-orang di luar islam, namun istilah kafir juga menjadi mungkin untuk orang-orang islam sendiri. Lalu persoalannya kemudian adalah mengapa istilah kafir dalam teologi Khawarij secara radikal mengalami pergeseran makna??

Untuk memahami konsep kafir dalam teologi Khawarij, Toshihiko Izutsu  ( lihat : Izutsu hal 8-9 ) memberikan gambaran perbedaan konsep kafir versi al Quran dan versi Khawarij dengan sebuah lingkaran di mana konsep kafir versi al Quran memberikan perbedaan yang jelas antara muslim dan kafir. Semua muslim adalah anggota masyarakat dari masyarakat muslim dan seluruhnya berada di dalam lingkaran. Sementara mereka yang berada di luar lingkaran adalah mereka yang berlawanan dengan masyarakat yang berada di dalam lingkaran ( masyarakat kafir ) dan mereka yang berada di luar lingkaran tidak diizinkan memasuki lingkaran untuk menjadi bagian dari mereka yang berada di dalam lingkaran kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Gambaran ini menurut Izutsu merupakan konsep ideal yang dibangun untuk menunjukan konstruksi masyarakat muslim. Namun dalam kenyataannya, syarat formal yang ditetapkan  terhadap kelompok masyarakat yang berada di dalam lingkaran tidak ketat, menyebabkan banyak orang yang keyakinannya meragukan dapat dengan mudah masuk menjadi anggota masyarakat yang ada di dalam lingkaran. Dengan demikian masayarakat muslim yang berada di dalam lingkaran tidak lagi menjadi masyarakat muslim yang sejati karena telah dicemari dan terinveksi oleh "muslim-muslim yang meragukan", inilah konsep kafir berdasarkan kerangka teologi yang dibangun kaum Khawarij.

Penutup

Ketegangan politik yang berhembus pasca lengsernya pemerintahan Usman pada akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Penyelesaian sengketa antara Ali dan Muawiyah melalui jalan arbitrase dinilai Khawarij sebagai sebuah penyimpangan terhadap hukum Tuhan, sehingga vonis kafir menjadi pilihan yang tepat terhadap mereka yang terlibat dalam arbitrase. Dengan demikian, label "kafir" bukan lagi persoalan politik, namun mengarah menjadi persoalan teologi yang serius, sebab istilah "kafir" merupakan istilah yang senantiasa dikontraskan dengan "iman", sehingga persoalan "kafir" sesungguhnya menjadi wilayah yang sangat sensitif untuk dijamah.
Vonis kafir yang sejatinya diberikan kepada mereka yang berada di luar islam, ternyata oleh Khawarij direkonstruksi secara radikal, sehingga vonis kafir tidak hanya menjadi milik mereka yang berada di luar islam, akan tetapi berhak juga disandang oleh kaum muslim sendiri. Wallahu A'lam.

Referensi

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta : UI Press, 1996 )
____________, Teologi Islam ( Jakarta : UI Press, 1986 )
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 )
W. Montagomery Watt, Studi Islam Klasik, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1999 )
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994)
Muhammed Fathi Osman, Islam Pluralis & Toleransi Keagamaan, ( Jakarta : PISK Paramadina, 2006 )
Ahamd Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( Jakarta : Pustaka al Husna, 1990 )

MENGAKTIFKAN SKILL MENULIS DENGAN KEKUATAN SILATURRAHMI (Pertemuan 3)

Tidak terasa hari ini Jum’at 8 Januari 2021 merupakan pertemuan yang ketiga bagi para pegiat literasi dalam mengikuti kegiatan Belajar Menulis Gelombang 17 yang dinakhkodai Omjay. Omjay adalah actor dibalik program kegiatan ini, yang insha Allah akan menjadi ladang amal jariyah karena dengan ikhlas menebar ilmu dan manfaat untuk kita semua para pegiat literasi.  Semoga Omjay dan tim termasuk dalam golongan yang dititahkan nabi dalam sabdanya: "Bila seorang hamba meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfat, serta anak saleh yang senatiasa mendoakan kebaikan baginya.”

Pada pertemuan kali ini materi disuguhkan oleh Ibu Dra. Sri Sugiastuti, M.Pd yang akrab disapa  Bu Kanjeng dengan menu yang cukup menggelitik pikiran saya, “Menulis Dengan Kekuatan Silaturrahmi”. Judul ini spontan saja memaksa otak saya berpikir lebih dalam mencoba meresapi makna dari judul ini. Mengapa demikian? karena Tema yang disuguhkan kali ini berbeda dengan tema-tema sebelumnya.

Jika tema sebelumnya lebih menjurus kepada teknis menulis, maka tema pertemuan kali ini lebih pada "Ruh" atau muatan yang secara eksplisit tertuang dalam tulisan. Maka secara otomatis akan muncul pertanyaan: Bagaimana menulis dengan kekuatan silaturrahmi? Saya berusaha untuk menjawab rasa penasaran ini dengan mengqias (meminjam bahasa kaidah ushul fiqh) silaturrahmi dengan sodaqah.

Dalam agama (baca: islam), sodaqoh memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dalam membuka pintu rizki. Sodaqah pada hakikatnya tidaklah mengurangi harta benda yang kita berikan, namun justru akan menambah harta kita berkali-kali lipat. Hal ini misalnya bisa kita cermati dalam al Quran surat al An’am ayat 160. "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya". Dan sedekah merupakan amal yang baik. Jika kita bersadaqah Rp. 1000, maka minimal Allah akan menggantinya 10 kali lipat. Nah merujuk dari kekuatan sodaqah ini saya berusaha “menebak” maksud tema yang disuguhkan ibu kanjeng, bahwa jika kita mengaktifkafkan kekuatan silaturrahmi, maka skill menulis akan melejit.

Namun kesimpulan yang saya bangun tersebut belum juga mengobati rasa penasaran, maka dari itu saya mencoba meresapi kata demi kata yang disampaikan ibu Kanjeng melalui pesan di WhatsApp baik berupa kalimat-kalimat yang ditulis secara langsung maupun kalimat-kalimat yang disampaikan melalui pesan suara.

Ubahlah Mindset Anda!

Point penting yang pertama kali dikemukakan bu Kanjeng adalah bahwa seorang yang ingin menjadi penulis hebat harus mampu mengubah mindsetnya tentang potensi menulis yang dimiliki setiap orang. Banyak orang yang kemudian terhalang untuk menggali potensi tersebut karena menganggap bawa menulis itu adalah bakat sehingga mulai menyerah, tidak ada waktu untuk menulis, tidak ada ide, tulisan jelek, tidak percaya diri, dan sejuta alasan lainnya yang kemudian “membunuh” niatnya untuk menulis.

Di samping itu, orientasi menulis juga harus didesain ulang sebab banyak mungkin di antara kita belajar menulis semata-mata hanya   "berburu sertifikat " untuk kenaikan pangkat. Namun orientasi ini perlu didesain agar lebih menjurus pada upaya mengaplikasikan potensi menulis dengan mendokumentasikannya dalam bentuk sebuah buku tunggal, atau mulai tergerak menulis di blogppribadi, blog keroyokan seperti  kompasiana, gurusiana, atau disatu komunitas yang  memiliki  Web dan kita diberi kesempatan untuk meramaikan web tersebut.

Bagaimana mengaktifkan skill menulis dengan silaturrahmi?

Menjawab pertanyaan “bagaimana mengaktifkan skill menulis dengan silaturrahmi” nampaknya memerlukan sedikit kesabaran, sebab sampai disini saya belum menemukan “benang merah” yang mengaitkan antara “skill menulis” dengan “silaturrahmi” dari paparan yang disampaikan Ibu Kanjeng.

Setelah membaca 4 judul buku (yang dibaca masih judulnya aja ya), Wow English Is So Easy Kids, Catatan Motivasi dan Literasi Bu Kanjeng, Catatan Corona Bu Kanjeng, dan The Stories of Wonder Women, saya menebak bahwa tulisan-tulisan Bu Kanjeng selalu memiliki muatan “ruh” yang menginspirasi dan membangkitkan motivasi serta menghidupkan sinyal-sinyal ketaqwaan. Sampai disini maka pont penting yang saya dapatkan adalah bahwa tulisan itu harus memiliki kekuatan yang menghidupkan nilai-nilai ketaqwaan.

Menulis merupakan sebuah keterampilan yang setiap orang memiliki peluang untuk mendapatkan keterampilan tersebut. Keterampilan ini dapat dilatih dengan menghidupkan kekuatan silaturrahmi. Kata silaturahmi berasal dari bahasa Arab yakni Shilah yang artinya hubungan atau sambungan dan Ar- rahim yang bermakna kerabat atau saudara. Kata silaturahim kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia yakni silaturahmi yang artinya tali persahabatan (persaudaraan), dan bersilaturahmi yang artinya mengikat tali persahabatan (persaudaraan). 

Setidaknya ada 6 cara mengaktifkan skill menulis melalui kekuatan silaturrahmi. PERTAMA Silaturrahmi dengan membaca buku. Silaturrahmi dalam mengaktifkan skill menulis dapat dilakukan dengan proses Membaca buku. Dengan membaca buku kita bisa membangun hubungan dengan pikiran-pikiran yang dituangkan penulisnya dalam buku tersebut. Dengan membaca buku, skill menulis secara tidak langsung dapat dilatih dan dapat dikembangkan dengan mengadopsi teknik menulis atau ide-ide yang ditawarkan penulis dalam bukunya.

Disamping membaca buku, menggali skill menulis dapat juga dilakukan dengan membaca status orang, atau berkunjung dan membaca blog orang lain (Inget ya tar berkunjung ke blog saya), bahkan mungkin membaca apa saja tidak mesti itu berupa teks tertulis. Kita bisa membaca kehidupan orang lain yang mungkin bisa menginspirasi kita untuk menulis, membaca alam, atau mungkin membaca diri kita sendiri.

KEDUA Silaturrahmi dengan menjadi pendengar yang baik. Menjadi pendengar juga bagian dari silaturrahmi yang bisa menumbuhkan skill menulis. Ketika berada di majlis ta’lim misalnya kita bisa menjadikan pesan-pesan kebaikan yang disampaikan penceramah sebagai materi untuk membangkitkan skill menulis.

KETIGA, silaturrahmi dengan menginspirasi dan memotivasi orang lain. Setiap orang tentu tidak lepas dari persolan hidup. Jika seseorang menghadapi sebuah masalah atau persolan dalam kehidupannya tentu membutuhkan orang lain sebagai solusi. Ketika kita bisa hadir sebagai solusi, tentu ini menjadi peluang untuk mengaktifkan skill menulis, kita bisa menuangkan permasalahan dan solusi yang kita tawarkan tersebut dalam sebuah tulisan yang tentu saja tulisan ini selanjutnya bisa menjadi refrensi bagi orang banyak ketika menghadapi permasalahan yang sama atau serupa.

Nah sampai disini saya sudah menemukan makna dari tema yang disuguhkan Ibu Kanjeng tentang “Menulis Dengan Kekuatan Silaturrahmi”. Point penting yang bisa saya gali dari pertemuan kali ini adalah “Menulislah dengan hati untuk menghidupkan sinyal-sinyal ketaqwaan dan aktifkan skill menulismu dengan rajin bersilaturrahmi”


Rabu, 06 Januari 2021

MENUTUP AURAT FITRAH MANUSIA YANG TERANCAM PUNAH

Dengan bahasa yang begitu indah Allah SWT melukiskan dalam al Quran : Wahai putra putri Adam janganlah kamu sekali-kali tertipu oleh Syaitan sebagaimana (telah menipu orang tuamu Adam dan Hawa ) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Syurga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua ( Al A'raf : 27 ). Ayat ini adalah penggalan kisah yang merupakan peristiwa sejarah umat manusia yang direkam al Quran dengan bahasa yang begitu indah. Kisah ini mengingatkan kita pada peristiwa resminya Iblis CS menjadi musuh manusia yang tidak akan melakukan gencatan senjata sebelum kiamat tiba.

Penggalan kisah pada ayat tersebut menguraikan peristiwa terusirnya Adam dan Hawa dari Syurga lantaran termakan "rayuan gombal" Iblis untuk memakan "buah terlarang" yang menyebabkan terbukanya aurat keduanya, sehingga mereka kemudian menutupnya dengan daun-daun Syurga "....setelah merasakan (buah) pohon (terlarang) itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun Syurga...." (Al A'raf ; 22 ). Peristiwa ini secara eksplisit menunjukan bahwa pada hakekatnya menutup aurat adalah "fitrah manusia" yang diaktualkan disaat mereka memiliki kesadaran. Namun sayang, di era globalisasi yang super canggih dewasa ini, di mana tingkat kesadaran  manusia terhadap inovasi-inovasi ilmiah bisa dikatakan telah berada pada level yang sangat signifikan,  namun semua itu justru pemicu berkembangbiaknya virus-virus mematikan yang menggerogoti kesadaran manusia akan pentingnya menutup aurat, maka tidak mengherankan kemudian muncul sikap apatis terhadap makna pakaian. Pakaian tak lebih hanya dimaknai sebagai mode saja, sehingga makna esensial dari pakaian tersebut menjadi terabaikan, padahal Al Quran menjelaskan "Wahai putra putri Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu, juga pakaian bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian taqwa itulah yang paing baik..." ( Al A'raf : 76 ).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa pakaian berfungsi sebagai penutup aurat dan sebagai perhiasan serta pakaian taqwa yang merupakan sebaik-baik pakaian. Namun ironis, masyarakat muslim dewasa ini bukannya menjadikan pakaian sebagai penutup aurat, tetapi pakaian justru dijadikan sebagai ajang mempertontonkan aurat. Kesadaran akan menutup aurat ibarat situs sejarah yang begitu langka, yang sulit ditemukan kecuali di Museum sejarah. hal inilah yang kemudian mengikis habis fitrah manusia, sehingga tidak mengherankan kemudian dimana aurat tidak lagi menjadi barang berharga, aurat tidak lagi menjadi milik pribadi, akan tetapi justru menjadi konsumsi publik. Aurat yang semestinya ditutupi justru diobral begitu saja ibarat barang diskon 100%, bahkan paha ayam justru lebih mahal daripada paha manusia.

Kondisi ini diperparah lagi dengan menjamurnya model-model pakaian ala selebritis yang sok gaul, sok modis, yang memamerkan sesuatu yang semestinya tidak layak dipamerkan, jilbab yang semestinya diulurkan malah dililitkan di leher, sehingga menampakan sesuatu yang semestinya tidak perlu tampak, padahal al Quran dengan begitu gamblang menjelaskan "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (al Ahzab : 59). Bahkan akan semakin lengkap "penampakannya" jika model jilbab tersebut dibalut dengan pakaian yang super ketat. Apalagi kebanyakan remaja ABG lebih doyan mengenakan pakaian "ketat" yang sebenarnya layak untuk anak-anak. Fenomena masyarakat seperti ini memberikan kesan bahwa trend membuka aurat memang sudah menjamur dan mmenyerang siapa saja, bahkan orang-orang yang berpendidikan sekalipun terinveksi virus ini, sehingga tidak mengherankan jika lembaga-lembaga pendidikan islam khususnya, baik di sekolah-sekolah maupun di kampus-kampus di mana para siswi dan mahasiswi sudah mulai terinveksi, bahkan menjadi penyakit kronis yang menggerogoti hati dan pikiran mereka, sehingga tidak pernah merasa risih memperlihatkan aurat.

Menutup aurat sudah menjadi barang langka, bahkan ada statemen yang menganggap menutup aurat tidak modis, tidak gaul, sehingga tidak berlebihan mungkin jika dikatakan bahwa Rasulullah SAW yang telah mendapatkan Piala Oscar dari Allah SWT atas penobatan beliau sebagai aktor terbaik sepanjang zaman, saat ini justru tidak lagi menjadi idola, sebab masyarakat kini lebih mengidolakan para selebritis yang notabenya doyan memamerkan aurat. Jika hal ini mulai menjangkiti anda WASPADALAH...!!!!!! anda telah terserang "kanker keimanan kronis stadium 100" yang akan menyerang pikiran dan membekukan hati yang selanjutnya akan memudarkan fitrah anda.


JURUS AMPUH MENULIS BAGI PEMULA (Pertemuan 2)

 

Alhamdulillah tepat di hari ini Rabu 6 Januari 2021 perjalanan "30 Hari Mencari Ilmu" kini memasuki pertemuan kedua. Kali ini kami disuguhkan menu yang membangkitkan selera. Menu kali ini adalah “Trik Jitu Menulis Untuk Pemula” yang disuguhkan oleh Ibu Rita Wati, S.Kom Alumni Pelatihan Belajar Menulis gelombang 10 yang kini memiliki banyak karya tulis.

Setidaknya ada 2 jurus ampuh yang harus dimiliki seorang pemula untuk mulai menulis, apa saja kedua jurus itu?


JURUS DASAR

Bagi seorang pemula, menulis itu tidaklah mudah karena memang memulai sesuatu tidaklah sama dengan suatu aktivitas yang sudah dilakukan berkali-kali bahkan menjadi kebiasaan rutin dilakukan. Seseorang yang terbiasa menulis tentu sudah mampu mensinergikan antara pikiran, hati dan gerakan tangan sehingga apa yang terpikir mampu dengan cerdas dituangkan melalui tulisan. Tidak demikian dengan pemula, yang sudah pasti belum mampu mensinergikan antara pikiran dengan gerakan tangan, belum mampu mendamaikan antara bahasa lisan dan tulisan. Dengan demikian, seorang pemula harus dibekali dengan motivasi yang kuat.

Setap orang memiliki motivasi yang beragam ketika belajar menulis. Ada yang belajar menulis dengan motivasi semata-mata memang belajar. Namun ada juga yang belajar menulis karena memang sejak awal sudah jatuh cinta dengan dunia tulis menulis, sudah menjadi hobi. Ada juga orang yang belajar menulis karena keterpaksaan imbas yang mengharuskannya membuat karya sebagai syarat kenaikan pangkat. Namun beragam motivasi yang muncul tersebut bukanlah sesuatu yang keliru karena yang keliru itu justru adalah jika kita sama sekali tidak termotivasi untuk menulis. Saya secara pribadi termotivasi untuk belajar menulis, ingin mengetahui lebih spesifik bagaimana sesungguhnya menulis yang baik itu, dengan motivasi ini tentu tujuan-tujuan yang lain akan tercapai. 

Bagi seorang pemula, menentukan motivasi menulis sangatlah penting, karena ini akan menjadi semacam arahan yang akan menuntunya kepada tujuan yang diinginkan. Setelah menentukan motivasi hal selanjutnya adalah mulai menulis, menulis apa saja yang ada di dalam pikiran, tentang apa saja yang ada di sekitar. Bagi seorang guru seperti saya misalnya bisa menulis tentang lingkungan sekolah, susah senangnya berhadapan dengan siswa atau apa saja yang berkaitan dengan dunia pendidikan.  

Seorang pemula harus berlatih untuk mencari ide sebanyak-banyaknya. Tuangkan semua ide yang ada dengan tidak melakaukan proses editing terlebih dahulu, biarkan ide tersebut mengalir begitu saja hingga semua ide-ide yang ada terekam  dalam sebuah tulisan.

Untuk meningkatkan kemampuan mencari ide sebanyak-banyaknya, seorang pemula harus berlatih menulis setiap hari secara bertahap mulai dari 100 kata kemudian meningkat 150 kata naik lagi  menulis pentigraf (menulis tiga paragraf) hingga pada akhirnya bisa menulis 1000 kata perhari. Apakah ini ini semua bisa dilakukan? Tentu saja bisa, bagaimana caranya? Menulislah di saat kita memiliki mood.

Setelah semua menjadi rutinitas, menjadi kebiasaan yang kita lakukan secara terus menerus maka jurus selanjutnya yang harus kita lakukan adalah “Jurus Pamungkas”

JURUS PAMUNGKAS

Jurus pamungkas ini bisa dicoba jika ingin menjadikan tulisan lebih berkualitas yang akan menjadi konsumsi public. Lalu apa saja yang harus dilakukan?

Pertama, Beranikan diri untuk ikut menulis Buku Antologi, hal ini perlu dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri  menjadi seorang penulis.

Kedua, Selanjutnya agar tulisan  menjadi lebih berkualitas, enak dibaca harus memperhatikan kaidah-kaidah dasar penulisan. Terkait kaidah penulisan ini, biasanya kesalahan-kesalahan yang seringkali terjadi adalah: a).               Penggunaan huruf besar dan kecil yang tidak tepat; b) Paragraf panjang-panjang; c) Penggunaan tanda baca seperti (titik, koma, titik dua, setrip-tanda petik dsb); d) penggunaan Kata baku; e). Penggunaan kata yang tidak efektif; f) Penggunaan istilah asing yang sering keliru; g) Penggunaan kata depan di- yang sering keliru dipisah atau disambung Harus bisa membedakan penulisan di media sosial , blog dengan penulisan di buku. Jika penulisan di blog atau media sosial seperti WA, setiap menulis 2 kalimat atau 3 kalimat sudah bisa membuat paragraf baru. Hal ini dikarenakan di media sosial orang hanya memiliki waktu 3 menit untuk memutuskan apakah mereka akan melanjutkan bacaannya atau tidak.

Itulah jurus-jurus yang harus dilatih oleh seorang penulis pemula jika ingin menjadi penulis professional. Apakah kita bisa? Mari kita coba. Bu Rita mengatakan “Nothing Is Imposible In This World”