Artikel

Kamis, 09 Maret 2023

PRAKTIK MODERASI BERAGAMA DALAM TRADISI MAULID NABI MUHAMMAD SAW DI SD NEGERI 19 CAKRANEGARA

                  Pendahuluan

Dalam pandangan al Quran, keberagamaan itu merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya[1], dengan demikian manusia tidak bisa melepaskan diri dari agama. Ahmad Syafe’i, seperti yang ditulis U. Maman mengatakan bahwa agama merupakan wahyu yang diturunkan tuhan kepada manusia untuk memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.[2]

Berlandas pijak pada argumentasi tersebut, maka dapat difahami bahwa agama merupakan solusi bagi manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup. Namun harus diakui pula bahwa agama ternyata memiliki “wajah ganda”. Agama  yang selama ini diyakini mampu menebar kedamaian, justru dalam waktu yang bersamaan menunjukan wajahnya yang garang.[3], sehingga  dari sini kemudian muncul persoalan, bagaimana peran agama dalam merespons persoalan-persoalan kemanusiaan? mengapa agama yang sejatinya memberikan rasa damai justru sepertinya menebar teror bagi manusia? dan mengapa agama tidak mampu memberikan solusi atas problem sosial yang dihadapi manusia tersebut?

Nampaknya sangat menarik apa yang kemudian dikemukakan oleh Muhyar Fanani yang mengatakan bahwa harus diakui, saat ini ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang akut, banyak problem kemanusiaan dan keindonesiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu keislaman akibat banyaknya anomali yang dimilikinya. Semua ini merupakan bukti ketidakberdayaan ilmu Akhlak dan ilmu Fiqih dalam memandu masyarakat agar berprilaku taat terhadap norma susila dan norma hukum. Lebih lanjut Fanani mengatakan bahwa krisis ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas kontemporer. [4]

Solusi dari segudang persoalan tersebut adalah dengan mengembalikan fungsi agama sebagai sumber kedamaian, hal ini dilakukan dengan mengubah praktik keagamaan dari formalitas menuju praktik keberagaman yang berbasis system nilai dan etika. Karena itulah kemudian Kementerian Agama berupaya mengembalikan “wajah damai agama” tersebut melalui program penguatan Moderasi Agama. Program ini selanjutnya dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 93 Thun 2022 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama. Dalam KMA tersebut ditegaskan bahwa Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan peraktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepatakan berbangsa.[5] Moderasi beragama ini selanjutnya diharapkan menjadi sebuah ikhtiar dalam rangka menghilangkan “wajah ganda” yang melekat pada pola keberagamaan masyarakat dengan mewujudkan wajah agama yang penuh kedamaian. Praktik-praktik moderasi beragama sangat penting untuk kemudian dilaksanakan dengan lebih massif terutama dalam institusi pendidikan, terlebih lagi pada level pendidikan dasar (SD).

Sekolah Dasar Negeri 19 Cakranegara merupakan salah satu institusi pendidikan di Kota Mataram yang secara geografis terletak di wilayah Cakranegara yang notabenya merupakan wilayah yang sangat heterogen dalam konteks keberagamaan. Hal ini tentu saja menjadi peluang sekaligus tantangan dalam mewujudkan moderasi beragama. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 19 Cakranegara berdasarkan data memiliki 480 peserta didik yang cukup hiterogen ditinjau dari suku, budaya, agama. Dari tilikan agama peserta didik terpartisi ke dalam 4 agama yaitu Islam, Hindu, Kristen, dan Katolik, dari 480 peserta didik tersebut, 280 beragama Islam, 154 beragama Hindu, dan selebihnya beragama Kristen dan Katolik.

Berdasarkan kondisi ini, maka menarik kemudian untuk melakukan kajian deskriptif terhadap praktik moderasi beragama di SDN 19 Cakranegara. Dengan demikian, melalui tulisan ini penulis melakukan kajian deskriptif terhadap praktik moderasi beragama di SDN 19 Cakranegara dengan melihat pola keberagamaan dalam bingkai tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan. Sebab budaya lokal semacam Maulid menjadi bagian yang cukup relevan dalam menginternalisasikan nilai-nilai moderasi beragama terutama di sekolah dasar.

                  Pentingnya Moderasi beragama di Sekolah Dasar

Terminologi moderasi adalah pilihan diksi untuk mengungkapkan sebuah posisi atau keadaan di tengah tengah yang tidak berada di sisi kanan dan tidak pula berada di sisi kiri. Istilah moderasi merupakan kata serapan yang diadobsi dari bahasa latin yaitu “moderatio” yang berarti sedang tidak kekurangan dan tidak kelebihan. Dalam hahubunganya dengan beragama, moderasi dipahami dalam istilah bahasa arab sebagai wasat atau wasatiyah sedangkan pelakunya disebut wasit.

Kata wasit sendiri memiliki beberapa makna yaitu penengah, pelantara, dan pelerai.[6] Sementara itu dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor  93 Tahun 2022 ditegaskan bahwa Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan peraktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.[7]

Berlandaspijak pada kedua definisi tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa moderasi beragama itu merupakan konsep dan praktik keberagamaan dengan cara melihat agama secara utuh dan komprehensif, sehingga agama akan menjadikan pemeluknya soleh secara individual, sosial, dan multicultural.

Lalu dalam konteks lingkungan sekolah apakah moderasi beragama diperlukan? Tentu jawabannya adalah iya sangat diperlukan sebab sekolah merupakan lembaga formal yang cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan cara pandang seseorang terhadap sebuah objek. Dengan demikian aktualisasi nilai-nilai moderasi beragama cukup efektif dilakukan melalui institusi pendidikan, terutama di sekolah dasar dengan cara melakukan internalisasi nilai-nilai positif kepada peserta didik.

Internalisasi pendidikan nilai dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (1) penanaman nilai (inculcation approach); dan (2) perkembangan moral kognitif (cognitive moral development). [8] Pendekatan yang pertama lebih sebagai internalisasi nilai dalam proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas melalui penguatan nilai positif seperti keteladanan, kedisiplinan, dan beberapa nilai positif lainnya. Sementara pendekatan yang kedua mendorong peserta didik untuk mencari cara dan berpikir tentang masalah moral serta keputusan moral. Dalam konteks pendidikan dasar tentu pendekatan yang pertama lebih efektif untuk kemudian dilakukan.

Sekolah Dasar merupakan institusi pendidikan dimana peserta didik mengalami transformasi perkembangan yang cukup signifikan secara psikologis maupun fisik. Dalam kondisi ini tentu internalisasi moderasi beragama menjadi sangat efektif dilakukan. Anak sekolah dasar pada tahapan ini akan mendapat pemahaman yang paling fundamental terhadap agama yang diyakini, nah pada fase inilah seorang pendidik harus bisa memainkan perannya untuk menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang lebih utuh dan komprehensif kepada peserta didik, sehingga sejak dini akan tertanam pada diri peserta didik praktik keberagamaan yang lebih moderat.

                 Praktik Moderasi beragama dalam tradisi maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19   Cakranegara

Internalisasi nilai-nilai moderasi beragama pada lingkungan sekolah setidaknya dapat menggunakan pendekatan pembelajaran di sekolah. Hal ini dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pertama, mengembangkan budaya lokal sekolah, misalnya kejujuran, saling menghargai, sopan santun, dan yang merupakan perpaduan nilai-nilai, asumsi, pemahaman, keyakinan, dan harapan yang diyakini oleh stakeholders sekolah serta dijadikan pedoman perilaku dalam pemecahan masalah baik secara internal maupun eksternal yang mereka hadapi.

Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara peserta didik yang mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda. Ketiga, hal lain yang penting dalam penerapan moderasi beragama yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang digunakan. Sebaiknya kurikulum dan buku-buku tersebut memuat nilai-nilai pluralisme (ke-Bhinneka Tunggal Ika-an) dan toleransi beragama yang dapat membangun wacana serta pemikiran peserta didik tentang pemahaman keberagaman yang inklusif dan moderat[9]

Di samping pendekatan yang dapat dilakukan sebagaimana yang dipaparkan di atas, praktik moderasi beragama dapat diperkuat melalui tradisi budaya lokal, semisal Maulid Nabi Muhammad SAW yang umumnya menjadi tradisi lokal di Pulau Lombok.

Di Lombok tradisi maulid Nabi Muhammad SAW masih sangat kuat melekat. Di Lombok perayaan Maulid Nabi kental dengan tradisi praja, nyunatan, ngurisan, begibung dan beberapa tradisi lainnya. Jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi di Pulau Lombok termotivasi 3 faktor: pertama: motivasi historis, secara historis umat Islam meyakini sepenuhnya legalitas Muhammad sebagai sosok figur yang berjasa membangun sebuah peradaban baru dengan melakukan sebuah reformasi yang fundamental terhadap tradisi jahiliyah yang ketika itu berada pada degradasi moral yang sangat memprihatinkan. Dalam kondisi tersebut, Muhammad selanjutnya bangkit dengan memformulasikan sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egalitarian yang dibingkai dalam figura al Quran dan al Hadits. Dengan demikian, 12 Rabiul Awal merupakan tonggak sejarah yang memotivasi masyarakat untuk merayakan maulid Nabi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas kehadiran beliau di tengah-tengah masyarakat dunia.

Kedua:  motivasi teologis, aspek teologis ternyata juga memiliki peran yang cukup strategis dalam memotivasi masyarakat merayakan maulid Nabi. Hal ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh para ulama madzhab Hanafi dan Maliki yang mengemukakan bahwa “diktum hukum yang ditetapkan dengan diktum tradisi sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i”. Ketiga: motivasi filosofis-sosiologis, masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari kumpulan sekian banyak individu kecil maupun besar yang terikat oleh satuan adat, tradisi, hukum dan hidup bersama.

Berdasarkan ketiga faktor itulah, Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi semacam tradisi yang jika boleh dikatakan “wajib” dilaksanakan oleh masyarakat Lombok, walaupun dalam pelaksanaannya setiap daerah memiliki cara yang berbeda-beda. Maulid atau Mulud bagi masyarakat Sasak-Lombok merupakan momen yang ditunggu-tunggu. Sebab di samping sebagai ajang silaturrahim juga sebagai momen yang tepat untuk meningkatkan kuantitas “perut” karena hampir satu bulan penuh masyarakat Sasak akan merayakannya dengan berbagai macam suguhan makanan khas.

Pun demikian di SDN 19 Cakranegara yang mana jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilaksanakan dengan mengintegrasikan tradisi-tradisi semacam meriap, pengajian, dan begibung. Ketiga kegiatan ini menjadi tradisi yang dilakukan SDN 19 Cakranegara dalam ikhtiar memperkuat ikatan persaudaraan dan kebersamaan tanpa tersekat oleh sentiment suku, agama, warna kulit dan sebagainya.

a.      Meriap

“Meriap” adalah istilah dalam bahasa Sasak yang berasal dari kata “pe.ri.ap” berarti “masak atau memasak”.[10] Istilah ini selanjutnya digunakan secara umum dalam kegiatan sehari-hari yang biasanya dilakoni oleh kaum ibu-ibu, namun dalam konteks “begawe” (perayaan), meriap ini menjadi semacam tradisi yang dilakukan secara bersama-sama.

Tradisi meriap dalam konteks perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. adalah kegiatan dalam rangka mempersiapkan masakan yang akan dihidangkan ketika perayaan. Tradisi meriap ini sesungguhnya tidak hanya dilakukan ketika perayaan Maulid saja, namun tradisi ini biasanya dilakukan pada kegiatan “begawe” dalam penyelenggaraan acara-acara semisal nyunatan, ngurisan, pernikahan dan beberapa kegiatan atau tradisi lainnya.

Di SDN 19 Cakranegara, tradisi meriap yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di kampung-kampung, diadopsi untuk membangun keakraban serta memperkuat ikatan emosional antar guru dan karyawan. Sama halnya dengan tradisi meriap di kampung-kampung, kegiatan meriap di SDN 19 Cakranegara ini juga dilakukan untuk mempersiapkan hidangan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksaakan. Pada tradisi meriap di SDN 19 Cakranegara, semua guru terlibat aktif tidak ada sekat gender, suku, dan agama karena semua berpartisipasi mengambil bagian dalam kegiatan ini.

Pada tradisi meriap ini, guru-guru biasanya duduk bersama dengan mengambil tugas masing-masing, ada yang bertugas ke pasar membeli bahan-bahan dan semua keperluan dapur, ada yang bertugas sebagai “pengulek” bumbu, menggoreng lauk, memotong dan memasak sayur. Dengan demikian, makna filosofis dalam tradisi meriap ini adalah bahwa dalam mewujudkan misi bersama dibutuhkan sebuah system kerja yang kondusif dengan mengedepankan kebersamaan, gotong royong, dan toleransi.

Jika dianalisa, tradisi meriap yang dilakukan ini merepresentasikan sebuah toleransi yang begitu kuat di SDN 19 Cakranegara. Dengan demikian maka tentu saja dalam konteks beragama, dapat dipahami bahwa internalisasi nilai-nilai moderasi beragama sesungguhnya sudah teraktualisasi di SDN 19 Cakranegara dengan cukup baik, hal ini terlihat dari begitu kuatnya ikatan emosional antar guru dan karyawan dalam tradisi “meriap” yang dilakukan ini tanpa memandang “baju agama” yang dipakai.

 

b.      Pengajian

Setelah kegiatan “meriap”, tradisi yang juga menjadi bagian yang selalu dilakukan setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19 Cakranegara adalah kegiatan “pengajian”. Kegiatan ini merupakan kegiatan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19 Cakranegara yang mana pengajian ini menjadi kegiatan inti dari perayaan Maulid yang dilakukan.

Istilah Pengajian berasal dari kata “kaji”, dalam bahasa Arab disebut at-ta’llimu asal kata ta’allama yata’allamu ta’liiman yang artinya belajar, pengertian dari makna pengajian atau ta’liim mempunyai nilai ibadah tersendiri, hadir dalam belajar ilmu agama bersama orang yang berilmu merupakan bentuk ibadah yang wajib setiap muslim.[11] Sebagian besar daerah di Lombok, pengajian ini menjadi menu wajib yang dilakoni masyarakat dalam perayaan hari besar Islam. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada perayaan hari besar Islam tanpa pengajian karena pengajian ini justru menjadi acara inti dalam setiap momen-momen tersebut.

Yang menarik dalam kegiatan ini adalah semua warga SDN 19 Cakranegara berkumpul di halaman sekolah mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh penceramah tanpa terkecuali baik guru, karyawan, maupun peserta didik tanpa ada sekat pemisah dan pembeda berdasarkan latar belakang agama. Peserta didik yang beragama Hindu, Kristen, dan Katolik akan berkumpul menjadi satu dengan peserta didik muslim yang merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW untuk mendengarkan pengajian Maulid.

Penceramah yang menyampaikan uraian hikmah maulid juga sangat faham dan begitu hafal dengan kondisi keberagamaan di SDN 19 Cakranegara yang cukup baik, sehingga penceramah biasanya juga akan menyampaikan pengajian yang secara substantive lebih mengarah pada konten-konten yang bersifat lebih universal seperti keteladanan, akhlak, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian, peserta didik yang memiliki keyakinan berbeda tidak merasa didoktrin dengan keyakinan yang berbeda dengannya. Di sinilah kemudian bisa terlihat dengan cukup jelas nilai-nilai moderasi beragama yang sudah teraktualisasi dengan begitu baik, dengan demikian tradisi-tradisi semacam ini harus terus dilestarikan sebagai kearifan local dalam rangka merawat kebinekaan untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis di tengah-tengah perbedaan.

 

c.      Begibung

Di samping kegiatan meriap dan pengajian, tradisi yang cukup menarik ditilik dari sudut moderasi beragama adalah tradisi “begibung”. Dalam Kamus Bahasa Sasak-Indonesia yang diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTB dijelaskan bahwa “Begibung” berasal dari kata “gi.bung” yang berarti sama-sama, sementara itu kata “be.gi.bung” merupakan kata yang memiliki makna “makan bersama berempat atau bertiga dalam satu dulang”.[12]

Berdasarkan definisi tersebut dapat dicermati bahwa begibung merupakan tradisi di mana masyarakat atau orang-orang akan berkumpul bersama yang biasanya terdiri dari 3 atau 4 orang untuk menikmati hidangan. Dalam tradisi maulid, kegiatan begibung biasanya dilakukan dengan duduk berhadap-hadapan yang terdiri dari 2 orang atau lebih yang kemudian disuguhkan hidangan yang dalam istilah orang Sasak dikenal dengan nama “dulang”.

Berdasarkan narasi tersebut di atas, tentu bisa dipahami bahwa setidaknya dalam tradisi begibung terdapat beberapa makna filosofis di antaranya:  pertama, sebagai wujud kesetaraan dan keadilan karena dalam tradisi ini tidak ada perbedaan antara pejabat, rakyat biasa, kaya, miskin, dan seterusnya karena semua akan duduk bersama melebur menjadi satu dalam satu “dulang”. kedua, tradisi ini memperkuat ikatan emosional karena secara tidak langsung “begibung” ini secara alami memunculkan interaksi dan candaan yang dapat mempererat ikatan emosional antar mereka. Ketiga, tradisi begibung sebagai penyambung silaturrahmi yang terputus, sebab dalam tradisi ini tetangga, sahabat, teman yang sebelumnya jarang bertemu dalam satu tempat karena kesibukkan, maka dengan begibung silaturrahmi diantara mereka akan terjalin kembali. Keempat, tradisi begibung menunjukkan sebuah nilai kesederhanaan, karena “dulang” disajikan dengan sangat sederhana yang jauh dari kesan mewah dan gelamor. Makanan akan dinikmati dengan tangan langsung tanpa harus menggunakan sendok dan garpu, makanan dinikmati dengan duduk bersila tanpa harus duduk di kursi.

 

Dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19 Cakranegara, kegiatan begibung ini juga dilakukan namun dikemas dengan cara yang berbeda. Jika dalam tradisi begibung di kampung-kampung, masyarakat akan duduk berhadapan menikmati hidangan dalam bentuk dulang. Namun di SDN 19 Cakranegara, kegiatan begibung dilakukan dengan membuat semacam lingkaran, dimana peserta didik akan duduk membuat lingkaran-lingkaran kecil untuk menikmati hidangan.

Hidangan-hidangan yang dinikmati peserta didik biasanya sudah dipersiapkan sendiri dari rumah untuk kemudian dinikmati secara bersama-sama dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di sekolah.

Dalam tradisi begibung di SDN 19 Cakranegara, peserta didik akan berkumpul bersama tanpa membedakan “baju agama” yang digunakan. Dalam kegiatan ini pemandangan yang sangat unik terlihat dimana peserta didik muslim yang menggunakan “kopiah” akan berkumpul menjadi satu dengan peserta didik yang menggunakan “udeng”. Keunikan-keunikan inilah yang kemudian memperlihatkan bahwa nilai-nilai moderasi beragama tampak nyata dalam tradisi “begibung” yang dilakukan.

                  Penutup

Moderasi beragama merupakan sebuah ikhtiar untuk mewujudkan keberagamaan yang Rahmatan lil ‘Alamin, keberagamaan yang penuh kedamaian tanpa harus memperlihatkan superioritas agama yang dianut.

SDN 19 Cakranegara sebagai institusi pendidikan dasar berpeluang cukup besar untuk membentuk peserta didik  memiliki konsep dan cara pandang beragama  yang moderat. Hal ini tentu saja dapat dilakukan secara integral dan terkoneksi dalam kurikulum maupun kearifan lokal yang selalu dirawat di sekolah seperti tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di SDN 19 Cakranegara memberi dampak cukup signifikan dalam proses internalisasi nilai-nilai moderasi beragama, hal ini dilihat dari tradisi meriap, pengajian, dan begibung yang selalu dilaksanakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini tentu saja harus selalu dirawat dalam rangka membangun konsep dan praktik keberagamaan yang lebih moderat dan responsive terhadap nilai-nilai mutikultural.



[1] Lihat QS. Ar rum : 30,

[2] U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal 1

[3] Kasus 17 Januari 2001 atau yang dikenal dengan kasus 171 misalnya menjadi bukti historis kejamnya agama, dan ironisnya benturan-benturan agama ini tidak lagi terjadi antar agama, bahkan menjadi gesekan intern agama. Kasus pengusiran dan penghancuran rumah tinggal serta tempat ibadah warga Ahmadiyah misalnya, juga sebagai bukti bahwa gesekan dan benturan atas nama agama telah menerobos ranah private agama itu sendiri. Belum lagi persoalan korupsi, tauran pelajar, demonstari yang berujung anarkhis dan sebagainya

     [4] Muhyar Fanani, “Metode Studi Islam (Aplikasi Sosiaologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang)”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008 hal. 1-2

                [5] Lihat salinan KMA Nomor 93 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama, hal. 4

[6] Fauzi, Ahmad. "Moderasi Islam, Untuk Peradaban Dan Kemanusiaan." Jurnal Islam Nusantara 2.2 (2018), hlm, 233

[7] Lihat salinan KMA Nomor 93 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama, hal. 4

[8] Masnur Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).

[9]https://www.kompasiana.com/nitamaesy/619f90fd733c434c6974a2c2/implementasi-moderasi-beragama-di-lingkungan-sekolah

 [10] Kamus Sasak Indonesia, Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat, Edisi II cetakan ke ketiga (Mataram: Kantor Bahasa NTB, 2017) hal. 381

[12] Kamus Sasak Indonesia, Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat, Edisi II cetakan ke ketiga (Mataram: Kantor Bahasa NTB, 2017) hal. 159