A. Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi politik di Indonesia pada
tahun 1998, kebijakan pengembangan sektor pendidikan pun mengalami perubahan
yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang memposisikan sektor pendidikan sebagai
salah satu yang diotonomisasikan. Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah
juga menggulirkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menginstruksikan pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor
pendidikan.
Terkait kebijakan tersebut maka pendidikan Islam sebagai
bagian yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejatinya memiliki
ambisi yang kuat untuk berinovasi menciptakan produk-produk baru terutama yang
menyangkut kurikulum. Namun inovasi pendidikan yang yang bersifat top-down,
- setiap kebijakan ditentukan oleh pusat dan cendrung memaksa - justru menjadi
batu sandungan. Dengan demikian, maka tidak mengherankan kemudian muncul kesan
di masyarakat bahwa setiap ganti menteri akan diikuti dengan perubahan
kebijakan. Padahal kebijakan sebelumnya belum secara sempurna diikhtiarkan
bahkan mungkin belum tersosialisasikan secara merata. Kebijakan terkait
kurikulum misalnya terindikasi bahwa ”mal praktek” alias ”coba-coba” dalam
dunia pendidikan masih berlaku.
Kurikulum pada dasarnya merupakan produk pemikiran yang
tentunya tidak bisa digunakan sepanjang zaman, hal ini tentu saja dipengaruhi
oleh kebutuhan, situasi dan kondisi sebuah lembaga pendidikan. Namun ironis
rasanya jika implementasi kurikulum di Indonesia cendrung dipaksakan dan sarat
akan ”kepentingan-kepentingan politis”. Dalam
perjalanannya, kurikulum di Indonesia telah banyak mengalami
perubahan-perubahan,[1] sehingga
tidak jarang menimbulkan kebingungan di kalangan para pendidik.
Sebagai
langkah antisipatif terhadap persoalan tersebut, maka para pendidik khususnya
pada lembaga pendidikan Islam dalam hal ini, hendaknya memiliki landasan yang
kokoh terkait konsep pengembangan kurikulum, sehingga tidak mudah tergeser oleh
derasnya arus transformasi dan inovasi pendidikan yang notabenenya tidak
dibangun berdasarkan konsep Islam. Dengan demikian maka diperlukan sikap
selektif dan kehati-hatian dalam menganalisa setiap perkembangan baru dalam
dunia pendidikan terlebih lagi persoalan kurikulum.
Oleh
karena itu dalam coretan-coretan sederhana ini, penulis akan memaparkan
konsep-konsep terkait kurikulum pendidikan (baca: agama Islam). Adapun
narasi-narasi dalam tulisan ini hanya dibatasi pada beberapa persoalan seperti
definisi kurikulum, jenis-jenis kurikulum, komponen kurikulum, dan konsep kurikulum. Dengan
demikian maka ulasan dalam tulisan ini tentu saja tidak secara komprehensif
kemudian memberikan gambaran yang utuh terkait persoalan kurikulum, namun
tulisan sederhana ini hanya memberikan sedikit gambaran sekaligus sebagai
pijakan awal terhadap uraian pada tulisan-tulisan terkait kurikulum pendidikan
(baca: Islam) selanjutnya.
B. Konsep Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Dalam
dunia pendidikan, kurikulum menempati posisi yang cukup sentral sebab kurikulum
merupakan pengendali atau acuan kemana proses pendidikan akan diarahkan. Karena
itulah kemudian segala aktifitas proses pendidikan sejatinya bermuara pada
kurikulum. Kurikulum, baik pendidikan Islam ataupun pendidikan umum pada
dasarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tataran konsep, oleh
karena itu pada uraian selanjutnya penulis menggunakan istilah kurikulum secara
umum tanpa melakukan tempelisasi istilah pendidikan Islam.
1. Definisi Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari
bahasa Yunani yaitu curriculum, yang merupakan istilah yang digunakan
untuk dunia olahraga, yaitu berupa jarak yang harus ditempuh oleh seorang
pelari. Dari sisi etimologi kata kurikulum terambil dari bahasa latin yang
memiliki makna yang sama dengan kata “racecourse”
(gelanggang perlombaan ) kata-kata curriculum dalam bentuk kata kerja
yang dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “curere” adalah
mengandung arti “menjalankan perlombaan” (running of fie race).
Sedangkan dari sudut terminologinya, istilah kurikulum digunakan dalam berbagai
versi. Kurikulum digunakan untuk menunjukan (a) rencana pendidikan untuk siswa,
yaitu mencakup mata pelajaran dalam lapangan kurikulum, (b) lapangan studi,
yang memiliki batasan sebagai berikut: (1) studi yang berhubungan dengan
struktur substantive dari setiap mata pelajaran, dan (2) prosedur penyelidikan
praksis-praksis yang berhubungan dengan struktur sintakis (kurikulum). Lebih
jelas dapat disimpulkan bahwa kurikulum sebagai lapangan studi mencakup, (a)
mata pelajaran yang disajikan dalam kurikulum, dan (b) proses-proses mata
pelajaran yang berhubungan dengan perubahan dan pengembangan kurikulum.[2]
Sementara itu dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman untuk penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karena itulah kemudian kurikulum menjadi
salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan merupakan penjabaran dari
idealism, cita-cita tuntutan masyarakat atau kebutuhan tertentu sehingga akan
diketahui kemana arah pendidikan, alternative pendidikan, fungsi pendidikan
serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan.[3]
Rumusan yang kurikulum
sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang tersebut, menurut Hamalik dapat
dispesifikasikan menjadi beberapa pokok pikiran yaitu: (a) Kurikulum merupakan
suatu rencana/perencanaan; (b) Kurikulum merupakan pengaturan, mempunyai
sistematika dan struktur tertentu; (c) Kurikulum memuat isi dan bahan
pelajaran, menunjuk pada perangkat mata pelajaran atau bidang pengajaran
tertentu; (d) Kurikulum mengandung cara, metode atau strategi penyampaian
pengajaran; (e) Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar; (f) Kurikulum dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan; (g)
Kurikulum merupakan alat pendidikan.[4]
Sementara itu Lias Hasibuan
melihat definisi kurikulum dari dua pemahaman yang berbeda, tradisional pada
satu sisi dan modern di sisi yang lain. Berdasarkan pemahaman tradisional,
kurikulum dapat didefinisikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau bahan ajar
yang harus dikuasai oleh murid atau diajarkan oleh guru untuk mencapai suatu
tingkatan atau ijazah. Sementara berdasarkan pemahaman modern, kurikulum dapat
didefinisikan sebagai aktivitas yang disediakan untuk siswa oleh sekolah atau
semua kegiatan pembelajaran siswa yang direncakan dan diarahkan oleh sekolah
untuk mencapai tujuan pendidikan. Bahkan kurikulum berdasarkan definisi modern
mencakup juga keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan,
pengetahuan, kecakapan, dan sikap orang
yang meladeni dan diladeni di sekolah mulai dari anak didik, masyarakat, para
pendidik, juru tulis, pegawai dan pimpinan sekolah, sampai kepada pelayanan
sekolah seperti tukang sapu atau penjaga sekolah.[5]
Dengan menganalisa beberapa definisi tersebut di atas, maka kurikulum pada dasarnya tidak hanya merupakan sebuah dokumen tertulis terkait materi, silabus, tujuan pendidikan dan seterusnya, namun segala factor pendukung proses pendidikan juga menjadi bagian dari kurikulum. Karena itulah kemudian muncul istilah kurikulum fungsional dan kurikulum sebagai sebuah perencanaan. Sebagai sebuah perencanaan, kurikulum tertulis dalam dokumen yang selanjutnya dijadikan sebagai rencana pengajaran. Sementara secara fungsional, kurikulum menjadi bagian dari proses pelaksanaan pengajaran yang beroperasi dalam kelas.[6] Terkait persoalan ini, Hilda Taba sebagaimana yang dikemukakan Nana bahwa perbedaan antara kurikulum dan pengajaran bukan terletak pada implementasinya akan tetapi terletak pada keluasan cakupannya. Kurikulum berkenaan dengan isi dan metode yang lebih luas daripada pengajaran.[7]
2. Definisi Pendidikan Agama Islam
Pada uraian berikut penulis akan
memaparkan definisi Pendidikan Agama Islam (PAI), namun sebelumnya, perlu kiranya
sebuah redefinisi (penegasan) istilah Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan
Pendidikan Islam, sebab kedua istilah ini sering sekali menjadi rancu karena
dianggap memiliki makna yang sama padahal secara substansi memilki perbedaan
yang cukup signifikan.
Terkait persoalan ini, Ahmad
Tafsir sebagaimana yang dikemukakan Muhaimin mengatakan bahwa PAI merupakan
kegiatan mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran, sejatinya
dinamakan Pelajaran Agama Islam karena yang diajarkan adalah Agama Islam bukan Pendidikan
Agama Islam. Sementara itu menurut Dr. Hj. Maimun Aqsa, perkara yang perlu
didahulukan dalam kurikulum pendidikan agama Islam ialah al-Quran, Hadis dan
juga Bahasa Arab. Kedua ialah bidang ilmu yang meliputi kajian tentang manusia
sebagai individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Menurut istilah modern,
bidang ini dikenali sebagai kemanusiaan (al-ulum al-insaniyyah).
Bidang-bidangnya termasuklah psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi dan
lain-lain. Ketiga bidang ilmu mengenai sains natural ( al-ulum al-Kauniyyah),
yang meliputi bidang-bidang seperti astronomi, biologi dan sebagainya.[8]
Sementara pendidikan Islam
merupakan system pendidikan Islami yang bersumber dari al Quran dan Hadits.[9]Dengan
demikian, maka dapat ditegaskan bahwa Pendidikan Agama Islam substansinya
adalah materi pelajaran agama Islam, sementara Pendidikan Islam merupakan
system dimana PAI menjadi bagiannya.
Dengan mencermati definisi terkait kurikulum dan pendidikan agama Islam, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan Kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah landasan yang dijadikan acuan dalam proses pendidikan agama Islam yang memuat tujan pendidikan, materi dan sebagainya, baik yang berbentuk dokumen tertulis (perencanaan) maupun fungsional ( dokumen non tertulis) untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
3. Jenis-jenis kurikulum
Dalam kurikulum nasional sebagaimana
yang dikemukakan Abdullah Idi bahwa keseluruhan program pembelajaran sudah baku dan siap
dipakai, namun kurikulum tersebut umumnya merupakan model yang sangat ideal
sehingga diperlukan pengembangan agar lebih bersifat aplikatif.[10]terkait
penyusunan kurikulum tersebut perlu dilakukan pengorganisasian kurikulum ada
tiga pola pengorganisasian kurikulum atau yang disebut dengan jenis kurikulum
yaitu:
1.1.Sparated
subject kurikulum
Kurikulum
jenis ini merupakan kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu sama lain.
Kurikulum mata pelajaran terpisah berarti kurikulumnya berbentuk mata pelajaran
yang terpisah-pisah yang kurang memiliki keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya.[11]
Tyler dan Alexander sebagaimana yang dikemukakan Soetomo dan Soemanto[12]
menyebutkan bahwa jenis kurikulum ini sudah digunakan selama beberapa abad
bahkan masih banyak digunakan di berbagai lembaga pendidikan. Kurikulum ini
terdiri dari berbagai mata pelajaran yang tujuan pelajarannya adalah agar anak
didik menguasai bahan dari tiap-tiap mata pelajaran yang telah ditentukan
secara logis, sistematis dan mendalam. Adapun model kurikulum ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
1.2.Correlated Curriculum
Kurikulum
jenis ini merupakan kurikulum di mana sejumlah mata pelajaran dihubungkan
antara yang satu dengan lainnya, sehingga ruang lingkup bahan yang tercakup
semakin luas. Sebagai contoh mata pelajaran Fiqih dapat dihubungkan dengan mata
pelajaran al Quran al Hadits.[13]
Pengkorelasian sejumlah mata pelajaran ini dapat dilakukan dengan bebagai cara.
Dalam hal ini Abdullah Idi[14]
menyebutkan tiga cara yaitu: a) Korelasi Okkasional/insedental yaitu korelasi
yang dapat dilakukan secara tiba-tiba misalnya pada mata pelajaran Aqidah
Akhlaq dapat dibicarakan tentang SKI; b) Korelasi etis yaitu bertujuan untuk
mendidik budi pekerti sehingga dalam hal ini yang tepat adalah PAI yaitu
dipelajari tentang cara menghormati orang tua, tamu dan sebagainya; dan c)
Korelasi sistematis ini biasanya direncanakan oleh guru misalnya bercocok tanam
padi dibahas dalam mata pelajaran geografi dan sebagainya.
1.3.Broad Field Curriculum
Jenis
kurikulum ini merupakan usaha untuk meningkatkan kurikulum dengan mengkombinasikan
beberapa mata pelajaran sebagai contoh mata pelajaran sejarah, geografi, ilmu
ekonomi, ilmu politik disatukan menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).[15]
Keunggulan model kurikulum ini adalah adanya kombinasi mata pelajaran sehingga
manfaatnya akan semakin dirasakan, dan memungkinkan adanya mata pelajaran yang
kaya akan pengertian dan mementingkan prinsip dasar serta generalisasi. Namun
kelemahan model kurikulum ini adalah hanya memberikan pengetahua secara sketsa,
abstrak, dan kurang logis dari suatu mata pelajaran.[16]
Berbeda
dari dengan jenis kurikulum yang dikemukakan Abdullah Idi sebagaimana yang
dikemukakan di atas, Glattorn[17]
sebagaimana yang dikemukakan Muhammad merumuskan tujuh jenis kurikulum yaitu:
a. Kurikulum yang direkomendasikan
Ini adalah jenis kurikulum yang ideal, yaitu kurikulum yang
direkomendasikan oleh para ahli, ikatan profesi, komisi pembaharuan pendidikan
dan juga berdasarkan kebijakan pemerintah. Karena kurikulum ini bersifat ideal
maka ada keharusan mempelajari konsep atau keterampilan yang akan dikembangkan
menurut menurut persepsi dan system sumber nilai. Kurikulum ini bersifat umum
dan berisi sejumlah kebijakan yang disarankan, sejumlah tujuan, syarat-syarat
kelulusan, rekomendasi tentang bahan, dan urutan-urutan bahan.
b. Kurikulum yang tertulis
Kurikulum yang tertulis merupakan
kurikulum yang telah disetujui oleh pemerintah. Kurikulum ini merupakan
pengendali untuk menjamin tujuan pendidikan. Kurikulum ini lebih representative
jika dibandingkan dengan kurikulum yang direkomendasikan. Kurikulum ini pada
umumnya memuat dasar-dasar pertimbangan yang mendukung kurikulum, tujuan yang
harus dicapai, sasaran yang harus dikuasai, sekuen atau urutan yang harus
dituruti, kegiatan belajar yang harus dilakukan dan bagaimana evaluasinya.
c. Kurikulum yang didukung
Kurikulum jenis ini berupa
sumber-sumber yang disiapkan untuk mendukung kurikulum, seperti staf, waktu,
teks, ruang dan pelatihan.
d. Kurikulum yang diajarkan
Kurikulum ini terkait dengan apa
yang diajarkan guru di dalam kelas atau dengan kata lain adalah kurikulum yang
dapat dilihat atau diamati ketika guru mengajarkannya.
e. Kurikulum yang diujikan
Kurikulum yang diujikan adalah
kurikulum yang biasa muncul ketika tes atau ujian. Kurikulum ini bisa juga
disebut dengan kurikulum yang diukur. Kurikulum jenis ini adalah serangkaian
bahan pelajaran/kegiatan belajar yang dinilai melalui tes baik yang dibuat oleh
guru maupun tes yang sudah baku.
f.
Kurikulum
yang dipelajari
Kurikulum ini merupakan kurikulum
yang sangat mendasar “botton line” yaitu apa yang sesungguhnya dipelajari oleh
pebelajar. Kurikulum jenis ini merupakan hasil belajar, yaitu perubahan nilai,
persepsi dan tingkah laku yang terjadi dari pengalaman belajar. Kurikulum ini
merupakan apa yang telah dimengerti, dipelajari, diingat oleh siswa baik dari
kurikulum yang diinginkan maupun dari kurikulum yang tersembunyi.
g. Kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)
Kurikulum ini sering juga disebut
dengan kurikulum implicit, kurikulum yang tidak dipelajari, dapat dirumuskan
sebagai aspek dari sekolah yang selain dari kurikulum yang direncanakan namun
berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku pebelajar
4. Komponen
Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan sebuah system yang memiliki komponen-komponen, dimana komponen-komponen tersebut memiliki keterhubungan dan keterkaitan satu dengan lainnya. Komponen merupakan bagian yang integral dan fungsional yang tidak terpisahkan dari suatu system kurikulum karena komponen tersebut memiliki peran tersendiri dalam pembentukan system kurikulum.[18] Sebagai sebuah system kurikulum memiliki beberapa komponen, Dimyati dan Mudjiono[19] mengemukakan empat komponen atau subsistem yang terdapat dalam kurikulum yaitu:
1. Tujuan,
tujuan merupakan komponen yang memiliki posisi yang sangat sentral dalam
kurikulum, sebab tujuan tidak hanya mempengaruhi bentuk kurikulum namun juga
memberi arah sebuah program pendidikan. Komponen tujuan ini dapat
dispesifikasikan ke dalam Tujuan Pembelajaran Umum dan Tujuan Pembelajaran Khusus atau dalam istilah KTSP
tujuan-tujuan kurikulum ini dikenal dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar.
2. Materi, yang
dimaksud dengan komponen materi disini adalah bahan-bahan kajian yang terdiri
dari ilmu pengetahuan, nilai, pengalaman, keterampilan yang dikembangkan dalam
proses pembelajaran.[20]
Dengan demikian komponen ini menjadi bagian yang cukup efektif dalam upaya
mencapai tujuan kurikulum
3. Organisasi,
kurikulum merupakan rencana proses belajar mengajar karena itu dibutuhkan
pengorganisasian untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
4. Evaluasi, proses
analisis terhadap hasil dan proses belajar, sehingga evaluasi ini tidak hanya
menilai dokumen tertulis, namun juga pada proses interaksi belajar mengajar
(kurikulum fungsional). Dengan demikian maka komponen evaluasi merupakan upaya
untuk megukur sukses tidaknya implementasi kurikulum.
Mencermati
signifikansi evaluasi tersebut, maka pendidikan di Indonesia yang sejatinya
menjadikan evaluasi sebagai alat ukur keberhasilan kurikulum justru tidak
sepenuhnya diikhtiarkan, hal ini terbukti dengan penerapan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Dalam tataran praktis, KBK belum diimplementasikan secara
total, bahkan sosialisasinya saja belum diikhtiarkan secara maksimal dan
menyeluruh, malah diganti dengan model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Bahkan
yang ironis adalah evaluasi UN (Ujian Nasional), dijadikan sebagai standar
kelulusan. UN sejatinya menurut penulis hendaknya dijadikan sebagai bahan
evaluasi bagi pemerintah untuk menganalisa tingkat kualitas pendidikan pada
masing-masing daerah, bukan kemudian dijadikan sebagai penentu kelulusan, sebab
media, sarana dan prasarana pendukung proses pendidikan setiap daerah tidak
sama. Pendidikan di plosok kampung tidak mungkin disejajarkan dengan pendidikan
di pusat kota misalnya.
Terkait dengan komponen-komponen
kurikulum di atas, maka sebuah kurikulum hendaknya disusun dengan
mempertimbangkan komponen-komponen tersebut di samping beberapa hal berikut:
a. Tujuan
Pendidikan Nasional perlu dijabarkan menjadi tujuan institusional, selanjutnya
dirinci menjadi tujuan kurikuler yang pada gilirannya dirumuskan menjadi tujuan
instruksional yang mendasari perencanaan pengajaran.
b. Tahap
perkembangan peserta didik merupakan landasan psikologis yang mencakup
psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang mengacu pada proses
pembelajaran.
c. Kesesuaian
dengan lingkungan menunjuk pada landasan sosiologis atau lingkungan social
masyarakat.
d. Kebutuhan
pembangunan nasional yang mencakup pengembangan sumber daya manusia dan
pembangunan semua sector ekonomi.
e. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesesuaian merupakan landasan budaya
bangsa dengan multi dimensionalnya.
f. Jenis dan jenjang satuan pendidikan merupakan landasan organisator di bidang pendidikan. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya.[21]
5. Konsep Kurikulum Pendidikan Islam
Mac Donald sebagaimana yang
dikutip Nana Syaudih[22]
megatakan bahwa system persekolahan terdiri dari empat subsistem yaitu,
mengajar yang menjadi tugas professional guru, belajar merupakan respon
kegiatan mengajar, pembelajaran terkait dengan keseluruhan proses interaksi
belajar-mengajar, dan yang terakhir adalah kurikulum yang merupakan rencana
yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses belajar mengajar. Karena itulah
kemudian sebuah kurikulum harus ditinjau dari tiga aspek pembenaran, yaitu
pembenaran berdasarkan kegunaan, pembenaran berdasarkan rasionalitas, dan
pembenaran berdasarkan prinsip warisan budaya[23]
Terkait persoalan tersebut di
atas, Lias Hasibuan[24]
mengemukakan beberapa konsep kurikulum yaitu: a) Konsep kurikulum subyek
akademik ; b) Konsep kurikulum proses pengembangan kognitif ; c) Konsep
kurikulum rekonstruksi social ; d) Konsep kurikulum humanistic ; dan e) konsep
kurikulum teknologik.
Berdasarkan konsep subyek akademik,
kurikulum hendaknya berpijak pada ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan
dalam hal ini menempati posisi yang sangat dominan dibanding dengan posisi
siswa dan guru. Dengan demikian, maka segala aktifitas pendidikan diarahkan
untuk mengembangkan daya intelektual peserta didik untuk menguasai ilmu
pengetahuan.
Berdasarkan konsep proses
pengembangan kognitif, kurikulum dipandang sebagai “industri pengembangan
otak”, sebab kemampuan otak menurut konsep ini memiliki posisi yang dominan
dalam proses pendidikan. Konsep ini berpijak pada landasan bahwa pendidikan
merupakan sebuah proses perubahan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan
dengan kebenaran ilmu pengetahuan teknologi, tata nilai dan sebagainya adalah
hal yang tidak abadi. Karena itulah kemudian, membekali peserta didik
dengan metode berfikir jauh lebih baik
daripada menjejali mereka dengan segudang pengetahuan.
Selanjutnya berdasarkan konsep
rekonstruksi social, kurikulum atau dalam hal ini pendidikan merupakan a
mirror of society yang berarti bahwa
kegagalan pendidikan menjadi kegagalan sebuah masyarakat begitu pula
sebaliknya.[25]Berangkat
dari persoalan ini, maka kurikulum sejatinya dibangun berdasarkan konsep
kepekaan terhadap kondisi social masyarakat. Sementara itu, konsep kurikulum
humanistic berangkat dari landasan bahwa pendidikan merupakan proses
pengembangan kepribadian siswa secara utuh, sehingga hak siswa untuk belajar
sangat dijunjung tinggi. Karena itulah kemudian, pendidik dalam hal ini
berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan identitas dirinya.
Selanjutnya berdasarkan konsep teknologik, kurikulum hendaknya berpijak pada
keberperanan media dalam proses pembelajaran. Kurikulum dalam hal ini disajikan
dalam bentuk teori dan prinsip pengetahuan yang bersifat aplikatif.
Mencermati beberapa konsep
kurikulum tersebut di atas, perlu kiranya mencermati beberapa fungsi dari
kurikulum, sehingga konsep-konsep tersebut dapat dipahami secara lebih
komprehensif. Muhaimin menyebutkan bahwa secara fungsional, kurikulum hendaknya
melibatkan tiga subsistem yaitu:
1. Bagi
sekolah/ madrasah yang bersangkutan:
a. Sebagai alat
untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan.
b. Pedoman
untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah
2. Bagi sekolah
/madrasah di atasnya:
a. Melakukan
penyesuaian
b. Menghindari
keterulangan sehingga boros waktu
c. Menjaga
kesinambungan
3. Bagi
masyarakat:
a. Masyarakat
sebagai pengguna lulusan, karena itu sekolah/madrsah harus mengetahui hal yang
menjadi kebutuhan masyarakat.
b. Adanya kerja
sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum.[26]
Berdasarkan fungsi-fungsi
kurikulum tersebut, maka kurikulum pada dasarnya bersumber dari : 1) Pengetahuan,
yaitu bahan yang akan disampaikan kepada
siswa; 2) masyarakat, sebab sekolah merupakan agen masyarakat
dalam meneruskan warisan-warisan budaya; 3) individu, kurikulum disusun
untuk membantu perkembangan anak seoptimal mungkin.[27]
Dengan demikian maka, kurikulum yang dibangun berdasarkan konsep-konsep tersebut di atas sejatinya tidak dipandang sebagai bagian yang terpisah, sebab setiap konsep tentunya memiliki kelebihan dan keistimewaan di satu sisi, sekaligus kelemahan pada sisi lainnya. Karena itulah kemudian, sebuah kurikulum hendaknya diramu dengan mengintegrasikan semua konsep yang ada sehingga kurikulum mampu menjadi jawaban atas persoalan-persoalan pendidikan.
C. Penutup
Kurikulum merupakan bagian yang
cukup penting dalam proses pendidikan. Kurikulum akan mengarahkan kemana
pendidikan akan dibawa. Seiring dengan munculnya inovasi-inovasi baru dalam
dunia pendidikan, maka pendidikan Islam dituntut lebih selektif dalam
menganalisis setiap konsep-konsep baru yang berkembang, terlebih lagi jika
konsep tersebut berseberangan dengan karakteristik pendidikan Islam.
Dengan demikian, pengembangan
kurikulum PAI menjadi sangat urgen untuk diwujudkan tentunya dengan memperjelas
tujuan, program, materi pendidikan dan sebagainya. Semua ini tentu akan
terwujud jika para actor dalam pendidikan Islam memahamai konsep-konsep
kurikulum PAI.
[1]
Kurikulum di Indonesia mengalami perubahan pada tahun 1968 untuk memperbaharui
kurikulum sebelumnya, 7 tahun kemudian mengalami perubahan lagi dengan
munculnya kurikulum 1975. Selanjutnya 9 tahun kemudian berubah menjadi
kurikulum 1984 dan berlaku hingga munculnya kurikulum 1994. Sesudah berjalan 10
tahun kurikulum 1994 mengalami perubahan dengan munculnya kurikulum 2004
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan yang terakhir KBK juga mengalami
penyempurnaan dengan munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun
2006 Lihat: Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan…..hal. 15
[3]Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam (Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009, hal. 1
[4] H.
Oemer Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008, hal. 92
[6] Nana
Syaoudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek), Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1997, hal. 5
[9] H.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 6
[12]
Soetopo & Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum (Sebagai Substansi
Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1993, h. 78
[16]
Soetopo & Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum (Sebagai
Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1993, h. 78
[21] H.
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008, hal. 92-93
[22] Nana
Syaoudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek), Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1997, hal.
5