Setelah tidak lagi menjadi siswa di Sekolah
Rakyat, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz dididik oleh orang tuanya di rumah
dengan memperdalam ilmu agama sembari membantu ayahnya bekerja di sawah dan
terkadang membantu ibunya berjualan kue, dan kondisi ini berlangsung kurang
lebih selama 5 tahun karena setelah itu beliau kembali menuntut ilmu di Pondok
Pesantren Nahdlatul Wathan (NW) Pancor Kabupaten Lombok Timur di bawah
bimbingan TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid.
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid adalah seorang ulama di Pulau Lombok yang secara genitas berasal dari garis keturunan darah biru. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dilahirkan di kampung Bermi, Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1316 H bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 M dari perkawinan TGH. Abdul Madjid dengan seorang wanita bernama Hajah Halimah al-Sa'diyah. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid berasal dari keturunan orang-orang terpandang, yaitu keturunan sultan-sultan Selaparang. Argumen ini paralel dengan analisa yang diajukan oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum.
Praktek ziarah semacam ini memang biasa dilakukan oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk
mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Di samping itu pula, TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya
terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang
silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan sultan-sultan Kerajaan
Selaparang
TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz menuntut ilmu di bawah bimbingan TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid kurang lebih selama 4 tahun. Pendidikan di Pancor seharusnya diselesaikan selama 6 tahun, namun karena TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz tergolong santri yang memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata maka pendidikannya di Pancor dapat diselesaikan hanya dalam waktu 4 tahun. Dalam keseharian di pondok, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz terkenal sebagai santri yang sangat rajin belajar dan beribadah. Semangat belajar yang menjadi karakteristiknya semakin produktif karena ditopang oleh kemampuan akademiknya yang cukup tinggi. Dalam waktu yang relative singkat beliau dapat mengusai materi kitab yang disajikan. Satu hal yang menjadi tradisi TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz ketika berada di pondok adalah selalu tidur lebih awal dan bangun cepat. Pada sepertiga malam beliau selalu menghabiskan waktu untuk bercengkrama dengan Allah SWT melalui Qiyam al Lail, Tilawah al Quran, dan mengkaji kitab-kitab yang telah dipelajari serta melakukan wirid dzikir.
Setelah
menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Pancor pada tahun
1949, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz akhirnya
kembali ke kampung halaman dan mengabdikan diri di lembaga pendidikan yang
dibangun kakak beliau yaitu TGH. Muhammad Sakaki. Lembaga
pendidikan ini berorientasi untuk mendidik dan membina anak-anak dalam
pendidikan keagamaan. Dalam
perkembangannya, lembaga pendidikan ini mendapat respon yang cukup positif dari
masyarakat, sehingga masyarakat pun menyarankan agar jangkauan lembaga ini diperluas
sehingga tidak terbatas untuk mendidik anak-anak namun
juga remaja atau masyarakat umum. Dalam rangka mewujudkan harapan
masyarakat tersebut, lembaga pendidikan yang pada awalnya bernama Nahdlatul
Aulad berubah menjadi Nahdlatul Muslimin.
Di samping menjalankan profesi sebagai seorang pendidik di lembaga Nahdlatul Muslimin, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz juga membuka peluang usaha berupa menjual sembako dan bisnis jual beli tanah. Setelah sekian lama bergelut di dalam dunia pendidikan dan dunia usaha, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz memutuskan untuk pergi berhaji ke Tanah Suci melalui jalur laut dengan menggunakan kapal.
Sekembali dari
Tanah Suci, TGKH.
Musthofa Umar Abdul Aziz menyempatkan diri untuk
bersilaturrahmi dengan sang guru TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid. Di sela-sela
agenda silaturrahmi tersebut, Sang Guru menyarankan TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz untuk
melanjutkan studi di Makkah untuk memperdalam kajian terhadap kitab-kitab
keislaman. Setelah cukup lama merenungi
saran dari Sang Guru, maka TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz akhirnya memutuskan untuk melakukan
pengembaraan ke Tanah Suci mengambil berkah ilmu dari para masyaikh.
TGKH. Musthofa
Umar Abdul Aziz cukup lama menuntut ilmu di Makkah. Tidak hanya menuntut ilmu,
beliau juga dipercaya oleh pemerintah Arab Saudi sebagai tim pengajar di
Masjidil Harom, tugas ini beliau jalankan kurang lebih selama 2 tahun terakhir
sebelum dikeluarkan kebijakan oleh pemerintah Arab Saudi terkait larangan
mengajar di Masjid al Haram bagi pengajar yang tidak memiliki surat domisili.
Pada tahun 1985 pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan bahwa seluruh
ulama non Arab tidak lagi diperkenankan mengajar di Masjidil Harom kecuali yang
memiliki surat keterangan domisili. Terkait kebijakan ini, maka TGKH. Musthofa
Umar Abdul Aziz akhirnya kembali ke Pulau Lombok dan mendirikan Pondok
Pesantren Al-Aziziyah.
Setelah cukup lama mengabdikan diri kepada masyarakat
untuk mendistribusikan ide dan pemikiran beliau serta ikhtiar membumikan al
Quran di Pulau Lombok melalui Pondok Pesantren Al-Aziziyah, tepat di hari Kamis
tanggal 1 Rajab 1435 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Mei 2014 sekitar pukul
11.40 WIB TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz kembali
ke rahmatullah dengan meninggalkan 1 orang istri yaitu Hj. Fauziyah dan 8 orang
putra putri yaitu Drs. H. Munawwir Musthofa, SH, MH, H. Munawwar Hadi, S.H, H.
Fauzul Bayan Musthofa, S.Ag, TGH. Fathul Aziz Musthofa, Hj. Fuziyati Musthofa,
H. Fauzan Musthofa, S.H, H. Fawwaz Musthofa, S.H, M.A, dan Hj. Zakiyah
Musthofa, S.Pd.I.
TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz meninggalkan warisan
berharga kepada masyarakat Lombok yaitu ribuan santri, dewan asatidz dan sebuah
lembaga pendidikan Pondok Pesantren yang menjadi pusat pengembangan program
Tahfizh al Quran di Pulau Lombok. Warisan tersebut tentu saja hingga kini memberikan
kontribusi yang cukup signifikan terutama dalam ikhtiar pengembangan program Tahfizh al Qur’an di Pulau Lombok. Estapeta perjuangan TGKH.
Musthofa Umar Abdul Aziz sejatinya harus senantiasa dilanjutkan agar ikhtiar
membumikan kalam-kalam Tuhan di Pulau seribu Masjid dapat terwujud.
Kapasitas keilmuan yang dimiliki TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz tidak lepas dari peran para guru yang telah membimbing dan membina beliau baik ketika berada di Lombok maupun di Makkah al Mukarromah. Di antara guru-guru beliau adalah: (1) TGH. Umar Abdul Aziz, adalah orang tua sekaligus guru TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz. Sejak usia dini beliau secara intens dibimbing untuk memahami dasar-dasar agama terutama persoalan-persoalan terkait al-Quran. (2) TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, adalah sosok yang juga berjasa dalam membimbing TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz ketika beliau menuntut ilmu di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan (NW) Panncor Lombok Timur. (3) TGH. Lalu Zainal Abidin, Sakra Lombok Timur. (4) TGH. M. Rois, Sekarbela Kota Mataram. (5) TGH. Abdul Hafizh, Kediri Lombok Barat; (6) Syekh Hasan Masyath, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar tentang Hadits Bukhori Muslim. (7) Syekh Muhammad Amin Quthby; (8) Syekh Muhammad Qadir as-Syangkithy; (9) Syekh Yahya Al-Hindy; (10) Syekh Yasin al-Fadany, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar Ilmu Sanad Hadits; (11) Syekh Zaid Hasan al-Yamani, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz Ushul Fiqh; (12) Syekh Syekh Ahmad Anshori, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar tentang Fiqih; (13) Syekh Anizar Hamdi al-Iraqy, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar tentang ilmu Tafsir; (14) Syekh Manshur, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar tentang sejarah; (15) Syekh Abu Zakaria Yahya, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar Ilmu Tauhid; (16) Syekh Zakaria Billa, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar Ilmu Ushul Fiqh; (17) Syekh Abdullah al-Sankiti Murtania, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar Ilmu Nahwu; (18) Syekh Abdul Hamid al-Ubadi, TGKH. Musthofa Umar Abdul Aziz belajar Ilmu Tasawuf; (19) Dan beberapa masyaikh lannya. (Bersambung)