Artikel

Kamis, 10 Desember 2020

KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


A.   Pendahuluan

Sejak bergulirnya reformasi politik di Indonesia pada tahun 1998, kebijakan pengembangan sektor pendidikan pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang memposisikan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan. Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga menggulirkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menginstruksikan pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan.

Terkait kebijakan tersebut maka pendidikan Islam sebagai bagian yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejatinya memiliki ambisi yang kuat untuk berinovasi menciptakan produk-produk baru terutama yang menyangkut kurikulum. Namun inovasi pendidikan yang yang bersifat top-down, - setiap kebijakan ditentukan oleh pusat dan cendrung memaksa - justru menjadi batu sandungan. Dengan demikian, maka tidak mengherankan kemudian muncul kesan di masyarakat bahwa setiap ganti menteri akan diikuti dengan perubahan kebijakan. Padahal kebijakan sebelumnya belum secara sempurna diikhtiarkan bahkan mungkin belum tersosialisasikan secara merata. Kebijakan terkait kurikulum misalnya terindikasi bahwa ”mal praktek” alias ”coba-coba” dalam dunia pendidikan masih berlaku.

Kurikulum pada dasarnya merupakan produk pemikiran yang tentunya tidak bisa digunakan sepanjang zaman, hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kebutuhan, situasi dan kondisi sebuah lembaga pendidikan. Namun ironis rasanya jika implementasi kurikulum di Indonesia cendrung dipaksakan dan sarat akan ”kepentingan-kepentingan politis”. Dalam perjalanannya, kurikulum di Indonesia telah banyak mengalami perubahan-perubahan,[1] sehingga tidak jarang menimbulkan kebingungan di kalangan para pendidik.

Sebagai langkah antisipatif terhadap persoalan tersebut, maka para pendidik khususnya pada lembaga pendidikan Islam dalam hal ini, hendaknya memiliki landasan yang kokoh terkait konsep pengembangan kurikulum, sehingga tidak mudah tergeser oleh derasnya arus transformasi dan inovasi pendidikan yang notabenenya tidak dibangun berdasarkan konsep Islam. Dengan demikian maka diperlukan sikap selektif dan kehati-hatian dalam menganalisa setiap perkembangan baru dalam dunia pendidikan terlebih lagi persoalan kurikulum. 

Oleh karena itu dalam coretan-coretan sederhana ini, penulis akan memaparkan konsep-konsep terkait kurikulum pendidikan (baca: agama Islam). Adapun narasi-narasi dalam tulisan ini hanya dibatasi pada beberapa persoalan seperti definisi kurikulum, jenis-jenis kurikulum, komponen kurikulum, dan konsep kurikulum. Dengan demikian maka ulasan dalam tulisan ini tentu saja tidak secara komprehensif kemudian memberikan gambaran yang utuh terkait persoalan kurikulum, namun tulisan sederhana ini hanya memberikan sedikit gambaran sekaligus sebagai pijakan awal terhadap uraian pada tulisan-tulisan terkait kurikulum pendidikan (baca: Islam) selanjutnya. 

 B.    Konsep Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Dalam dunia pendidikan, kurikulum menempati posisi yang cukup sentral sebab kurikulum merupakan pengendali atau acuan kemana proses pendidikan akan diarahkan. Karena itulah kemudian segala aktifitas proses pendidikan sejatinya bermuara pada kurikulum. Kurikulum, baik pendidikan Islam ataupun pendidikan umum pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tataran konsep, oleh karena itu pada uraian selanjutnya penulis menggunakan istilah kurikulum secara umum tanpa melakukan tempelisasi istilah pendidikan Islam.   

 1.      Definisi Kurikulum

Istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu curriculum, yang merupakan istilah yang digunakan untuk dunia olahraga, yaitu berupa jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Dari sisi etimologi kata kurikulum terambil dari bahasa latin yang memiliki makna yang sama  dengan kata “racecourse” (gelanggang perlombaan ) kata-kata curriculum dalam bentuk kata kerja yang dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “curere” adalah mengandung arti “menjalankan perlombaan” (running of fie race). Sedangkan dari sudut terminologinya, istilah kurikulum digunakan dalam berbagai versi. Kurikulum digunakan untuk menunjukan (a) rencana pendidikan untuk siswa, yaitu mencakup mata pelajaran dalam lapangan kurikulum, (b) lapangan studi, yang memiliki batasan sebagai berikut: (1) studi yang berhubungan dengan struktur substantive dari setiap mata pelajaran, dan (2) prosedur penyelidikan praksis-praksis yang berhubungan dengan struktur sintakis (kurikulum). Lebih jelas dapat disimpulkan bahwa kurikulum sebagai lapangan studi mencakup, (a) mata pelajaran yang disajikan dalam kurikulum, dan (b) proses-proses mata pelajaran yang berhubungan dengan perubahan dan pengembangan kurikulum.[2]

Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan  sebagai pedoman untuk penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karena itulah kemudian kurikulum menjadi salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan merupakan penjabaran dari idealism, cita-cita tuntutan masyarakat atau kebutuhan tertentu sehingga akan diketahui kemana arah pendidikan, alternative pendidikan, fungsi pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan.[3]

Rumusan yang kurikulum sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang tersebut, menurut Hamalik dapat dispesifikasikan menjadi beberapa pokok pikiran yaitu: (a) Kurikulum merupakan suatu rencana/perencanaan; (b) Kurikulum merupakan pengaturan, mempunyai sistematika dan struktur tertentu; (c) Kurikulum memuat isi dan bahan pelajaran, menunjuk pada perangkat mata pelajaran atau bidang pengajaran tertentu; (d) Kurikulum mengandung cara, metode atau strategi penyampaian pengajaran; (e) Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar; (f) Kurikulum dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan; (g) Kurikulum merupakan alat pendidikan.[4]

Sementara itu Lias Hasibuan melihat definisi kurikulum dari dua pemahaman yang berbeda, tradisional pada satu sisi dan modern di sisi yang lain. Berdasarkan pemahaman tradisional, kurikulum dapat didefinisikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau bahan ajar yang harus dikuasai oleh murid atau diajarkan oleh guru untuk mencapai suatu tingkatan atau ijazah. Sementara berdasarkan pemahaman modern, kurikulum dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang disediakan untuk siswa oleh sekolah atau semua kegiatan pembelajaran siswa yang direncakan dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Bahkan kurikulum berdasarkan definisi modern mencakup juga keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan, kecakapan,  dan sikap orang yang meladeni dan diladeni di sekolah mulai dari anak didik, masyarakat, para pendidik, juru tulis, pegawai dan pimpinan sekolah, sampai kepada pelayanan sekolah seperti tukang sapu atau penjaga sekolah.[5]

Dengan menganalisa beberapa definisi tersebut di atas, maka kurikulum pada dasarnya tidak hanya merupakan sebuah dokumen tertulis terkait materi, silabus, tujuan pendidikan dan seterusnya, namun segala factor pendukung proses pendidikan juga menjadi bagian dari kurikulum. Karena itulah kemudian muncul istilah kurikulum fungsional dan kurikulum sebagai sebuah perencanaan. Sebagai sebuah perencanaan, kurikulum tertulis dalam dokumen yang selanjutnya dijadikan sebagai rencana pengajaran. Sementara secara fungsional, kurikulum menjadi bagian dari proses pelaksanaan pengajaran yang beroperasi dalam kelas.[6] Terkait persoalan ini, Hilda Taba sebagaimana yang dikemukakan Nana bahwa perbedaan antara kurikulum dan pengajaran bukan terletak pada implementasinya akan tetapi terletak pada keluasan cakupannya. Kurikulum berkenaan dengan isi dan metode yang lebih luas daripada pengajaran.[7]

2.      Definisi Pendidikan Agama Islam

Pada uraian berikut penulis akan memaparkan definisi Pendidikan Agama Islam (PAI), namun sebelumnya, perlu kiranya sebuah redefinisi (penegasan) istilah Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan Pendidikan Islam, sebab kedua istilah ini sering sekali menjadi rancu karena dianggap memiliki makna yang sama padahal secara substansi memilki perbedaan yang cukup signifikan.

Terkait persoalan ini, Ahmad Tafsir sebagaimana yang dikemukakan Muhaimin mengatakan bahwa PAI merupakan kegiatan mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran, sejatinya dinamakan Pelajaran Agama Islam karena yang diajarkan adalah Agama Islam bukan Pendidikan Agama Islam. Sementara itu menurut Dr. Hj. Maimun Aqsa, perkara yang perlu didahulukan dalam kurikulum pendidikan agama Islam ialah al-Quran, Hadis dan juga Bahasa Arab. Kedua ialah bidang ilmu yang meliputi kajian tentang manusia sebagai individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Menurut istilah modern, bidang ini dikenali sebagai kemanusiaan (al-ulum al-insaniyyah). Bidang-bidangnya termasuklah psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi dan lain-lain. Ketiga bidang ilmu mengenai sains natural ( al-ulum al-Kauniyyah), yang meliputi bidang-bidang seperti astronomi, biologi dan sebagainya.[8]

Sementara pendidikan Islam merupakan system pendidikan Islami yang bersumber dari al Quran dan Hadits.[9]Dengan demikian, maka dapat ditegaskan bahwa Pendidikan Agama Islam substansinya adalah materi pelajaran agama Islam, sementara Pendidikan Islam merupakan system dimana PAI menjadi bagiannya.

Dengan mencermati definisi terkait kurikulum dan pendidikan agama Islam, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan Kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah landasan yang dijadikan acuan dalam proses pendidikan agama Islam yang memuat tujan pendidikan, materi dan sebagainya, baik yang berbentuk dokumen tertulis (perencanaan) maupun fungsional ( dokumen non tertulis) untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. 

3.      Jenis-jenis kurikulum

Dalam kurikulum nasional sebagaimana yang dikemukakan Abdullah Idi bahwa keseluruhan program pembelajaran sudah baku dan siap dipakai, namun kurikulum tersebut umumnya merupakan model yang sangat ideal sehingga diperlukan pengembangan agar lebih bersifat aplikatif.[10]terkait penyusunan kurikulum tersebut perlu dilakukan pengorganisasian kurikulum ada tiga pola pengorganisasian kurikulum atau yang disebut dengan jenis kurikulum yaitu:

1.1.Sparated subject kurikulum

Kurikulum jenis ini merupakan kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu sama lain. Kurikulum mata pelajaran terpisah berarti kurikulumnya berbentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah yang kurang memiliki keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya.[11] Tyler dan Alexander sebagaimana yang dikemukakan Soetomo dan Soemanto[12] menyebutkan bahwa jenis kurikulum ini sudah digunakan selama beberapa abad bahkan masih banyak digunakan di berbagai lembaga pendidikan. Kurikulum ini terdiri dari berbagai mata pelajaran yang tujuan pelajarannya adalah agar anak didik menguasai bahan dari tiap-tiap mata pelajaran yang telah ditentukan secara logis, sistematis dan mendalam. Adapun model kurikulum ini dapat digambarkan sebagai berikut:




1.2.Correlated Curriculum

Kurikulum jenis ini merupakan kurikulum di mana sejumlah mata pelajaran dihubungkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga ruang lingkup bahan yang tercakup semakin luas. Sebagai contoh mata pelajaran Fiqih dapat dihubungkan dengan mata pelajaran al Quran al Hadits.[13] Pengkorelasian sejumlah mata pelajaran ini dapat dilakukan dengan bebagai cara. Dalam hal ini Abdullah Idi[14] menyebutkan tiga cara yaitu: a) Korelasi Okkasional/insedental yaitu korelasi yang dapat dilakukan secara tiba-tiba misalnya pada mata pelajaran Aqidah Akhlaq dapat dibicarakan tentang SKI; b) Korelasi etis yaitu bertujuan untuk mendidik budi pekerti sehingga dalam hal ini yang tepat adalah PAI yaitu dipelajari tentang cara menghormati orang tua, tamu dan sebagainya; dan c) Korelasi sistematis ini biasanya direncanakan oleh guru misalnya bercocok tanam padi dibahas dalam mata pelajaran geografi dan sebagainya.

   



 1.3.Broad Field Curriculum

Jenis kurikulum ini merupakan usaha untuk meningkatkan kurikulum dengan mengkombinasikan beberapa mata pelajaran sebagai contoh mata pelajaran sejarah, geografi, ilmu ekonomi, ilmu politik disatukan menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).[15] Keunggulan model kurikulum ini adalah adanya kombinasi mata pelajaran sehingga manfaatnya akan semakin dirasakan, dan memungkinkan adanya mata pelajaran yang kaya akan pengertian dan mementingkan prinsip dasar serta generalisasi. Namun kelemahan model kurikulum ini adalah hanya memberikan pengetahua secara sketsa, abstrak, dan kurang logis dari suatu mata pelajaran.[16]

Berbeda dari dengan jenis kurikulum yang dikemukakan Abdullah Idi sebagaimana yang dikemukakan di atas, Glattorn[17] sebagaimana yang dikemukakan Muhammad merumuskan tujuh jenis kurikulum yaitu:

a.      Kurikulum yang direkomendasikan

Ini adalah jenis kurikulum  yang ideal, yaitu kurikulum yang direkomendasikan oleh para ahli, ikatan profesi, komisi pembaharuan pendidikan dan juga berdasarkan kebijakan pemerintah. Karena kurikulum ini bersifat ideal maka ada keharusan mempelajari konsep atau keterampilan yang akan dikembangkan menurut menurut persepsi dan system sumber nilai. Kurikulum ini bersifat umum dan berisi sejumlah kebijakan yang disarankan, sejumlah tujuan, syarat-syarat kelulusan, rekomendasi tentang bahan, dan urutan-urutan bahan.

b.      Kurikulum yang tertulis

Kurikulum yang tertulis merupakan kurikulum yang telah disetujui oleh pemerintah. Kurikulum ini merupakan pengendali untuk menjamin tujuan pendidikan. Kurikulum ini lebih representative jika dibandingkan dengan kurikulum yang direkomendasikan. Kurikulum ini pada umumnya memuat dasar-dasar pertimbangan yang mendukung kurikulum, tujuan yang harus dicapai, sasaran yang harus dikuasai, sekuen atau urutan yang harus dituruti, kegiatan belajar yang harus dilakukan dan bagaimana evaluasinya.

c.       Kurikulum yang didukung

Kurikulum jenis ini berupa sumber-sumber yang disiapkan untuk mendukung kurikulum, seperti staf, waktu, teks, ruang dan pelatihan.

d.      Kurikulum yang diajarkan

Kurikulum ini terkait dengan apa yang diajarkan guru di dalam kelas atau dengan kata lain adalah kurikulum yang dapat dilihat atau diamati ketika guru mengajarkannya.

e.       Kurikulum yang diujikan

Kurikulum yang diujikan adalah kurikulum yang biasa muncul ketika tes atau ujian. Kurikulum ini bisa juga disebut dengan kurikulum yang diukur. Kurikulum jenis ini adalah serangkaian bahan pelajaran/kegiatan belajar yang dinilai melalui tes baik yang dibuat oleh guru maupun tes yang sudah baku.

f.        Kurikulum yang dipelajari

Kurikulum ini merupakan kurikulum yang sangat mendasar “botton line” yaitu apa yang sesungguhnya dipelajari oleh pebelajar. Kurikulum jenis ini merupakan hasil belajar, yaitu perubahan nilai, persepsi dan tingkah laku yang terjadi dari pengalaman belajar. Kurikulum ini merupakan apa yang telah dimengerti, dipelajari, diingat oleh siswa baik dari kurikulum yang diinginkan maupun dari kurikulum yang tersembunyi.

g.      Kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)

Kurikulum ini sering juga disebut dengan kurikulum implicit, kurikulum yang tidak dipelajari, dapat dirumuskan sebagai aspek dari sekolah yang selain dari kurikulum yang direncanakan namun berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku pebelajar

4.      Komponen Kurikulum Pendidikan Islam

 Kurikulum merupakan sebuah system yang memiliki komponen-komponen, dimana komponen-komponen tersebut memiliki keterhubungan dan keterkaitan satu dengan lainnya. Komponen merupakan bagian yang integral dan fungsional yang tidak terpisahkan dari suatu system kurikulum karena komponen tersebut memiliki peran tersendiri dalam pembentukan system kurikulum.[18] Sebagai sebuah system kurikulum memiliki beberapa komponen, Dimyati dan Mudjiono[19] mengemukakan empat komponen atau subsistem yang terdapat dalam kurikulum yaitu:

1.      Tujuan, tujuan merupakan komponen yang memiliki posisi yang sangat sentral dalam kurikulum, sebab tujuan tidak hanya mempengaruhi bentuk kurikulum namun juga memberi arah sebuah program pendidikan. Komponen tujuan ini dapat dispesifikasikan ke dalam Tujuan Pembelajaran Umum dan Tujuan  Pembelajaran Khusus atau dalam istilah KTSP tujuan-tujuan kurikulum ini dikenal dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

2.      Materi, yang dimaksud dengan komponen materi disini adalah bahan-bahan kajian yang terdiri dari ilmu pengetahuan, nilai, pengalaman, keterampilan yang dikembangkan dalam proses pembelajaran.[20] Dengan demikian komponen ini menjadi bagian yang cukup efektif dalam upaya mencapai tujuan kurikulum

3.      Organisasi, kurikulum merupakan rencana proses belajar mengajar karena itu dibutuhkan pengorganisasian untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. 

4.      Evaluasi, proses analisis terhadap hasil dan proses belajar, sehingga evaluasi ini tidak hanya menilai dokumen tertulis, namun juga pada proses interaksi belajar mengajar (kurikulum fungsional). Dengan demikian maka komponen evaluasi merupakan upaya untuk megukur sukses tidaknya implementasi kurikulum.

Mencermati signifikansi evaluasi tersebut, maka pendidikan di Indonesia yang sejatinya menjadikan evaluasi sebagai alat ukur keberhasilan kurikulum justru tidak sepenuhnya diikhtiarkan, hal ini terbukti dengan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam tataran praktis, KBK belum diimplementasikan secara total, bahkan sosialisasinya saja belum diikhtiarkan secara maksimal dan menyeluruh, malah diganti dengan model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Bahkan yang ironis adalah evaluasi UN (Ujian Nasional), dijadikan sebagai standar kelulusan. UN sejatinya menurut penulis hendaknya dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah untuk menganalisa tingkat kualitas pendidikan pada masing-masing daerah, bukan kemudian dijadikan sebagai penentu kelulusan, sebab media, sarana dan prasarana pendukung proses pendidikan setiap daerah tidak sama. Pendidikan di plosok kampung tidak mungkin disejajarkan dengan pendidikan di pusat kota misalnya.  

Terkait dengan komponen-komponen kurikulum di atas, maka sebuah kurikulum hendaknya disusun dengan mempertimbangkan komponen-komponen tersebut di samping beberapa hal berikut:

a.       Tujuan Pendidikan Nasional perlu dijabarkan menjadi tujuan institusional, selanjutnya dirinci menjadi tujuan kurikuler yang pada gilirannya dirumuskan menjadi tujuan instruksional yang mendasari perencanaan pengajaran.

b.      Tahap perkembangan peserta didik merupakan landasan psikologis yang mencakup psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang mengacu pada proses pembelajaran.

c.       Kesesuaian dengan lingkungan menunjuk pada landasan sosiologis atau lingkungan social masyarakat.

d.      Kebutuhan pembangunan nasional yang mencakup pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan semua sector ekonomi.

e.       Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesesuaian merupakan landasan budaya bangsa dengan multi dimensionalnya.

f.       Jenis dan jenjang satuan pendidikan merupakan landasan organisator di bidang pendidikan. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya.[21] 

5.      Konsep Kurikulum Pendidikan Islam

Mac Donald sebagaimana yang dikutip Nana Syaudih[22] megatakan bahwa system persekolahan terdiri dari empat subsistem yaitu, mengajar yang menjadi tugas professional guru, belajar merupakan respon kegiatan mengajar, pembelajaran terkait dengan keseluruhan proses interaksi belajar-mengajar, dan yang terakhir adalah kurikulum yang merupakan rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses belajar mengajar. Karena itulah kemudian sebuah kurikulum harus ditinjau dari tiga aspek pembenaran, yaitu pembenaran berdasarkan kegunaan, pembenaran berdasarkan rasionalitas, dan pembenaran berdasarkan prinsip warisan budaya[23]

Terkait persoalan tersebut di atas, Lias Hasibuan[24] mengemukakan beberapa konsep kurikulum yaitu: a) Konsep kurikulum subyek akademik ; b) Konsep kurikulum proses pengembangan kognitif ; c) Konsep kurikulum rekonstruksi social ; d) Konsep kurikulum humanistic ; dan e) konsep kurikulum teknologik.

Berdasarkan konsep subyek akademik, kurikulum hendaknya berpijak pada ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam hal ini menempati posisi yang sangat dominan dibanding dengan posisi siswa dan guru. Dengan demikian, maka segala aktifitas pendidikan diarahkan untuk mengembangkan daya intelektual peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan.

Berdasarkan konsep proses pengembangan kognitif, kurikulum dipandang sebagai “industri pengembangan otak”, sebab kemampuan otak menurut konsep ini memiliki posisi yang dominan dalam proses pendidikan. Konsep ini berpijak pada landasan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses perubahan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran ilmu pengetahuan teknologi, tata nilai dan sebagainya adalah hal yang tidak abadi. Karena itulah kemudian, membekali peserta didik dengan  metode berfikir jauh lebih baik daripada menjejali mereka dengan segudang pengetahuan.

Selanjutnya berdasarkan konsep rekonstruksi social, kurikulum atau dalam hal ini pendidikan merupakan a mirror of society  yang berarti bahwa kegagalan pendidikan menjadi kegagalan sebuah masyarakat begitu pula sebaliknya.[25]Berangkat dari persoalan ini, maka kurikulum sejatinya dibangun berdasarkan konsep kepekaan terhadap kondisi social masyarakat. Sementara itu, konsep kurikulum humanistic berangkat dari landasan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan kepribadian siswa secara utuh, sehingga hak siswa untuk belajar sangat dijunjung tinggi. Karena itulah kemudian, pendidik dalam hal ini berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan identitas dirinya. Selanjutnya berdasarkan konsep teknologik, kurikulum hendaknya berpijak pada keberperanan media dalam proses pembelajaran. Kurikulum dalam hal ini disajikan dalam bentuk teori dan prinsip pengetahuan yang bersifat aplikatif.

Mencermati beberapa konsep kurikulum tersebut di atas, perlu kiranya mencermati beberapa fungsi dari kurikulum, sehingga konsep-konsep tersebut dapat dipahami secara lebih komprehensif. Muhaimin menyebutkan bahwa secara fungsional, kurikulum hendaknya melibatkan tiga subsistem yaitu:

1.      Bagi sekolah/ madrasah yang bersangkutan:

a.       Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan.

b. Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah

2.      Bagi sekolah /madrasah di atasnya:

a.       Melakukan penyesuaian

b.      Menghindari keterulangan sehingga boros waktu

c.       Menjaga kesinambungan

3.      Bagi masyarakat:

a.       Masyarakat sebagai pengguna lulusan, karena itu sekolah/madrsah harus mengetahui hal yang menjadi kebutuhan masyarakat.

b.  Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum.[26]

Berdasarkan fungsi-fungsi kurikulum tersebut, maka kurikulum pada dasarnya bersumber dari : 1) Pengetahuan, yaitu bahan yang akan disampaikan kepada  siswa; 2) masyarakat, sebab sekolah merupakan agen masyarakat dalam meneruskan warisan-warisan budaya; 3) individu, kurikulum disusun untuk membantu perkembangan anak seoptimal mungkin.[27]

Dengan demikian maka, kurikulum yang dibangun berdasarkan konsep-konsep tersebut di atas sejatinya tidak dipandang sebagai bagian yang terpisah, sebab setiap konsep tentunya memiliki kelebihan dan keistimewaan di satu sisi, sekaligus kelemahan pada sisi lainnya. Karena itulah kemudian, sebuah kurikulum hendaknya diramu dengan  mengintegrasikan semua konsep yang ada sehingga kurikulum mampu menjadi jawaban atas persoalan-persoalan pendidikan.

C.    Penutup

Kurikulum merupakan bagian yang cukup penting dalam proses pendidikan. Kurikulum akan mengarahkan kemana pendidikan akan dibawa. Seiring dengan munculnya inovasi-inovasi baru dalam dunia pendidikan, maka pendidikan Islam dituntut lebih selektif dalam menganalisis setiap konsep-konsep baru yang berkembang, terlebih lagi jika konsep tersebut berseberangan dengan karakteristik pendidikan Islam.

Dengan demikian, pengembangan kurikulum PAI menjadi sangat urgen untuk diwujudkan tentunya dengan memperjelas tujuan, program, materi pendidikan dan sebagainya. Semua ini tentu akan terwujud jika para actor dalam pendidikan Islam memahamai konsep-konsep kurikulum PAI.

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 



       [1] Kurikulum di Indonesia mengalami perubahan pada tahun 1968 untuk memperbaharui kurikulum sebelumnya, 7 tahun kemudian mengalami perubahan lagi dengan munculnya kurikulum 1975. Selanjutnya 9 tahun kemudian berubah menjadi kurikulum 1984 dan berlaku hingga munculnya kurikulum 1994. Sesudah berjalan 10 tahun kurikulum 1994 mengalami perubahan dengan munculnya kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan yang terakhir KBK juga mengalami penyempurnaan dengan munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 Lihat: Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan…..hal. 15

        [2] H. Lias Hasibuan, Ibid. hal. 1-3

       [3]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 1

       [4] H. Oemer Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 92

       [5] Ibid hal. 6-10

       [6] Nana Syaoudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997,  hal. 5

       [7] Ibid.

       [9] H. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 6

       [10] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,  Yogyakarta: Ar Ruz, 2007, h. 141

       [11] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,  Yogyakarta: Ar Ruz, 2007, h. 142

       [12] Soetopo & Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum (Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1993, h. 78

       [13] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek…h.. 143

       [14] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek…h.. 143-144

       [15] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek…h.. 145

       [16] Soetopo & Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum (Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1993, h. 78

       [17] Muhammad, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, 2000, h. 6-9

       [18] H. Lias Hasibuan hal. 37

       [19] Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004,  hal 273-277

       [20] H. Lias Hasibuan, Op. Cit, hal. 39

       [21] H. Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 92-93

       [22] Nana Syaoudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997,  hal. 5

       [23] Ismail Thoib, Konsep Dasar Pendidikan Islam (Suatu Pengantar Filsafat Pendidikan Islam), Mataram: Yayasan Lembaga Masyarakat Baru, 2004, hal. 145-148

       [24] H. Lias Hasibuan hal. 27-32

       [25] H. Anshori LAL, Transformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010, hal. 116

       [26] H. Muhaimin, Pengembangan….hal. 11-12

       [27] H. Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008 hal. 99