Profesi seorang guru akan mengarahkan kita
menuju “jalan tol” yang akan membawa kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi
semesta, terlebih lagi jika kita menjadi seorang guru penulis. Mengapa guru
penulis? Karena tidak semua guru mampu mendokumentasikan pikiran-pikiran
cerdasnya dalam tulisan, guru penulis cenderung lebih luas jangkauan
silaturrahminya dibanding guru yang hanya focus pada aktivitas mengajar yang tentu saja
jangkauan silaturrahminya terbatas secara local.
Namun secara umum pada prinsipnya guru adalah
profesi mulia dibandingkan profesi lainnya (maaf bukan mengaggap profesi lain
tidak mulia). Guru semacam pabrik yang akan mengubah bahan baku menjadi barang
bermanfaat guna. Profesi apapun yang kita geluti tanpa kehadiran seorang guru tentu
tidak akan terwujud.
Setiap orang memiliki motivasi, tapi tidak
semua orang memiliki motivasi yang kuat untuk berprestasi. Karena itulah
kemudian motivasi berprestasi ini harus selalu kita provokasi agar tidak pudar
dan selanjutnya menghilang begitu saja. Dengan demikian, prinsip dasar yang
harus kita jadikan sebagai referensi adalah kita harus mencatat apa yang saja
yang harus dikerjakan kemudian hendaknya kita kerjakan apa yang sudah dicatat,
artinya kalau ada tugas kerjakan, kalau ada ide tuliskan, kalau ada masalah, bertanyalah seperti yang ditegaskan dalam al Quran surat an Nahl ayat 43, “Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Abah, panggilan akrab narasumber kita malam ini
adalah seorang pendidik yang sangat menginspirasi, beliau berbagi bagaimana
sejatinya kita menjadi manusia yang bermanfaat kepada semesta. Prinsip dasar
yang beliau jadikan sebagai pegangan utama adalah keikhlasan dan tekad yang
kuat.
Selama kurang lebih 13 tahun beliau melakoni
peran sebagai pendidik di sekolah inklusif, tentu ini tidaklah mudah karena
tidak semua orang mampu untuk ambil bagian dalam mendidik dan membina anak-anak
inklusif. Lalu mengapa “Abah” bisa bertahan selama 13 tahun lamanya? Beliau bertahan
untuk terus mengajar, mungkin karena tuntutan hati yang dalam hal ini bisa kita
istilahkan dengan “keikhlasan”
Sejak awal “Abah” memang bercita-cita menjadi seorang
guru, namun cita-cita ini pernah pupus di tengah jalan karena beliau ditinggal
sang ayah pada tahun 1981 hingga akhirnya pendidikan harus berakhir di bangku
SMA. Karena Allah SWT sudah menggariskan dalam catatan taqdirnya bahwa “Abah”
menjadi seorang guru, maka tahun 1987 “Abah” direkomendasikan menjadi pengajar
di SMP.
“Abah” direkomendasikan untuk mengajar di SMP oleh salah seorang guru beliau yang menyadari
sejak awal kapasitas dan kompetens “Abah”, dan akhirnya “Abah” pun mengajar di
SMP tersebut selama kurang lebih 20 tahun lamanya hanya bermodal ijazah SMA.
Selanjutnya pada tahun 2006 beliau hijrah ke
Bandung dan dengan bermodal ijazah SMA beliau mengajar di Sekolah Dasar.
Motivasi intelektual “abah” seolah tidak pernah surut untuk selalu belajar hingga
akhirnya pada tahun 2010 beliau terdaftar sebagai mahasiswa S-1 di UPI Bandung
melalui jalur beasiswa. Pada tahun 2014 beliau menyelesaikan pendidikan S-1 di
usia 40 tahun, hebat bukan?
Perjalanan yang ditempuh hingga berhasil
menyelesaikan pendidikan S-1 tidaklah mudah. Ada dua factor yang cukup menjadi
kendala, yang pertama tentu saja factor usia. Usia 40 tahun tidaklah muda, jika kita mengamati
mahasiswa-mahasiswa S-1 saat ini adalah mereka yang rata-rata baru lulus SMA
yang dari segi usia relative muda. Jika ada mahasiswa saat ini kuliah S-1 di
usia 35 tahun ke atas, tentu memiliki motivasi yang berbeda, bahkan tidak
berlebihan mungkin jika kita menduga bahwa mereka yang kuliah di usia ini
tidaklah termotivasi karena tuntutan keilmuan namun lebih kepada tuntutan
pekerjaan atau jabatan.
Factor kedua yang juga menjadi kendala adalah
ketika harus memikirkan 2 hal secara bersamaan, kuliah dan keluarga. Secara
finansial kita membutuhkan biaya kuliah demikian pula halnya urusan dapur harus
terpenuhi, sehingga ketika misalnya kita tidak memiliki motivasi sekuat baja
tentu akan menjadi boomerang yang pada akhirnya membuat kita stres.
Lulus S-1 tahun 2014 tidaklah membuat “Abah”
merasa puas, pada tahun 2016 “Abah” melanjutkan perjalanan intelektualnya
dengan mengikuti program pascasarjana dan lulus tahun 2018 di usia 50 tahun.
Prestasi bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh
dengan instan, tidak semudah mengedipkan mata, atau bahkan tidak sesederhana
menyeruput secangkir kopi hangat di pagi hari. Namun prestasi membutuhkan
ikhtiar, komitmen dan konsistensi yang tinggi. Untuk itu maka kita harus bisa
memprofokasi diri sendiri untuk meningkatkan kompetensi, seperti apa yang
disuguhkan “Abah” dalam melakoni perannya sebagai seorang pendidik.
Karena kompetensi yang dimilikinya banyak orang
yang kemudian mengundang “Abah” untuk mendedikasikan dirinya pendidik putra putri
bangsa di jenjang SMP, SD, perguruan tinggi, dan bahkan beliau menjadi
narasumber di berbagai kajian ilmiah. Berkesempatan berbagi dengan guru hebat pada
kegiatan Bimtek guru pembimbing khusus bagi guru yg mengajar di sekolah
inklusif di Indonesia.
Guru zaman NOW sesungguhnya adalah mereka yang
merasakan kenyamanan saat berada di zona yang tidak nyaman dan selalu belajar
tanpa batas “long life uducation”, tuntutlah ilmu dari buaian hingga masuk
ke dalam liang lahat.
Sebagai seorang guru, kita harus konsisten
untuk menjalalani amanah sebagai seorang pendidik dalam memberikan layanan
pendidikan yang berkualitas kepada anak bangsa, terlepas dengan status yang
kita sandang apakah itu guru honorer ataupun PNS karena prinsip yang harus kita jadikan pijakan utama adalah
lakoni profesi yang diamanahkan kepada dengan komitmen dan konsistensi yang
tinggi, tetap semangat dan selalu berpikir
positif bahwa tidak ada kata terlambat untuk berkontribusi bagi pendidikan di
negeri ini.
Karena itulah kemudian kita jangan pernah merasa
lelah belajar dan mencari ilmu sebab akan jauh lebih melelahkan dan tersiksa
ketika nanti di kemudian hari kita menjadi orang yang “bodoh”. Sebagai seorang
pendidik kita jangan menonjolkan egosentrisme dalam menghadapi peserta didik,
jika tidak justru mereka akan melawan. Berilah peserta didik kita “cinta” agar
terjadi ikatan emosional yang akan melahirkan
energy positif sehingga mereka bisa menerima kita dengan ketulusan hati.
Cintai profesi kita, Insya Allah nanti akan datang
takqir baik yg misterius