Artikel

Rabu, 24 Februari 2021

PROVOKASI DIRI UNTUK BERPRESTASI (Pertemuan ke 22)

Belajar menulis malam ini Senin, 22 Februari 2021 ditemani seorang narasumber super hebat yaitu Bapak Dede Suryana, seorang guru dengan segudang prestasi dan sejuta pengalaman yang insha Allah akan dibagi secara gratis kepada kita semua malam ini. Menu perkuliahan kali ini bertemakan “Motivasi Berprestasi”, sebuah tema yang akan menggugah semangat untuk berprestasi. Semoga tema ini mampu memprofokasi kita untuk terus menulis dan berkarya sebagai ikhtiar menjadi manusia yang bermanfaat untuk semesta.

Profesi seorang guru akan mengarahkan kita menuju “jalan tol” yang akan membawa kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi semesta, terlebih lagi jika kita menjadi seorang guru penulis. Mengapa guru penulis? Karena tidak semua guru mampu mendokumentasikan pikiran-pikiran cerdasnya dalam tulisan, guru penulis cenderung lebih luas jangkauan silaturrahminya dibanding guru yang hanya  focus pada aktivitas mengajar yang tentu saja jangkauan silaturrahminya terbatas secara local.

Namun secara umum pada prinsipnya guru adalah profesi mulia dibandingkan profesi lainnya (maaf bukan mengaggap profesi lain tidak mulia). Guru semacam pabrik yang akan mengubah bahan baku menjadi barang bermanfaat guna. Profesi apapun yang kita geluti tanpa kehadiran seorang guru tentu tidak akan terwujud.  

Setiap orang memiliki motivasi, tapi tidak semua orang memiliki motivasi yang kuat untuk berprestasi. Karena itulah kemudian motivasi berprestasi ini harus selalu kita provokasi agar tidak pudar dan selanjutnya menghilang begitu saja. Dengan demikian, prinsip dasar yang harus kita jadikan sebagai referensi adalah kita harus mencatat apa yang saja yang harus dikerjakan kemudian hendaknya kita kerjakan apa yang sudah dicatat, artinya kalau ada tugas kerjakan, kalau ada ide tuliskan, kalau ada masalah,  bertanyalah seperti yang ditegaskan dalam al Quran surat an Nahl ayat 43, Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Abah, panggilan akrab narasumber kita malam ini adalah seorang pendidik yang sangat menginspirasi, beliau berbagi bagaimana sejatinya kita menjadi manusia yang bermanfaat kepada semesta. Prinsip dasar yang beliau jadikan sebagai pegangan utama adalah keikhlasan dan tekad yang kuat.

Selama kurang lebih 13 tahun beliau melakoni peran sebagai pendidik di sekolah inklusif, tentu ini tidaklah mudah karena tidak semua orang mampu untuk ambil bagian dalam mendidik dan membina anak-anak inklusif. Lalu mengapa “Abah” bisa bertahan selama 13 tahun lamanya? Beliau bertahan untuk terus mengajar, mungkin karena tuntutan hati yang dalam hal ini bisa kita istilahkan dengan “keikhlasan”

Sejak awal “Abah” memang bercita-cita menjadi seorang guru, namun cita-cita ini pernah pupus di tengah jalan karena beliau ditinggal sang ayah pada tahun 1981 hingga akhirnya pendidikan harus berakhir di bangku SMA. Karena Allah SWT sudah menggariskan dalam catatan taqdirnya bahwa “Abah” menjadi seorang guru, maka tahun 1987 “Abah” direkomendasikan menjadi pengajar di SMP.

“Abah” direkomendasikan untuk mengajar di SMP  oleh salah seorang guru beliau yang menyadari sejak awal kapasitas dan kompetens “Abah”, dan akhirnya “Abah” pun mengajar di SMP tersebut selama kurang lebih 20 tahun lamanya hanya bermodal ijazah SMA.

Selanjutnya pada tahun 2006 beliau hijrah ke Bandung dan dengan bermodal ijazah SMA beliau mengajar di Sekolah Dasar. Motivasi intelektual “abah” seolah tidak pernah surut untuk selalu belajar hingga akhirnya pada tahun 2010 beliau terdaftar sebagai mahasiswa S-1 di UPI Bandung melalui jalur beasiswa. Pada tahun 2014 beliau menyelesaikan pendidikan S-1 di usia 40 tahun, hebat bukan?

Perjalanan yang ditempuh hingga berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 tidaklah mudah. Ada dua factor yang cukup menjadi kendala, yang pertama tentu saja factor usia. Usia  40 tahun tidaklah muda, jika kita mengamati mahasiswa-mahasiswa S-1 saat ini adalah mereka yang rata-rata baru lulus SMA yang dari segi usia relative muda. Jika ada mahasiswa saat ini kuliah S-1 di usia 35 tahun ke atas, tentu memiliki motivasi yang berbeda, bahkan tidak berlebihan mungkin jika kita menduga bahwa mereka yang kuliah di usia ini tidaklah termotivasi karena tuntutan keilmuan namun lebih kepada tuntutan pekerjaan atau jabatan.

Factor kedua yang juga menjadi kendala adalah ketika harus memikirkan 2 hal secara bersamaan, kuliah dan keluarga. Secara finansial kita membutuhkan biaya kuliah demikian pula halnya urusan dapur harus terpenuhi, sehingga ketika misalnya kita tidak memiliki motivasi sekuat baja tentu akan menjadi boomerang yang pada akhirnya membuat kita stres.

Lulus S-1 tahun 2014 tidaklah membuat “Abah” merasa puas, pada tahun 2016 “Abah” melanjutkan perjalanan intelektualnya dengan mengikuti program pascasarjana dan lulus tahun 2018 di usia 50 tahun.

Prestasi bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan instan, tidak semudah mengedipkan mata, atau bahkan tidak sesederhana menyeruput secangkir kopi hangat di pagi hari. Namun prestasi membutuhkan ikhtiar, komitmen dan konsistensi yang tinggi. Untuk itu maka kita harus bisa memprofokasi diri sendiri untuk meningkatkan kompetensi, seperti apa yang disuguhkan “Abah” dalam melakoni perannya sebagai seorang pendidik.

Karena kompetensi yang dimilikinya banyak orang yang kemudian mengundang “Abah” untuk  mendedikasikan dirinya pendidik putra putri bangsa di jenjang SMP, SD, perguruan tinggi, dan bahkan beliau menjadi narasumber di berbagai kajian ilmiah. Berkesempatan berbagi dengan guru hebat pada kegiatan Bimtek guru pembimbing khusus bagi guru yg mengajar di sekolah inklusif di Indonesia.

Guru zaman NOW sesungguhnya adalah mereka yang merasakan kenyamanan saat berada di zona yang tidak nyaman dan selalu belajar tanpa batas “long life uducation”, tuntutlah ilmu dari buaian hingga masuk ke dalam liang lahat.

Sebagai seorang guru, kita harus konsisten untuk menjalalani amanah sebagai seorang pendidik dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada anak bangsa, terlepas dengan status yang kita sandang apakah itu guru honorer ataupun PNS karena prinsip  yang harus kita jadikan pijakan utama adalah lakoni profesi yang diamanahkan kepada dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi, tetap semangat dan selalu berpikir positif bahwa tidak ada kata terlambat untuk berkontribusi bagi pendidikan di negeri ini.

Karena itulah kemudian kita jangan pernah merasa lelah belajar dan mencari ilmu sebab akan jauh lebih melelahkan dan tersiksa ketika nanti di kemudian hari kita menjadi orang yang “bodoh”. Sebagai seorang pendidik kita jangan menonjolkan egosentrisme dalam menghadapi peserta didik, jika tidak justru mereka akan melawan. Berilah peserta didik kita “cinta” agar terjadi ikatan emosional yang akan melahirkan  energy positif sehingga mereka bisa menerima kita dengan ketulusan hati.

 

Cintai profesi kita, Insya Allah nanti akan datang takqir baik yg misterius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar