Artikel

Minggu, 26 April 2015

URGENSI PENELITIAN AGAMA DALAM PENGKAJIAN ISLAM


Oleh :
Ahmad Munadi

Pendahuluan
Agama merupakan persoalan yang cukup sentral dan menarik dikaji, sebab agama menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang manusia. Agama dan manusia ibarat jarum dan benang yang saling mengikat dimana keduanya tidak bisa berfungsi secara terpisah. Bagaimana mungkin kemudian agama berfungsi ketika tidak ada penganutnya, begitu pula sebaliknya, manusia dengan akalnya tentu memiliki keterbatasan dalam menghadapi persoalan hidup, keterbatasan inilah yang kemudian memaksa manusia tunduk pada sebuah realitas kekuatan transendental yang berada di luar jangkauan akalnya.
Dalam pandangan al Quran, keberagamaan itu merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya[1], dengan demikian manusia tidak bisa melepaskan diri dari agama. Ahmad Syafe’i, seperti yang ditulis U. Maman mengatakan bahwa agama merupakan wahyu yang diturunkan tuhan kepada manusia untuk memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.[2] Dengan demikian, dapat difahami bahwa agama merupakan solusi bagi manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup. Namun harus diakui pula bahwa agama ternyata memiliki “wajah ganda”. Agama  yang selama ini diyakini mampu menebar kedamaian, justru dalam waktu yang bersamaan menunjukan wajahnya yang garang, betapa tidak, kasus 17 Januari 2001 atau yang dikenal dengan kasus 171 misalnya menjadi bukti historis kejamnya agama, dan ironisnya benturan-benturan agama ini tidak lagi terjadi antar agama, bahkan menjadi gesekan intern agama. Kasus pengusiran dan penghancuran rumah tinggal serta tempat ibadah warga Ahmadiyah misalnya, juga sebagai bukti bahwa gesekan dan benturan atas nama agama telah menerobos ranah private agama itu sendiri. Belum lagi persoalan korupsi, tauran pelajar, demonstari yang berujung anarkhis dan sebagainya, sehingga  dari sini kemudian muncul persoalan, bagaimana peran agama dalam merespons persoalan-persoalan ini? mengapa agama yang sejatinya memberikan rasa damai justru sepertinya menebar teror bagi manusia? dan mengapa agama tidak mampu memberikan solusi atas problem sosial yang dihadapi manusia tersebut?
Nampaknya sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Muhyar Fanani yang mengatakan bahwa harus diakui, saat ini ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang akut, banyak problem kemanusiaan dan keindonesiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu keislaman akibat banyaknya anomali yang dimilikinya. Semua ini merupakan bukti ketidakberdayaan ilmu akhlak dan ilmu fiqih dalam memandu masyarakat agar berprilaku taat terhadap norma susila dan norma hukum. Lebih lanjut Fanani mengatakan bahwa krisis ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas kontemporer. [3]
Apa yang dikemukan Fanani tersebut memang realita yang kini menghantam  keilmuan islam, sehingga tidak mengherankan kemudian muncul statemen yang menganggap keilmuan islam mengalami “kemandulan” karena tidak mampu merespon persoalan kemanusiaan.
Terkait persoalan tersebut, maka dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk keberagamaannya, maka studi agama terasa sangat urgen dan mendesak untuk dikembangkan. Studi dan pendekatan agama yang bersifat komprehensif dan multidisipliner inilah yang kemudian menjadi pilihan yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang majemuk[4], sehingga pendekatan ini tentu saja secara praktis berpotensi memulihkan eksistensi agama sebagai sebuah institusi kedamaian, namun tentu saja metodologi ini tidak dapat secara tuntas menyelesaikan persoalan-persoalan agama, sebab pendekatan agama jenis apapun mempunyai kelemahan dan kekurangan masing-masing, mengingat fenomena agama yang bersifat kompleks, demikian ungkap Amin Abdullah.[5]
Penelitian agama, urgenkah?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah urgensi diartikan sebagai keharusan yang mendesak atau hal yang sangat penting [6]. Sedangkan penelitian merupakan upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan, yakni gabungan antara pendekatan rasional dan empiris. Pendekatan rasional melahirkan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sementara pendekatan empiris merupakan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran.[7] Sementara terkait Agama, para ahli memberikan definisi yang beragam, di antaranya agama diartikan sebagai (1) kepercayaan terhadap kekuatan gaib; (2) suatu ketundukan kepada kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia, yang dipercaya mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia;  (3) Ikatan yang harus dipatuhi manusia yang berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.[8]
Ahli antropologi mengemukakan bahwa agama adalah yang paling sulit dari semua perkataan untuk didefinisikan karena agama menyangkut lebih daripada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionalnya.[9]
Sementara itu para ahli sosiologi melihat agama sebagai sebuah realita sosial yang bersifat deskriptif, sehingga agama didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas.[10]
Berdasarkan beberapa definisi istilah-istilah yang dikemukakan di atas, maka yang dimaksudkan pada sub pembahasan ini adalah pentingnya upaya ilmiah[11] atau kajian sistematis dan objektif dalam mengkaji agama sebagai sebuah objek penelitian.
Dalam sejarah studi Islam ditemukan beberapa tipologi dalam mengkaji islam di antaranya dilihat dari orang yang melakukan studi muncul dua tipologi yaitu in sider (muslim) dan out sider (non muslim), sementara dari pendekatan terdapat dua tipologi yakni normatif (murni studi Islam) dan teori-teori non islamic studies. [12]
Agama sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, memiliki posisi yang strategis dalam kehidupan manusia. Sebuah teori fungsional menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya[13], karena itulah kemudian eksistensi agama menjadi bukti jika agama masih memiliki fungsi dan peran yang sangat signifikan dalam kehidupan penganutnya.
Agama dikaji sebagai sebuah institusi yang akan menampung aspirasi penganutnya, sehingga cita-cita masyarakat agama dalam membangun tatanan kehidupan yang etis dan egaletarian dapat terwujud. Namun cita-cita mulia ini terkadang menjadi sebuah khayalan ketika agama tidak mampu lagi menjadi solusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan, bahkan ironisnya justru agama sendiri yang menjadi pemicu meledaknya bom konflik di masyarakat.[14] Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu diperlukan sebuah penelitian untuk mengkaji lebih dalam persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang di masyarakat pada ranah sosio-kultural.
Pengkajian persoalan keagamaan ini menjadi sangat perlu mengingat ilmu-ilmu keagamaan konvensional – fiqih, akhlaq dan sebagainya - tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut, dengan kata lain terjadi irelevansi antara keilmuan konvensional dengan persoalan kemanusiaan. Karena itulah kemudian sebagaimana yang diungkapkan Amin Abdullah perlu adanya sebuah pendekatan agama yang berwajah ganda dalam studi agama, yaitu pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan sekaligus pendekatan yang bersifat historis kritis.[15]
Agama sebagai seperangkat wahyu atau nilai normatif sangat problematis karena wahyu hanya berisi seperangkat nilai yang melampaui lintas waktu, tempat, fungsi dan manfaat dan semua ini tidak mampu membangun peradaban tanpa adanya pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam teori-teori atau sistem yang bersifat kontekstual, aktual dan operasional.[16]
Menurut Bambang Sugiharto, sebagaimana yang dikutip Atang mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi agama saat ini sekurang-kurangnya ada tiga yaitu, pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan degradasi moralitas; agama ditantang untuk tampil sebagai suara moral yang otentik, kedua, agama harus menghadapi kecendrungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka teologi baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerjasama plural, ketiga, agama tampil sebagai plopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.[17] Persoalan-persoalan ini tentu saja memerlukan sebuah kajian kritis dan strategis terhadap agama. Namun kajian ini terkadang juga menimbulkan problem. Johan Mauleman misalnya sebagaimana yang dikemukakan U. Maman mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi problem dalam kajian atau penelitian agama diantaranya: (a) Logosentrisme pada kaum muslimin yang menganggap teks-teks berfungsi pada batas suatu bahasa dan kondisi tertentu; (b) penelitian terpusat pada teks-teks dan mengabaikan unsur yang tidak tertulis; (c) Interpretasi yang terbatas terhadap al Quran; (d) teks klasik dianggap mewakili agama bahkan sebagai agama itu sendiri; (e) Sikap apologetis terhadap aliran lain; (e) sistem pendidikan yang terlalu mementingkan tradisi terutama pada teks tradisional.[18]
Sementara itu Atang dan Jaih Mubarok mengemukakan bahwa situasi keberagamaan di Indonesia cendrung menampilkan keberagamaan legalistik-formalistik yang harus dimanifestasikan dalam ritual-formal, sehingga muncul formalisme agama yang lebih mementingkan “bentuk” dari pada “isi”, sehingga agama kurang difahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Hal senada juga diungkapkan Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa kesalahan kita sebagai umat islam di Indonesia, adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai, etika, dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal budi. [19]
Pemahaman keagamaan sebagaimana yang dikemukakan di atas, dianggap sebagai sebuah “kekeliruan” yang selanjutnya menjadi faktor terjadinya  irelevansi ajaran agama terhadap realita sosial masyarakat agama, sehingga banyak persoalan-persoalan kemanusiaan yang kemudian tidak bisa dipecahkan agama. Namun menurut hemat penulis pemahaman agama yang substansial tentunya tidak terlepas pemahaman agama secara formal (bentuk), sehingga pemahaman agama, baik “bentuk” maupun “isi” sejatinya sejalan, sebab bagaimana mungkin kemudian memahami agama tanpa  bentuk, jika demikian adanya maka tentu saja agama menjadi sesuatu yang membingungkan.

Islam sebagai sasaran penelitian
Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan urgensi penelitian agama dalam mengkaji agama, selanjutnya dalam uraian berikut ini akan dipaparkan terkait islam sebagai sebuah objek penelitian, persoalannya kemudian adalah bisakah islam dijadikan sebagai objek penelitian?
Terkait persoalan ini Abudin Nata mengatakan bahwa untuk agama yang merupakan hasil budaya manusia (agama ardhi) penelitian dapat dilakukan sepenuhnya, baik terhadap ajaran, dan doktrin-doktrinnya, maupun terhadap bentuk pengalamannya. Sedangkan untuk agama samawi sasaran penelitian ada pada isi dari bentuk pengalaman agama dan bukan dari isi agama.[20]
Agama sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution mengatakan bahwa agama karena merupakan wahyu tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan ilmu sosial[21]
Para ilmuan beranggapan bahwa agama merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural, sehingga penelitian agama bukan untuk meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama.[22] Dengan demikian dapat dikatan bahwa, agama ardhi dapat diteliti dari berbagai aspek baik materi maupun bentuk dari agama tersebut, sementara agama samawi hanya terbatas pada ritual keagamaan yang tampak pada realitas sosial.
Terkait klasifikasi agama samawi dan agama ardhi sebagaimana yang dikemukakan di atas, penulis sepenuhnya tidak sependapat, sebab Yahudi dan Kristen tidaklah dikenal oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, kedua agama tersebut bukanlah agama samawi, akan tetapi agama budaya. Doktrin utama Yahudi menurut Muhammad Syarqawi[23], bermula saat setelah ditulis kitab Torakh (Perjanjian Lama) dan Talmud oleh para murid nabi Musa dan setelahnya banyak bersumber dari Talmud yang bermuatan ajaran pagan, rasialis, dan penuh penghinaan tehadap agama-agama lain. Bahkan pemuka Yahudi Rabi Rotski mengatakan bahwa kitab Talmud tidak ditulis nabi Musa akan tetapi oleh para rabi Yahudi.[24] Statemen ini bukan berarti menunjukan sikap eksklusivisme penulis dalam beragama.
Selanjutnya terkait persoalan agama islam sebagai sasaran penelitian, Juhaya sebagaimana yang dikemukakan Atang mengatakan bahwa terdapat dua bidang penelitian agama yaitu :[25]
Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis
Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu, yakni ushul al Fiqh yang merupakan metodologi ilmu agama. Penelitian dalam bidang ini melahirkan filsafat islam, ilmu kalam, dan fiqih.
Sementara itu, Atho Mudzhar mengatakan bahwa dalam penelitian agama, harus ada pemisahan antara istilah “agama” dan “keagamaan”. Selama ini belum terdapat sebuah benang pemisah antara istilah “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan”. Dengan mengutip pernyataan Middleton, Atho Mudzhar menjelaskan bahwa “penelitian agama” (research on religion), berbeda dengan “penelitian keagamaan” (religious research). Yang pertama lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya pada tiga elemen pokok yaitu: ritus, mitos, dan magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan (religious system).[26]
Penelitian agama sebagaimana yang dikemukakan di atas sasarannya adalah agama sebagai sebuah doktrin. Sementara penelitian keagamaan sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial. Terkait persoalan ini Atho Mudzhar mengatakan bahwa, pembedaan ini menjadi sangat perlu sebab akan membedakan jenis metodologi penelitian yang digunakan. Metode untuk penelitian agama sebagai sebuah doktrin sudah dirintis misalnya dengan munculnya ilmu ushul al Fiqh sebagai metode dalam mengistimbatkan hukum dalam ajaran Islam dan metode mustalahul al Hadits digunakan sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW. Untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, tidak diperlukan metode tersendiri. Penelitian ini cukup meminjam metologi penelitian sosial yang telah ada.[27]
Selanjutnya Atho Mudzhar mengatakan bahwa jika hendak mengkaji agama terdapat lima gejala yang hendaknya diperhatikan. Pertama, scripture, naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti shalat, haji, puasa, perkawinan, dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, greja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agaa berkumpul dan berperan, seperti NU, Muhamadiyah, Gereja Katolik, Gereja Protestan, syiah dan lain-lain.[28]
Berdasarkan apa yang dikemukakan Atho Mudzhar tersebut dapat dikatakan bahwa islam sebagai sebuah agama berpotensi untuk dikaji dan diteliti, sebab terdapat sisi lain dari agama yang menjadi bagian dari produk budaya manusia. Apabila penelitian agama berkenaan dengan pemikiran atau gagasan, maka metode-metode seperti, filsafat, fisiologi adalah pilihan yang tepat. Apabila penelitian agama berkaitan dengan sikap prilaku agama, maka metode ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi merupakan metode yang paling tepat digunakan. Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan benda-benda keagamaan, metode arkeologi atau metode-metode ilmu natural yang relevan, tepat digunakan.[30]
Pemetaan dalam penelitian agama dilakukan untuk menganalisa wilayah yang menjadi kajian penelitian, bukan berarti melakukan dikotomi terhadap agama. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa agama sebagai sebuah doktrin memberikan kontribusi yang signifikan terhadap dinamika maupun tatanan sosial masyarakat, sehingga kehidupan sosial masyarakat tentu saja banyak dipengaruhi oleh doktrin keagamaan yang pada akhirnya agama pun melahirkan realitas empiris yang terwujud dalam gejala keagamaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dalam meneliti agama sebagai sebuah gejala keagamaan tidak perlu kemudian dilakukan dengan mencari metode khusus, akan tetapi dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian yang berlaku pada umumnya, metode penelitian sosial misalnya dapat digunakan untuk meneliti prilaku keagamaan masyarakat agama. Sebagai contoh, dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagian masyarakat di Pulau Lombok merayakannya dengan menyuguhkan hidangan berupa “penamat”[31] kepada tamu undangan di Masjid. Persoalannya yang menarik dikaji dalam kasus ini misalnya, apakah ada korelasi antara tingginya susunan “penamat” dengan strata sosial masyarakat agama?, apakah semakin tinggi strata sosial masyarakat menyebabkan semakin tingginya susunan “penamat” yang disajikan? Atau apakah tingginya “penamat” dipengaruhi oleh tingkat keberagamaan masyarakat? Kasus ini misalnya dapat diteliti dengan menggunakan kerangka penelitian ilmu sosial, sebab penelitian ini akan mengkaji prilaku dan sikap keagamaan masyarakat.
Dalam meneliti agama sebagai sebuah gejala keagamaan terdapat berbagai bentuk penelitian yang dapat digunakan. U. Maman[32] mengatakan bahwa bentuk-bentuk penelitian serta klasifikasi metode penelitian dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulkan, serta sumber data. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian dapat dibedakan menjadi: (a) eksploratif, (b) deskriptif, (c) historis, (d) korelasional, (e) eksperimen. Berdasarkan sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi: (a) penelitian lapangan, dan (b) penelitian kepustakaan. Berdasarkan jenis data dan proses penelitian dapat dibedakan menjadi: (a) penelitian kuantitatif dan (b) penelitian kualitatif.[33]
Penutup
Eksistensi agama bagi penganutnya sangat signifikan karena agama dianggap sebagai konsultan yang akan mengatasi setiap problem kemanusiaan yang dihadapi penganutnya. Namun saat ini banyak persoalan-persoalan kemanusiaan di mana agama tidak mampu mengatasinya, bahkan terkadang agama itu sendiri yang dianggap menjadi masalah. Mengapa demikian?
Persoalan ini tentu saja bukan seperti “tebak-tebakan” yang dengan spontan bisa dilihat penyebabnya, namun persoalan ini merupakan permasalahan yang memerlukan kajian yang mendalam. Oleh karena itu studi atau penelitian terhadap agama menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam upaya merekonstruksi bangunan keagamaan, sehingga agama mampu menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan yang dihadapi penganutnya.



     [1] Lihat QS. Ar rum : 30,
     [2] U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal 1
     [3] Muhyar Fanani, “Metode Studi Islam (Aplikasi Sosiaologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang)”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008 hal. 1-2
     [4] Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitas atau Historitas?”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hal.7
      [5] Ibid. hal. 12
      [6] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa cet. iii, Balai Pustaka : Jakarta, 2002
      [7] Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002, hal. 27-28
     [9] H. Abuddin Nata, “Metodologi Studi Islam”, PT. Raja Graffindo Persada: Jakarta, 2006 hal. 167
     [10] D. Hendropuspito, “Sosiologi Agama”, Kanisius: Yogyakarta, 1997. hal.34
     [11] Upaya ilmiah (Metode Ilmiah) merupakan prosedur penelitian yang terdiri dari beberapa langkah diantaranya:  1) Mengenali permasalahan, 2) Mempelajari semua literature yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, 3) Jika permasalahan tersebut merupakan sesuatu yang baru, maka diperlukan sebuah program pengamatan yang mungkin menghasilkan petunjuk-petunjuk baru, 4) Membuat hipotesis, 5) Menyimpulkan implikasi yang terdapat pada hipotesis dan melakukan pengujian terhadap hipotesis tersebut, 6) walaupun sederetan penegasan sudah diperoleh, namun menimbulkan kebingunan, maka perlu dirumuskan hipotesis yang lain, 7) JIka hipotesis ini berhasil sampai pada titik di mana tidak ada pengecualian, maka hipotesis ini berubah menjadi hokum, 8) Hukum akan diterima kebenarannya sampai suatu saat di mana pengamatan atau eksperimen tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan hokum tersebut. (lihat: Pervez Hoodboy, Ikhtiar Menegakan Rasionalitas antara Sains daan Ortodoksi Islam”, Mizan: Bandung, 1996, hal. 37-38)
     [12] “Metodologi Studi Islam (Menelusuri jejak historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis)”, Pustaka Setia: Bandung, 2008 hal. 17
     [13] Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002 hal. 7
     [14] Beberapa contoh konflik keagamaan di masyarakat misalnya dapat dilihat pada kasus di Banjarmasin 1997, kerusuhan di Kupang 30 November 1998, konflik di Waringin Timur kasus Madura dan Dayak 1999, kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah 25-30 Desember 1998, 15-21 April 2000 dan 23 Mei-10 Juni 2001, dan kerusuhan di Mataram NTB tanggal 17 Januari 2001 ( lihat : “Konflik sosial Bernuansa Agama di Indonesia”, Depag RI Badan Litbang & Diklat Keagamaan Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Beragama : Jakarta, 2003, hal. 63)
     [15] Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitas atau Historitas?”, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996, hal4
     [16] U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal 2
    [17] Ibid. hal 5
    [18] Ibid. hal 5
    [19] Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002, hal hal. 8
    [20] H. Abuddin Nata, “Metodologi Studi Islam”, PT. Raja Graffindo Persada: Jakarta, 2006 hal, hal 170
      [21] Op. Cit.  hal 56
      [22] Ibid.  hal. 57
      [23] Muhammad Syarqawi adalah peneliti dan pakar kitab Talmud dari Universitas Kairo, lihat : http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran
      [24] Penjelasan lebih rinci terkait persoalan agama Samawi lihat : Kholily Hasib, “Rancunya Wacana Agama Samawi”, http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran
      [25] Ibid. hal 61-62
     [26] H.M. Atho Mudzhar, “Pendekatan studi Islam dalam Teori dan Praktek”, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, cet. Vii, 2007, hal. 35
     [27] Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002, hal. 36-37
     [28] Ibid. hal. 13-14
     [29] Peta Penelitian Agama ini dikutip dari Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002, hal. 58
     [30] Ibid.  hal 62
     [31]Penamat” merupakan hidangan  penutup khas Maulid di Pulau Lombok yang disajikan berupa buah-buahan dan makanan khas yang disusun membentuk sebuah gunungan. (penulis)
     [32] U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal 24-25
     [33] (1) Penelitian Eksploratif, gejala keagamaan dapat diteliti secara eksploratif jika peneliti belum mengetahui banyak tentang gejala keagamaan tersebut. Misalnya di suatu daerah ada fatwa yang menghalalkan berzina jika dimulai dengan membaca basmalah, fenomena keagamaan ini dapat dieksplorasi dengan menggunakan telaah kepustakaan maupun data lapangan, (2) Penelitian Sejarah, penelitian ini dilakukan untuk melihat gejala keagamaan di masa lampau, yakni dengan melakukan rekonstruksi terhadap gejala keagamaan yang terkait dengan persoalan politik, social, ekonomi, maupun budaya, misalnya dengan meneliti peran pesantren dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, (4) Penelitian Deskriptif, merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan gejala keagamaan, misalnya penelitian terhadap pola kepemimpinan kyai, etika kepemimpinan menurut ajaran Ahli sunnah wal Jama’ah, (5) Penelitian Korelasional, penelitian untuk menemukan hubungan  antara satu variable dengan variable lainnya, missal penelitian tentang hubungan pendidikan agama dan ketaan beragama, (6) Penelitian Eksperimen, penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana hubungan antara variable secara kausalitas, misalnya meneliti pengaruh metode belajar terhadap tingkat pengetahuan keagamaan. Tingkat pengetahuan ini dapat dipengaruhi berbagai variabel seperti, metode mengajar, proses belajar, latar belakang siswa dan sebagainya. ( lihat: U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal. 27-30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar