Oleh :
Ahmad Munadi
Pendahuluan
Agama merupakan persoalan yang cukup sentral dan menarik
dikaji, sebab agama menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa dipisahkan dari
sejarah panjang manusia. Agama dan manusia ibarat jarum dan benang yang saling
mengikat dimana keduanya tidak bisa berfungsi secara terpisah. Bagaimana
mungkin kemudian agama berfungsi ketika tidak ada penganutnya, begitu pula
sebaliknya, manusia dengan akalnya tentu memiliki keterbatasan dalam menghadapi
persoalan hidup, keterbatasan inilah yang kemudian memaksa manusia tunduk pada
sebuah realitas kekuatan transendental yang berada di luar jangkauan akalnya.
Dalam pandangan al Quran, keberagamaan itu merupakan
fitrah yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya[1],
dengan demikian manusia tidak bisa melepaskan diri dari agama. Ahmad Syafe’i,
seperti yang ditulis U. Maman mengatakan bahwa agama merupakan wahyu yang
diturunkan tuhan kepada manusia untuk memberikan orientasi, motivasi, dan
membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.[2]
Dengan demikian, dapat difahami bahwa agama merupakan solusi bagi manusia dalam
mengatasi persoalan-persoalan hidup. Namun harus diakui pula bahwa agama
ternyata memiliki “wajah ganda”. Agama
yang selama ini diyakini mampu menebar kedamaian, justru dalam waktu
yang bersamaan menunjukan wajahnya yang garang, betapa tidak, kasus 17 Januari
2001 atau yang dikenal dengan kasus 171 misalnya menjadi bukti historis
kejamnya agama, dan ironisnya benturan-benturan agama ini tidak lagi terjadi
antar agama, bahkan menjadi gesekan intern agama. Kasus pengusiran dan
penghancuran rumah tinggal serta tempat ibadah warga Ahmadiyah misalnya, juga
sebagai bukti bahwa gesekan dan benturan atas nama agama telah menerobos ranah private
agama itu sendiri. Belum lagi persoalan korupsi, tauran pelajar, demonstari
yang berujung anarkhis dan sebagainya, sehingga
dari sini kemudian muncul persoalan, bagaimana peran agama dalam
merespons persoalan-persoalan ini? mengapa agama yang sejatinya memberikan rasa
damai justru sepertinya menebar teror bagi manusia? dan mengapa agama tidak
mampu memberikan solusi atas problem sosial yang dihadapi manusia tersebut?
Nampaknya sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Muhyar
Fanani yang mengatakan bahwa harus diakui, saat ini ilmu keislaman tengah
mengalami krisis yang akut, banyak problem kemanusiaan dan keindonesiaan yang tidak
mampu disentuh oleh ilmu keislaman akibat banyaknya anomali yang dimilikinya.
Semua ini merupakan bukti ketidakberdayaan ilmu akhlak dan ilmu fiqih dalam
memandu masyarakat agar berprilaku taat terhadap norma susila dan norma hukum.
Lebih lanjut Fanani mengatakan bahwa krisis ilmu keislaman yang tengah terjadi
selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu
keislaman dengan realitas kontemporer. [3]
Apa yang dikemukan Fanani tersebut memang realita yang
kini menghantam keilmuan islam, sehingga
tidak mengherankan kemudian muncul statemen yang menganggap keilmuan islam
mengalami “kemandulan” karena tidak mampu merespon persoalan kemanusiaan.
Terkait persoalan tersebut, maka dengan memperhatikan
kondisi objektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk keberagamaannya, maka
studi agama terasa sangat urgen dan mendesak untuk dikembangkan. Studi dan
pendekatan agama yang bersifat komprehensif dan multidisipliner inilah yang
kemudian menjadi pilihan yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang majemuk[4],
sehingga pendekatan ini tentu saja secara praktis berpotensi memulihkan
eksistensi agama sebagai sebuah institusi kedamaian, namun tentu saja
metodologi ini tidak dapat secara tuntas menyelesaikan persoalan-persoalan
agama, sebab pendekatan agama jenis apapun mempunyai kelemahan dan kekurangan
masing-masing, mengingat fenomena agama yang bersifat kompleks, demikian ungkap
Amin Abdullah.[5]
Penelitian agama, urgenkah?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah urgensi
diartikan sebagai keharusan yang mendesak atau hal yang sangat penting [6].
Sedangkan penelitian merupakan upaya sistematis dan objektif untuk
mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Penelitian
merupakan kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan, yakni gabungan
antara pendekatan rasional dan empiris. Pendekatan rasional melahirkan kerangka
pemikiran yang koheren dan logis, sementara pendekatan empiris merupakan
kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran.[7]
Sementara terkait Agama, para ahli memberikan definisi yang beragam, di
antaranya agama diartikan sebagai (1) kepercayaan terhadap kekuatan gaib; (2)
suatu ketundukan kepada kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia, yang
dipercaya mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia; (3) Ikatan yang harus dipatuhi manusia yang
berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.[8]
Ahli antropologi mengemukakan bahwa agama adalah yang
paling sulit dari semua perkataan untuk didefinisikan karena agama menyangkut
lebih daripada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat
memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionalnya.[9]
Sementara itu para ahli sosiologi melihat agama sebagai
sebuah realita sosial yang bersifat deskriptif, sehingga agama didefinisikan
sebagai sebuah sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang
berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan
didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat
luas.[10]
Berdasarkan beberapa definisi istilah-istilah yang
dikemukakan di atas, maka yang dimaksudkan pada sub pembahasan ini adalah
pentingnya upaya ilmiah[11] atau kajian sistematis dan objektif dalam mengkaji agama sebagai sebuah
objek penelitian.
Dalam sejarah studi Islam ditemukan beberapa tipologi
dalam mengkaji islam di antaranya dilihat dari orang yang melakukan studi
muncul dua tipologi yaitu in sider (muslim) dan out sider (non muslim),
sementara dari pendekatan terdapat dua tipologi yakni normatif (murni studi
Islam) dan teori-teori non islamic studies. [12]
Agama sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, memiliki
posisi yang strategis dalam kehidupan manusia. Sebuah teori fungsional
menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan
sendirinya[13], karena itulah kemudian eksistensi agama menjadi bukti jika agama masih
memiliki fungsi dan peran yang sangat signifikan dalam kehidupan penganutnya.
Agama dikaji sebagai sebuah institusi yang akan menampung
aspirasi penganutnya, sehingga cita-cita masyarakat agama dalam membangun
tatanan kehidupan yang etis dan egaletarian dapat terwujud. Namun cita-cita
mulia ini terkadang menjadi sebuah khayalan ketika agama tidak mampu lagi
menjadi solusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan, bahkan
ironisnya justru agama sendiri yang menjadi pemicu meledaknya bom konflik di
masyarakat.[14] Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu diperlukan
sebuah penelitian untuk mengkaji lebih dalam persoalan-persoalan keagamaan yang
berkembang di masyarakat pada ranah sosio-kultural.
Pengkajian persoalan keagamaan ini menjadi sangat perlu
mengingat ilmu-ilmu keagamaan konvensional – fiqih, akhlaq dan sebagainya -
tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut, dengan kata lain terjadi
irelevansi antara keilmuan konvensional dengan persoalan kemanusiaan. Karena
itulah kemudian sebagaimana yang diungkapkan Amin Abdullah perlu adanya sebuah
pendekatan agama yang berwajah ganda dalam studi agama, yaitu pendekatan yang
bersifat teologis-normatif dan sekaligus pendekatan yang bersifat historis
kritis.[15]
Agama sebagai seperangkat wahyu atau nilai normatif
sangat problematis karena wahyu hanya berisi seperangkat nilai yang melampaui
lintas waktu, tempat, fungsi dan manfaat dan semua ini tidak mampu membangun
peradaban tanpa adanya pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam teori-teori
atau sistem yang bersifat kontekstual, aktual dan operasional.[16]
Menurut Bambang Sugiharto, sebagaimana yang dikutip Atang
mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi agama saat ini sekurang-kurangnya ada
tiga yaitu, pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai
disorientasi nilai dan degradasi moralitas; agama ditantang untuk tampil
sebagai suara moral yang otentik, kedua, agama harus menghadapi kecendrungan
pluralisme, mengolahnya dalam kerangka teologi baru dan mewujudkannya dalam
aksi-aksi kerjasama plural, ketiga, agama tampil sebagai plopor perlawanan
terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.[17] Persoalan-persoalan ini tentu saja memerlukan sebuah kajian kritis dan
strategis terhadap agama. Namun kajian ini terkadang juga menimbulkan problem.
Johan Mauleman misalnya sebagaimana yang dikemukakan U. Maman mengatakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang menjadi problem dalam kajian atau penelitian
agama diantaranya: (a) Logosentrisme pada kaum muslimin yang menganggap
teks-teks berfungsi pada batas suatu bahasa dan kondisi tertentu; (b)
penelitian terpusat pada teks-teks dan mengabaikan unsur yang tidak tertulis;
(c) Interpretasi yang terbatas terhadap al Quran; (d) teks klasik dianggap
mewakili agama bahkan sebagai agama itu sendiri; (e) Sikap apologetis terhadap
aliran lain; (e) sistem pendidikan yang terlalu mementingkan tradisi terutama
pada teks tradisional.[18]
Sementara itu Atang dan Jaih Mubarok mengemukakan bahwa
situasi keberagamaan di Indonesia cendrung menampilkan keberagamaan legalistik-formalistik
yang harus dimanifestasikan dalam ritual-formal, sehingga muncul formalisme
agama yang lebih mementingkan “bentuk” dari pada “isi”, sehingga agama kurang
difahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan
membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Hal senada
juga diungkapkan Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa kesalahan kita sebagai
umat islam di Indonesia, adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai, etika,
dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat
dan berakal budi. [19]
Pemahaman keagamaan sebagaimana yang dikemukakan di atas,
dianggap sebagai sebuah “kekeliruan” yang selanjutnya menjadi faktor
terjadinya irelevansi ajaran agama
terhadap realita sosial masyarakat agama, sehingga banyak persoalan-persoalan
kemanusiaan yang kemudian tidak bisa dipecahkan agama. Namun menurut hemat
penulis pemahaman agama yang substansial tentunya tidak terlepas pemahaman
agama secara formal (bentuk), sehingga pemahaman agama, baik “bentuk” maupun
“isi” sejatinya sejalan, sebab bagaimana mungkin kemudian memahami agama
tanpa bentuk, jika demikian adanya maka
tentu saja agama menjadi sesuatu yang membingungkan.
Islam sebagai sasaran penelitian
Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan urgensi
penelitian agama dalam mengkaji agama, selanjutnya dalam uraian berikut ini
akan dipaparkan terkait islam sebagai sebuah objek penelitian, persoalannya
kemudian adalah bisakah islam dijadikan sebagai objek penelitian?
Terkait persoalan ini Abudin Nata mengatakan bahwa untuk
agama yang merupakan hasil budaya manusia (agama ardhi) penelitian dapat
dilakukan sepenuhnya, baik terhadap ajaran, dan doktrin-doktrinnya, maupun
terhadap bentuk pengalamannya. Sedangkan untuk agama samawi sasaran penelitian
ada pada isi dari bentuk pengalaman agama dan bukan dari isi agama.[20]
Agama sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama karena merupakan wahyu tidak dapat
menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan harus
menggunakan metode khusus yang berbeda dengan ilmu sosial[21]
Para ilmuan beranggapan bahwa agama merupakan objek
kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial
kultural, sehingga penelitian agama bukan untuk meneliti hakekat agama dalam
arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan
memperoleh pengaruh dari agama.[22] Dengan demikian dapat dikatan bahwa, agama ardhi dapat diteliti dari
berbagai aspek baik materi maupun bentuk dari agama tersebut, sementara agama
samawi hanya terbatas pada ritual keagamaan yang tampak pada realitas sosial.
Terkait klasifikasi agama samawi dan agama ardhi
sebagaimana yang dikemukakan di atas, penulis sepenuhnya tidak sependapat,
sebab Yahudi dan Kristen tidaklah dikenal oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad
SAW, kedua agama tersebut bukanlah agama samawi, akan tetapi agama budaya.
Doktrin utama Yahudi menurut Muhammad Syarqawi[23], bermula saat setelah ditulis kitab Torakh (Perjanjian Lama) dan Talmud
oleh para murid nabi Musa dan setelahnya banyak bersumber dari Talmud yang
bermuatan ajaran pagan, rasialis, dan penuh penghinaan tehadap agama-agama
lain. Bahkan pemuka Yahudi Rabi Rotski mengatakan bahwa kitab Talmud tidak
ditulis nabi Musa akan tetapi oleh para rabi Yahudi.[24] Statemen ini bukan berarti menunjukan sikap eksklusivisme penulis dalam
beragama.
Selanjutnya terkait persoalan agama islam sebagai sasaran
penelitian, Juhaya sebagaimana yang dikemukakan Atang mengatakan bahwa terdapat
dua bidang penelitian agama yaitu :[25]
Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah
melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis
Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung
dalam sumber ajaran agama itu, yakni ushul al Fiqh yang merupakan metodologi
ilmu agama. Penelitian dalam bidang ini melahirkan filsafat islam, ilmu kalam,
dan fiqih.
Sementara itu, Atho Mudzhar mengatakan bahwa dalam
penelitian agama, harus ada pemisahan antara istilah “agama” dan “keagamaan”.
Selama ini belum terdapat sebuah benang pemisah antara istilah “penelitian
agama” dan “penelitian keagamaan”. Dengan mengutip pernyataan Middleton, Atho
Mudzhar menjelaskan bahwa “penelitian agama” (research on religion), berbeda
dengan “penelitian keagamaan” (religious research). Yang pertama lebih menekankan
pada materi agama, sehingga sasarannya pada tiga elemen pokok yaitu: ritus,
mitos, dan magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau
sistem keagamaan (religious system).[26]
Penelitian agama sebagaimana yang dikemukakan di atas sasarannya
adalah agama sebagai sebuah doktrin. Sementara penelitian keagamaan sasarannya
adalah agama sebagai gejala sosial. Terkait persoalan ini Atho Mudzhar
mengatakan bahwa, pembedaan ini menjadi sangat perlu sebab akan membedakan
jenis metodologi penelitian yang digunakan. Metode untuk penelitian agama
sebagai sebuah doktrin sudah dirintis misalnya dengan munculnya ilmu ushul al
Fiqh sebagai metode dalam mengistimbatkan hukum dalam ajaran Islam dan metode mustalahul
al Hadits digunakan sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan
sabda-sabda Nabi Muhammad SAW. Untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama
sebagai gejala sosial, tidak diperlukan metode tersendiri. Penelitian ini cukup
meminjam metologi penelitian sosial yang telah ada.[27]
Selanjutnya Atho Mudzhar mengatakan bahwa jika hendak
mengkaji agama terdapat lima gejala yang hendaknya diperhatikan. Pertama, scripture,
naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau
pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan para
penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti
shalat, haji, puasa, perkawinan, dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid,
greja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat
penganut agaa berkumpul dan berperan, seperti NU, Muhamadiyah, Gereja Katolik,
Gereja Protestan, syiah dan lain-lain.[28]
Berdasarkan apa yang dikemukakan Atho Mudzhar tersebut
dapat dikatakan bahwa islam sebagai sebuah agama berpotensi untuk dikaji dan
diteliti, sebab terdapat sisi lain dari agama yang menjadi bagian dari produk
budaya manusia. Apabila penelitian agama berkenaan dengan pemikiran atau
gagasan, maka metode-metode seperti, filsafat, fisiologi adalah pilihan yang
tepat. Apabila penelitian agama berkaitan dengan sikap prilaku agama, maka
metode ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi merupakan
metode yang paling tepat digunakan. Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan
benda-benda keagamaan, metode arkeologi atau metode-metode ilmu natural yang
relevan, tepat digunakan.[30]
Pemetaan dalam penelitian agama dilakukan untuk menganalisa wilayah yang menjadi kajian penelitian, bukan
berarti melakukan dikotomi terhadap agama. Namun demikian tidak dapat disangkal
bahwa agama sebagai sebuah doktrin memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap dinamika maupun tatanan sosial masyarakat, sehingga kehidupan sosial
masyarakat tentu saja banyak dipengaruhi oleh doktrin keagamaan yang pada
akhirnya agama pun melahirkan realitas empiris yang terwujud dalam gejala
keagamaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dalam meneliti
agama sebagai sebuah gejala keagamaan tidak perlu kemudian dilakukan dengan
mencari metode khusus, akan tetapi dapat dilakukan dengan menggunakan
metode-metode penelitian yang berlaku pada umumnya, metode penelitian sosial
misalnya dapat digunakan untuk meneliti prilaku keagamaan masyarakat agama.
Sebagai contoh, dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagian masyarakat di
Pulau Lombok merayakannya dengan menyuguhkan hidangan berupa “penamat”[31]
kepada tamu undangan di Masjid. Persoalannya yang menarik dikaji dalam kasus
ini misalnya, apakah ada korelasi antara tingginya susunan “penamat” dengan
strata sosial masyarakat agama?, apakah semakin tinggi strata sosial masyarakat
menyebabkan semakin tingginya susunan “penamat” yang disajikan? Atau apakah
tingginya “penamat” dipengaruhi oleh tingkat keberagamaan masyarakat? Kasus ini
misalnya dapat diteliti dengan menggunakan kerangka penelitian ilmu sosial,
sebab penelitian ini akan mengkaji prilaku dan sikap keagamaan masyarakat.
Dalam meneliti agama sebagai sebuah gejala keagamaan
terdapat berbagai bentuk penelitian yang dapat digunakan. U. Maman[32]
mengatakan bahwa bentuk-bentuk penelitian serta klasifikasi metode penelitian
dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulkan,
serta sumber data. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian dapat dibedakan
menjadi: (a) eksploratif, (b) deskriptif, (c) historis, (d) korelasional, (e)
eksperimen. Berdasarkan sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi: (a)
penelitian lapangan, dan (b) penelitian kepustakaan. Berdasarkan jenis data dan
proses penelitian dapat dibedakan menjadi: (a) penelitian kuantitatif dan (b)
penelitian kualitatif.[33]
Penutup
Eksistensi agama bagi penganutnya sangat signifikan
karena agama dianggap sebagai konsultan yang akan mengatasi setiap problem
kemanusiaan yang dihadapi penganutnya. Namun saat ini banyak
persoalan-persoalan kemanusiaan di mana agama tidak mampu mengatasinya, bahkan
terkadang agama itu sendiri yang dianggap menjadi masalah. Mengapa demikian?
Persoalan ini tentu saja bukan seperti “tebak-tebakan”
yang dengan spontan bisa dilihat penyebabnya, namun persoalan ini merupakan
permasalahan yang memerlukan kajian yang mendalam. Oleh karena itu studi atau
penelitian terhadap agama menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam upaya
merekonstruksi bangunan keagamaan, sehingga agama mampu menjawab
persoalan-persoalan kemanusiaan yang dihadapi penganutnya.
[11] Upaya
ilmiah (Metode Ilmiah) merupakan prosedur penelitian yang terdiri dari beberapa
langkah diantaranya: 1) Mengenali
permasalahan, 2) Mempelajari semua literature yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut, 3) Jika permasalahan tersebut merupakan sesuatu yang
baru, maka diperlukan sebuah program pengamatan yang mungkin menghasilkan petunjuk-petunjuk
baru, 4) Membuat hipotesis, 5) Menyimpulkan implikasi yang terdapat pada
hipotesis dan melakukan pengujian terhadap hipotesis tersebut, 6) walaupun
sederetan penegasan sudah diperoleh, namun menimbulkan kebingunan, maka perlu
dirumuskan hipotesis yang lain, 7) JIka hipotesis ini berhasil sampai pada
titik di mana tidak ada pengecualian, maka hipotesis ini berubah menjadi hokum,
8) Hukum akan diterima kebenarannya sampai suatu saat di mana pengamatan atau
eksperimen tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan hokum tersebut. (lihat:
Pervez Hoodboy, Ikhtiar Menegakan Rasionalitas antara Sains daan Ortodoksi
Islam”, Mizan: Bandung, 1996, hal. 37-38)
[14] Beberapa contoh konflik keagamaan di
masyarakat misalnya dapat dilihat pada kasus di Banjarmasin 1997, kerusuhan di
Kupang 30 November 1998, konflik di Waringin Timur kasus Madura dan Dayak 1999,
kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah 25-30 Desember 1998, 15-21 April 2000 dan 23
Mei-10 Juni 2001, dan kerusuhan di Mataram NTB tanggal 17 Januari 2001 ( lihat
: “Konflik sosial Bernuansa Agama di Indonesia”, Depag RI Badan Litbang
& Diklat Keagamaan Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup
Beragama : Jakarta, 2003, hal. 63)
[23]
Muhammad Syarqawi adalah peneliti
dan pakar kitab Talmud dari Universitas Kairo, lihat : http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran
[24] Penjelasan lebih rinci terkait persoalan
agama Samawi lihat : Kholily Hasib, “Rancunya Wacana Agama Samawi”, http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran
[33] (1)
Penelitian Eksploratif, gejala keagamaan dapat diteliti secara eksploratif
jika peneliti belum mengetahui banyak tentang gejala keagamaan tersebut.
Misalnya di suatu daerah ada fatwa yang menghalalkan berzina jika dimulai
dengan membaca basmalah, fenomena keagamaan ini dapat dieksplorasi dengan
menggunakan telaah kepustakaan maupun data lapangan, (2) Penelitian
Sejarah, penelitian ini dilakukan untuk melihat gejala keagamaan di masa
lampau, yakni dengan melakukan rekonstruksi terhadap gejala keagamaan yang
terkait dengan persoalan politik, social, ekonomi, maupun budaya, misalnya
dengan meneliti peran pesantren dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda,
(4) Penelitian Deskriptif, merupakan penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan gejala keagamaan, misalnya penelitian terhadap pola kepemimpinan
kyai, etika kepemimpinan menurut ajaran Ahli sunnah wal Jama’ah, (5)
Penelitian Korelasional, penelitian untuk menemukan hubungan antara satu variable dengan variable lainnya,
missal penelitian tentang hubungan pendidikan agama dan ketaan beragama, (6)
Penelitian Eksperimen, penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh
mana hubungan antara variable secara kausalitas, misalnya meneliti pengaruh
metode belajar terhadap tingkat pengetahuan keagamaan. Tingkat pengetahuan ini
dapat dipengaruhi berbagai variabel seperti, metode mengajar, proses belajar,
latar belakang siswa dan sebagainya. ( lihat: U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian
Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal. 27-30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar