Oleh:
Ahmad Munadi
Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya yang cukup strategis dalam membangun
peradaban humanis. Pendidikan humanis akan tercipta ketika pendidikan mampu
melahirkan manusia-manusia yang berkualitas, tidak hanya pada ranah kognitif
namun juga pada ranah afektif dan psikomotorik. Kombinasi ketiga ranah inilah
yang selanjutnya menjadi kekuatan yang dapat membangun peradaban yang ideal.
Pendidikan sesungguhnya
memiliki relevansi yang cukup kuat terhadap sosok Tuan Guru. Secara umum sosok Tuan Guru yang telah menyelesaikan studinya, akan melakukan aktivitas dakwah dan mendirikan pondok pesantren sebagai basis
kekuatan dalam mejalankan aktivitas dakwahnya. Pada saat itulah pengaruh dan pengikut dari tokoh tersebut akan dapat
diketahui. Tokoh Tuan Guru yang memiliki pengikut yang banyak juga didukung
oleh kharisma yang dimilikinya sebagai seorang pemimpin atau tokoh[1].
Namun demikian dalam kehidupan sebuah pesantren yang berpusat pada Kyai (Tuan
Guru), tidak jarang terjadi menyebabkan pesantren yang tersohor kehilangan
santri ataupun mati sama sekali seiring dengan meninggalnya Kiyai yang
bersangkutan. Hal ini terutama terjadi bila pengganti Kyai itu tidak sama
keahlian dan kepopulerannya dengan Kyai yang ia gantikan[2].
Untuk itu perlu dipersiapkan generasi penerus yang handal, terutama melalui
pendidikan.
Dibanding dengan elit masyarakat lainnya, tuan guru cendrung
memiliki posisi sosial yang lebih kuat, tidak hanya terbatas pada ranah agama,
bahkan sudah menjamah ranah politik. Ada dua faktor yang yang mendukung posisi
kuat tuan guru. Pertama, tuan guru adalah orang yang memiliki
pengetahuan keagamaan luas dimana penduduk desa belajar pengetahuan, sehingga
kemudian menyebabkan tuan guru banyak mendapat pengikut. Kedua, tuan
guru biasanya berasal dari keluarga berada, walaupun kemudian tidak jarang
ditemukan tuan guru berasal dari keluarga miskin misalnya bisa dilihat dari
kecilnya ukuran gedung pesantren.[3]
Kuatnya posisi tuan guru dalam strata sosial sebagaimana tersebut
di atas, selanjutnya menjadi peluang bagi tuan guru untuk “melebarkan sayap”
keluar pesantren dengan terlibat langsung dalam perpolitikan. Salah satu tuan
guru yang begitu istiqomah dalam perpolitikan adalah TGH. L. Muhammad Faishal.
Dalam tulisan ini, penulis akan mendeskripsikan dengan sedikit memberikan
analisa terhadap pemikiran terkait upaya-upaya strategis TGH. L. Muhammad
Faishal dalam pengembangan pendidikan Islam di Pulau Lombok. Tulisan ini
selanjutnya nanti akan diarahkan pada pembahasan terkait upaya-upaya TGH. L.
Muhammad Faishal dalam pengembangan pendidikan pesantren dan pendidikan
politik.
Biografi TGH.
L. Muhammad Faishal
TGH. L. Muhammad Faishal adalah satu di antara sederetan ulama yang
karismatik di Pulau Lombok. TGH. L. Muhammad Faishal dilahirkan di Praya pada
tahun 1925 M. Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat konsisten
menjalankan agama. Ayah beliau TGH. Abd. Al Hannan[4] juga adalah
sosok ulama yang begitu intens terhadap
Islam, hal ini tentu saja selanjutnya menjadi nilai tersendiri bagi perjalanan
intelektual TGH. L. Muhammad Faishal terutama dalam pengembangan Islam di Pulau
Lombok.
Semasa kecil, TGH. L. Muhammad Faishal telah memperlihatkan
beberapa kelebihan dibanding teman sebayanya yang lain. Beliau terkenal sosok
anak yang cerdas dan jujur. Melihat kelebihan yang ada pada sosok TGH. L.
Muhammad Faishal, maka tidak mengherankan kemudian, ayah bunda beliau TGH. Abd.
Al Hannan dan Hj. Bq. Aminah memberikan perhatian dan perlakuan yang berbeda,
sebab TGH. Abd. Hannan menaruh harapan yang besar kepada sosok TGH. L. Muhammad
Faishal untuk melanjutkan missi dakwah yang ketika itu dilakoninya.
Melihat sosok kelebihan yang dimiliki putranya, TGH. Abd. Al Hannan
kemudian begitu intens mencurahkan perhatiannya untuk mengajarkan ilmu-ilmu
agama kepada TGH. L. Muhammad Faishal. Untuk memperkuat pemahaman, pengalaman
dan pengamalan TGH. L. Muhammad Faishal tentang agama, maka sejak usia dini
TGH. Abd. Al Hannan selanjutnya mengirim TGH. L. Muhammad Faishal ke Pondok
Pesantren Al Ittihad Ampenan untuk memperdalam ilmu agama. Disinilah TGH. L.
Muhammad Faishal kemudian memulai
perjalanan intelektualnya.
Perjalanan
intelektual dan Karya-karya TGH. L. Muhammad Faishal
Kecerdasan yang dimiliki sosok TGH. L. Muhammad Faishal sebagaimana
narasi tersebut di atas menyebabkan ayahnya, TGH. Abd. Al Hannan berinisiatif
untuk mengirim TGH. L. Muhammad Faishal ke Pondok Pesantren Al Ittihad untuk
memperdalam agama. Perjalanan intelektual TGH. L. Muhammad Faishal dimulai
sejak beliau terdaftar sebagai slah seorang santri di Pondok Pesantren Al Ittihad
Ampenan pada tahun 1930.
Setelah menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Al Ittihad
Ampenan, TGH. L. Muhammad Faishal selanjutnya meneruskan rehlah akademisnya ke
Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) Pancor Lombok Timur
pada tahun 1936. Di Pancor beliau terkenal sebagai santri yang cerdas dan
mendapatkan prestasi yang cukup gemilang, sehingga wajar kemudian TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid begitu menyayangi beliau dan TGH. L. Muhammad
Faishal sejak menjadi santri juga termasuk orang yang cukup disegani oleh
teman-temanya.
Selanjutnya dengan bekal pengetahuan yang diperoleh di Pancor,
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengangkat beliau sebagai asisten
(pendamping) dalam pengembangan Islam di Lombok Timur. Dengan demikian beliau
kemudian berhasil mengkader beberapa ulama karismatik di Pulau Lombok seperti,
TGH. Fadhil Bodak Lombok Tengah, TGH. Muaz Karang Lebah Lombok Tengah, TGH.
Subakti Praya Lombok Tengah.
Setelah menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren NWDI Pancor
thaun 1947 tepatnya ketika berusia 22 tahun, TGH. L. Muhammad Faishal
selanjutnya melakukan rehlah akademik di Madrasah Sholatiyah Makkah al
Mukarromah. Di sana beliau mendalami ilmu-ilmu agama bahkan beliau selanjutnya
menjadi murid kesayangan Syaikh Hasan Masyath. TGH. L. Muhammad Faishal
dipercaya sebagai pengurus perpustakaan yang ada di Makkah al Mukarromah,
bahkan beliau selanjutnya diangkat menjadi sekretaris pribadi Syaikh Hasan
Masyath. Setelah cukup lama berkhidmah di Makkah al Mukarromah, TGH. L.
Muhammad Faishal selanjutnya kembali ke Lombok dan berinisiatif mendirikan
lembaga pendidikan pondok pesantren.
Pada tahun 1951 TGH. L. Muhammad Faishal bersama TGH. Najamuddin
Makmun, TGH. Muaz, dan TGH Subakti selanjutnya mendirikan madrasah Nurul Yakin
Karang Lebah Lombok Tengah dan tepatnya pada tanggal 17 Mei 1956 TGH. L.
Muhammad Faishal mulai mendesain mega proyek pembangunan Pondok Pesantren
Manhalul Ulum atas partisipasi masyarakat. Disinilah kemudian TGH. L. Muhammad
Faishal mencurahkan perhatiannya untuk mencerdaskan masyarakat melalui
pendidikan pesantren.
Selanjutnya pada tanggal 3 Pebruari 2006, TGH. L. Muhammad Faishal
meninggal dunia pada usia 70 tahun, meninggalkan dua orang istri yaitu Ibu Siti
Sarah dan Hj. Bq. Sukarni dan meninggalkan 13 orang putra putri yaitu, Bq.
Wafi’ah Murniati, H.L. M. Zaki Faishal, Hj. Bq. Setiati, L. Abdul Hadi Faishal,
L. Mahbub Faishal, L. M. Munib Faishal, L.M. Najib Faishal, L. Habiburrahman,
Bq. Nasibah, Bq Rosyidah, Bq. Husnawati, Bq. Ziadati, dan H. L. Fahmi Faishal.
Sebagai seorang tokoh karismatik di Pulau Lombok, TGH. L. Muhammad
Faishal memiliki beberapa buah karya yang dituangkannya dalam tuisannya seperti
kumpulan Istigfar, Sholawat dan Do’a yang berjudul Wirdul Manhal, Kitab Sirah
Nabawiyah yang bertittle Inarotudduja fi Magaazi Khairil Waro. Karya yang
terakhir ini merupakan kitab yang berisi tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW
dalam penyebaran agama Islam, beliau juga menyusun buku tentang kumpulan fatwa
TGH. L. Muhammad Faishal yang berisi kumpulan problematika hukum Islam.
Upaya Strategis
TGH. L. Muhammad Faishal dalam Pengembangan Pendidikan Islam Masyarakat Lombok
1.
Pendirian Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga tertua yang masih eksis di blantika
pendidikan Indonesia. Terkait pondok pesantren para ahli memberikan definisi
yang beragam. Yasmadi umpamanya merumuskan bahwa istilah pesantren berasal dari
kata “santri” dengan awalan pe- di depan dan akhiran an- yang berarti tempat
tinggal para santri.[5]
Sementara itu Djamaluddin dan Abdullah Aly mengatakan bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat
sekitar dengan sistem asrama (kampus) yang santri-santrinya menerima pendidikan
agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah
kedaulatan dan kepemimpinan seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri
khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.[6]
Berdasarkan definisi
tersebut dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga yang cukup
unik jika ditinjau dari sistem pendidikannya. Karena keunikan inilah yang
kemudian menyebabkan begitu sulitnya memberikan definisi yang representatif
untuk pesantren. Namun jika menganalisa lebih jauh beberapa definisi yang
dirumuskan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang terdiri dari beberapa komponen dan komponen-komponen inilah
yang selanjutnya menjadi indikator sebuah lembaga pendidikan dikatakan sebagai
pesantren. Komponen-komponen tersebut meliputi: pondok, masjid, pengajaran
kitab klasik, santri dan kyai.[7]
Untuk memahami keadaan pesantren di Indonesia dewasa ini, kita seharusnya memahami
mengenai pengembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan di
seluruh sejarah. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren
pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia. Agama
Islam mulai menyebar di seluruh Indonesia kira-kira pada abad ke-15 tetapi
diperkirakan sudah datang di Indonesia pada abad ke-8 melalui para pedagang
Arab. Sampai abad ke-16 agama Islam telah tersebar dan merupakan agama yang
paling besar di seluruh nusantara Indonesia. Pesantren yang paling lama di
Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timor. Tegalsari didirikan pada akhir abad
ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di Indonesia mulai muncul banyak pada
akhir abad ke-19.[8]
Seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan masyarakat, pesantren
yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral, pada akhirnya harus
berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman tersebut. Orientasi
pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya
pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan pembangunan
bangsa. Sementara itu, pesantren memiliki otoritas untuk menentukan
kehidupannya sendiri. Sebagai akibatnya terjadilah polarisasi bentuk-bentuk
pesantren dengan model sekaligus kurikulum yang berbeda-beda antara satu
pesantren dengan pesantren yang lain. Ada pesantren salaf yang mempertahankan
pelajarannya dengan kitab-kitab klasik tanpa memngajarkan pengetahuan umum, ada
pula pesantren khalaf yang menerapkan sistem pengajaran klasikal, mengajarkan
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dan juga pendidikan ketrampilan[9]
Lebih lanjut Khozin mengemukakan hasil penelitian Soedjoko Prasodjo tentang
bentuk-bentuk pesantren dilihat dari perkembangan fisiknya yaitu: Pertama
pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; Kedua pesantren yang
terdiri dari masjid, rumah kyai, dan pondok; Ketiga pesantren yang terdiri dari
masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah; Keempat pesantren yang terdiri dari
masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tampat ketrampilan; Kelima pesantren
yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan,
universitas, sekolah-sekolah umum, gedung pertemuan, tempat olah raga dan
lain-lain[10].
TGH. L.
Muhammad Faishal pada tanggal 15 Mei 1956/16 Muharram 1375, merintis sebuah
pondok Pesantren yang diberi nama Manhalul Ulum, yang berdiri di atas tanah
seluas 50 are. Adapun motivasi yang mendorong TGH. L. Muhammad Faishal
mendirikan pondok pesantren adalah:
a.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap
pengembangan ilmu agama, dalam rangka membentuk manusia-manusia yang tafaqquh
fi addien, bermoral, dan berakhlak mulia sehingga mampu memainkan peran di
masyarakat.
b.
Sebagai wahana mengisi kemerdekaan
dan pembangunan bangsa dalam rangka membantu pemerintah memainkan peran untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.
Berasarkan
motivasi tersebut, maka TGH. L. Muhammad Faishal membangun pondok pesantren
sebagai basis pengembangan masyarakat, mengingat masyarakat Lombok khususnya di
Praya yang hampir 100% muslim. Dengan demikian sangat diperlukan sebuah wadah
dalam rangka membangun masyarakat yang berkepribadian serta berakhlak qur’ani.
Sistem
pembelajaran pesantren yang dikembangkan disetting menjadi dua model,
yaitu sistem halaqah dan klsikal. Namun sesungguhnya, saat ini dunia pesantren
sebagaimana yang dikemukakan Syarifuddin bahwa pesantren bisa diformulasikan
menjadi tiga model yaitu, Pertama, pesantren modern dengan ciri: (1)
memilki manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat
dengan figur kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern
dengan kurikulum ilmu agama dan umum; (4) sarana dan bentuk bangunan pesantren
lebih mapan dan teratur. Kedua, pesantren tradisional, dengan ciri: (1)
tidak memiliki manajemen dan administrasi modern, sistem pengelolaan berpusat
pada aturan yang dibuat kyai dan diterjemahkan oleh para pengurus; (2) terikat
kuat pada sosok kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan
bersifat konvensional berpijak pada tradisi lama; (4) bangunan asrama santri
tidak tertata rapi, masih menggunakan bangunan kuno. Keempat, pesantren
semi modern, paduan antara tradisional dan modern. Bercirikan nilai-nilai
tradisional masih kental dipegang, kyai masih menenpati figur sentral, norma
dan kode etik pesantren klasik tetap menjadi standar pola relasi dan norma
keseharian.[11]
Jika ditelusuri
berdasarkan konsep pesantren yang ditawarkan Syarifuddin tersebut di atas, maka
pesantren yang dikembangkan TGH. L. Muhammad Faishal lebih mengarah pada model
yang ketiga yaitu tipe semi modern, sebab pesantren Manhalul Ulum tidak hanya
mengembangkan model pendidikan tradisional, namun juga eksis dengan sistem
modern yang mengembangkan ilmu-ilmu umum, bahkan pesantren Manhalul Ulum juga
mengembangkan manajemen modern dalam mengkoordinir kegiatan pesantren seperti: Pusat Informasi Pesantren (PIP), Pos
Kesehatan Pesantren (POSKESTREN), Pengurus Pusat Pengajian Manhalul Ulum (P3M),
Ikatan Keluarga Alumni Manhalul Ulum (IKMAL), Ikatan Mahasiswa Alumni Manhalul
Ulum (IMAMI).
Dengan
demikian, maka konsep pesantren yang dikembangkan TGH. L. Muhammad Faishal
lebih mengarah pada tipe pesantren semi modern, bukan pesantren modern yang
tidak menjadikan kyai atau tuan guru sebagai sosok sentral dan bukan pula model
pesantren tipe kedua yang mengembangkan konsep pendidikan yang kental akan
tradisi lama.
2.
Pendidikan Politik
Terdapat tiga
pendangan tentang hubungan agama dan politik yaitu: pertama, agama dan negara
tidak bisa dipisahkan, nilai-nilai agama harus dijakdikan dasar dalam
konstitusi negara. Kedua, bersifat skularistik. Kelompok ini menolak, baik
hubungan integeralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Ketiga, agama
dan negara memiliki hubungan simbiotik, saling memerlukan secara timbal balik,
agama memerlukan negara, sebab dengan negara agama dapat berkembang, begitu
pula sebaliknya.[12]
TGH. L.
Muhammad Faishal selain sebagai seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai
sosok politisi handal. Beliau memiliki keperibadian yang luar biasa. Sehingga
Gus Dur pernah melontarkan pujian kepada sosok TGH. L. Muhammad Faishal. Gus
Dur pernah menulis sebuah artikel di Harian Umum Kompas yang berjudul “Tuan
Guru Faishal Potret Kepribadian NU”[13].
Dalam tulisan tersebut, Gus Dur mengungkapkan bahwa di NTB terdapat dua
figur ulama besar yang sangat menonjok dan berpengaruh yaitu Tuan Guru Muhammad
Zaenuddin Abdul Madjid (Pimpinan Nahdlatul Wathan) dan Tuan Guru Faishal (Ro’is
Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama).
TGH. L.
Muhammad Faishal adalah generasi kedua NU di NTB. Jika ditelusuri secara
historis NU muncul di Lombok sejak tahun 1930-an yang dipopulerkan oleh Syekh
Abdul Manan atas amanah Syekh Hasim Asy’ari Rais Akbar untuk membuka akses NU
di Pulau Lombok.[14]
Sepeninggal
syekh Abdul Manan, NU selanjutnya dikembangkan oleh TGH. M. Zaenuddin Abdul
Madjid dan TGH. L. Muhammad Faishal yang ketika itu NU terintegrasi dalam
Masyumi, dengan demikian, maka secara otomatis kedua Tuan Guru tersebut adalah
pemegang kebijakan di Masyumi.
Ketika NU
memisahkan diri dengan Masyumi, kedua tokoh ini pun selanjutnya memilih jalan
yang berbeda. TGH. M. Zaenuddin Abdul Madjid tetap memilih Masyumi sementara
TGH. L. Muhammad Faishal tetap konsisten di NU. Langkah ini ditempuh untuk
membendung pengaruh PNI yang ketika itu menjadi rival dalam memperebutkan kursi
di pemerintahan.
Semenjak
tumbangnya orde lama yang kemudian beralih ke orde baru, TGH. M. Zaenuddin
Abdul Madjid yang semula eksis di Masyumi selanjutnya hijrah ke Golkar
sementara TGH. L. Muhammad Faishal tetap di NU. Pada kampanye pemilu 1971,
partai politik memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan Golkar tidak
terkecuali NU. Semenjak itulah kemudian hubungan TGH. M. Zaenuddin Abdul Madjid
dan TGH. L. Muhammad Faishal mulai renggang.
Penutup
Tuan Guru selaku tokoh sentral dalam masyarakat memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam
kehidupan masyarakat Lombok. Karisma yang melekat pada sosok Tuan Guru menjadi
nilai tersendiri bagi tuan guru untuk menghipnotis pengikut. Dengan demikian
maka tidak mengherankan kemudian rancang bangun pendidikan Islam di pulau
Lombok sesungguhnya memiliki relevansi yang kuat terhadap sosok Tuan Guru. TGH.
L. Muhammad Faishal adalah salah satu tokoh spiritual yang telah mampu
membangun pondasi pendidikan Islam di Pulau Lombok dengan membangun sistem
pendidikan pesantren sebagai wadah untuk menata pribadi-pribadi islami. Hal ini
sebagai bentuk kepedulian terhadap pengembangan ilmu agama, dalam rangka
membentuk manusia-manusia yang tafaqquh fi addien, bermoral, dan
berakhlak mulia sehingga mampu memainkan peran di masyarakat. Di samping upaya pengembangan pendidikan Islam melalui
pendidikan pesantren, TGH. L. Muhammad Faishal juga telah menawarkan
konsep-konsep pendidikan Islam melalui jalur politik.
[4] TGH.
Abd. Al Hannan adalah salah satu Tuan Guru di Pulau Lombok yang sangat
konsisten dalam mengkampanyekan Islam. TGH. Abd. Al Hannan adalah seorang tokoh
yang cukup karismatik dan terpandang dan sosok muballigh handal. Sebagai
tokoh agama saat itu, TGH. Abd. Al Hannan sangat sibuk dengan tugas-tugas dalam
mencerdaskan umat. Beliau menjadi tokoh sentral dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan keagamaan masyarakat ketika itu.
[7] Imam
Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: al Ikhlas,
1993), 89 Lihat juga: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren
& Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta, 2003), 28
dan Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai :Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang:
Kalimasahada, 1993), 5-6
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPartai politik telah memisahkan murid dari gurunya.ironis sekali
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus