Oleh :
Ahmad Munadi
A.
Pendahuluan
Sebagai sebuah ideologi, Islam
memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang dan begitu kompleks, sehingga
banyak kemudian memunculkan persoalan-persoalan dalam lingkaran historis
perjalanan Islam tersebut. Proses masuknya Islam di Nusantara misalnya, banyak
memunculkan debatable di kalangan sejarawan. Perdebatan ini menurut Sunanto
dikarenakan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pada masa awal
tersebut tidak bertendensi apapun selain bertanggung jawab dan menunaikan
kewajiban.[1] Dengan demikian sangat
wajar kemudian jika para aktor sejarah ketika itu tidak membuat catatan sejarah
yang mengabadikan peran mereka dalam perjalanan sejarah Islam di Nusantara.
Jejak sejarah yang ditorehkan Islam
di Bumi Nusantara sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia[2]. Tepatnya, perkembangan
pendidikan Islam memiliki usia yang hampir sama dengan sejarah perjalanan Islam
di Indonesia, bahkan dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah
pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan
karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti
akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam
pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari
sinilah kemudian mulai timbul pendidikan Islam. Di mana
pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian
berkembang menjadi pondok pesantren[3]
Dalam perjalanannya, Pendidikan
Islam di Indonesia telah melalui tiga tahapan. Tahapan pertama berlangsung pada
awal masuknya Islam di Indonesia. Periode ini ditandai dengan perkembangan
pesantren. Sementara tahapan kedua berlangsung semenjak munculnya ide-ide
pembaharuan yang ditandai dengan lahirnya madrasah kemudian selanjutnya tahapan
yang ketiga pendidikan
Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003.[4]
Melalui tulisan ini, penulis
tidak akan menjelajahi fase-fase perjalanan historis pendidikan Islam secara
menyeluruh, spesifik dan mendalam, akan tetapi tulisan ini hanya akan diarahkan
untuk melihat potret pendidikan Islam pada tahap masuknya Islam di Indonesia
dengan munculnya “pesantren” dan tahap kedua, masa pembaharuan dengan munculnya
“madrasah”. Dengan demikian, maka apa yang dipaparkan dalam tulisan ini
sesungguhnya tidak secara representatif kemudian mewakili sejarah perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia secara komprehensif dan mendalam.
B.
Masuk dan Berkembangnya
Pendidikan Islam di Indonesia
1.
Masuknya Islam
di Nusantara sebagai awal masuknya Pendidikan Islam di Indonesia
Untuk menganalisis masuknya
pendidikan Islam di Indonesia, maka sangat tepat kiranya jika menelusuri proses
masuknya Islam di bumi Nusantara tersebut, sebab pendidikan Islam di Indonesia
memiliki perjalanan sejarah yang sama dengan sejarah masuknya Islam di
Indonesia. Informasi tentang Islam di bumi Nusantara telah diterima sejak orang
Vanesia (Italia) yang bernama Marcopolo singgah di kota Perlak dan menerangkan
bahwa sebagian besar penduduknya telah beragama Islam.[5] Namun yang menjadi
persoalan kemudian adalah kapan tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Persoalan
ini muncul akibat tidak adanya catatan sejarah yang menjelaskan secara otentik
prosesi masuknya Islam di Indonesia. Kerabunan fakta sejarah inilah yang
kemudian menimbulkan debatable yang cukup alot di kalangan para sejarawan,
sehingga akhirnya memunculkan beberapa teori masuknya Islam di Indonesia.
Berdebatan seputar masuknya Islam
di Nusantara pada umumnya dipartisi
menjadi tiga teori yaitu: 1) Pendapat pertama dipelopori
oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda,
di antaranya Snouck Hurgronje yang
berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat
(bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam Sultan yang beragama
Islam pertama Malik as Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang
dikatakan berasal dari Gujarat[1]; 2) Pendapat kedua
dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, di antaranya Prof. Hamka, yang
megadakan seminar Sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963.
Hamka dan teman-temanya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada
abad pertama Hijriyah (± abad 7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh
sebelum abad ke 13 (yaitu sudah ada sejak abad 7 M) melalui Selat Malaka yang
menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan
Bani Umayah di Asia Barat; 3) Pendapat ketiga dikemukakan oleh
sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah yang mengkompromikan kedua
pendapat tersebut. Menurut pendapatnya bahwa memang benar Islam sudah datang ke
Indonesia sejak abad ke 7 M tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di
pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai
kekuatan politik pada abad ke 13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal
ini terjadi akibat arus balik kehancuran Bagdad ibu kota Abasyiah oleh Hulagu.
Kehancuran Bagdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan
ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.[6]. Di samping itu, ada yang
menyebutkan bahwa ketiga teori yang
dimaksud adalah teori Gujarat, teori Persia, dan teori Arabia.[7]
Berdasarkan analisis para ahli,
teori Gujarat dinilai memiliki kelemahan sehingga banyak para sejarawan
kemudian “menelanjangi” teori tersebut dari berbagai aspek, Ahmad Mansyur
Suryanegara misalnya mengatakan bahwa teori Gujarat ini hanyalah pembelokan
sejarah. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pra Rasulullah para pedagang Arab
sudah berhubungan dengan Indonesia hal ini dapat dilihat dari sejumlah
literatur sejarah yang berasal dari Cina, India, dan Arab. Di samping itu, Gujarat
dikenal sebagai pusat Syiah, sementara Samudra Pasai adalah bermadzhab ahli
sunnah, dengan demikian maka sangat keliru jika Islam dibawa dari Gujarat.[8]
Penyebaran Islam di bumi
Nusantara dilakukan oleh para pedagang muslim yang melakukan kontak dagang
dengan penduduk setempat. Pedagang muslim ketika itu melakukan penyebaran Islam
melalui beberapa jalur seperti perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian, dan politik.[9] Di samping itu penyebaran Islam
juga sangat efektif dengan kekuasaan para penguasa yang sudah memeluk Islam.
Dengan masuknya penguasa ke dalam Islam maka secara otomatis akan diikuti oleh
rakyatnya dan tidak menutup kemungkinan akan diikuti juga oleh penguasa
lainnya.
Faktor penting yang telah
mendorong proses Islamisasi di bumi Nusantara di antaranya disebabkan oleh: 1)
portabilitas sistem keimanan Islam; sistem keimanan siap pakai dan berlaku di mana pun sehingga sesuai bagi para pemeluk
yang dinamis, hal ini berbeda dengan sistem kepercayaan lokal yang berpusat
pada penyembahan arwah nenek moyang; 2) asosiasi Islam dengan kekayaan[10]; para pendakwah adalah
saudagar-saudagar kaya raya yang tidak hanya terlibat dalam bidang perdagangan
, tetapi juga dalam boidang politik dan diplomatik; dan 3) introduksi
kebudayaan peradaban literasi yang relativ universal. Introduksi ini berhasil
membangun semangat rasionalisme dan intelektualisme bukan saja di kalangan
kraton, tetapi juga di kalangan rakyat jelata,[11] 4) Kejayaan militer; 5)
Memperkenalkan tulisan; 6) Mengajarkan penghafalan; 7) Kepandaian dalam
penyembuhan; 8) Pengajaran tentang moral.[12]
Sikap keberterimaan masyarakat
Nusantara akan kedatangan Islam sebagaimana dikemukakan tersebut di atas secara
otomatis membentuk budaya tarbiyah di kalangan masyarakat. Pada tahap
awal ini pendidikan Islam berlangsung secara informal di mana para da’i
memberikan konsep-konsep pendidikan yang bersifat aplikatif dalam bentuk sikap,
prilaku yang menjadi tauladan dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya
proses pembelajaran dipusatkan di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan
kemudian berkembang menjadi pondok pesantren.
Keindahan sikap dan prilaku
para da’i inilah yang kemudian menjadi daya pikat masyarakat untuk melakukan
konversi besar-besaran ke dalam Islam hingga akhirnya terbentuklah komunitas
dan selanjutnya muncul kerajaan Islam, tetapi ada juga di sebagian daerah di
mana para Muballigh terlebih dahulu mengIslamkan penguasa setempat, dan dengan
demikian masyarakat atau rakyatnya memeluk Agama Islam seperti yang terjadi di
Kerajaan Malaka.[13]
2.
Perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia: Menengok Perkembangan Pesantren di Indonesia
Pendidikan merupakan elemen
penting dalam membangun sebuah peradaban, karena itulah kemudian sejak awal
perkembangan Islam, pendidikan menjadi prioritas utama masyarakat muslim.
Melalui pendidikan tentu saja masyarakat muslim dapat lebih leluasa melakukan Islamisasi
di bumi Nusantara. Proses Islamisasi ini dilakukan melalui pengajaran Islam di
berbagai tempat seperti masjid, surau, musholla bahkan di rumah para ulama.
Pendidikan Islam pada awal
perkembangannya di Indonesia dilakukan dengan menggunakan sistem halaqah dengan
menjadikan berbagai tempat sebagai pusat kegiatan pendidikan. Sistem pengajaran
Islam pada masa awal ini dilakukan dengan mengadopsi lembaga keagamaan dan
sosial yang sudah ada. Di Jawa misalnya, umat Islam mengadopsi lembaga
keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren,
di Minangkabau mengambil alih surau[14]
sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam
dan demikian pula masyarakat Aceh yang mentransfer lembaga masyarakat meunasah[15]
sebagai lembaga Pendidikan Islam[16]. Walaupun menggunakan
istilah yang berbeda-beda, pusat-pusat pendidikan tersebut sesungguhnya
memiliki substansi yang sama dengan model pendidikan pesantren kendati istilah
pesantren lebih populer di pulau jawa.
Secara historis lembaga
pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakat Indonesia.
Pesantren dari sudut historis-kultural dapat dikatakan sebagai training Center
yang secara otomatis menjadi Culture Center.[17]Yasmadi mengemukakan bahwa
pesantren merupakan istilah yang berasal dari kata “santri” dengan awalan pe-
di depan dan akhiran –an yang berarti “tempat tinggal”[18]. Prasodjo sebagaimana
yang dikemukakan Bawani mendefinisikan bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal di mana
seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santri berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan dan para
santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.[19]
Berdasarkan beberapa definisi
tersebut dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga yang cukup
unik jika ditinjau dari sistem pendidikannya. Karena keunikan inilah yang
kemudian menyebabkan begitu sulitnya memberikan definisi yang representatif
untuk pesantren. Namun jika menganalisa lebih jauh beberapa definisi yang
dirumuskan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang terdiri dari beberapa komponen dan komponen-komponen inilah
yang selanjutnya menjadi indikator sebuah lembaga pendidikan dikatakan sebagai
pesantren. Komponen-komponen tersebut meliputi: pondok, masjid, pengajaran
kitab klasik, santri dan kyai.[20]
Secara historis, pesantren dinilai
tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuansa keIslaman, tetapi juga menjaga
nuansa keaslian (indigenious) Indonesia karena lembaga sejenis telah berdiri
sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengIslamkan
saja.[21] Pada abad ke 15 M,
pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, di antaranya
walisongo. Dalam menyebarkan Islam mereka mendirikan masjid dan asrama untuk
santri. Di Ampel Denta Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam
sebagai tempat ngelmu para pemuda Islam.[22]
Model pengajaran yang
diterapkan dalam pesantren adalah non klsikal dengan sistem halaqah. Adapun
materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu keIslaman yang bersumber dari kitab
klasik atau sering diistilahkan dengan kutub al muqarrarah atau populer
juga dengan istilah “kitab kuning” atau “kitab gundul” karena kitab-kitab
tersebut umumnya tidak memiliki syakal/harakat[23]. Selanjutnya metode yang
digunakan cukup variatif. Arifin menyebutkan lima model yang umumnyaa
diterapkan di pesantren yaitu: metode wetonan, sorogan/bandongan, Muhawarah,
Mudzakarah[24].
sementara Dirjen Kelembagaan Agama Islam menyebutkan 6 metode yaitu:
sorogan/bandongan, wetonan, Bahtsul masail, pengajian pusaran, muhafazhah dan
metode praktek ibadah.[25]
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa
isi pendidikan Islam Pondok Pesantren terutama pada masa perubahan (1900-1908)
meliputi: 1) pengajian al Quran; 2) pengajian kitab yang terdiri dari beberapa
tingkat, yaitu: a) nahwu, sharf, fiqih dengan memakai kitab al Jurmiyah, matan
al Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; b) tauhid, nahwu, shorf dan fiqih dengan
memakai kitab Sanusi, syaikh Khalid (Azhari, ;Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in
dan sebagainya; c) tauhid, nahwu, shorf, fiqih, tafsir dan lain-lain dengan
memakai kitab Kifayatul Awwam, Ibnu ‘Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan
sebagainya.[26]
Berdasarkan beberapa narasi
tersebut di atas, maka dapat difahami bahwa inti dari pendidikan Islam pada
masa awal adalah pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan pada
pesantren – termasuk juga di dalamnya seperti langgar, masjid, surau dan sebagainya - dengan membaca kitab-kitab
klasik. Kitab-kitab klasik ini menjadi ukuran tinggi rendahnya ilmu agama
seseorang. Kondisi ini tentu saja sangat kontras dengan kebijakan pendidikan
barat yang dikampanyekan pemerintah kolonialisme Belanda hingga akhirnya
memunculkan ide pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Respon masyarakat pada aspek
pendidikan terhadap kebijakan kolonialisme abad XX dapat dilihat dari dua sisi,
yang pertama tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat sebagai
kunsekuensi dari persentuhan dengan ide-ide pembaharuan Islam. Kedua respon
masyarakat secara langsung terhadap kebijakan pendidikan pemerintah kolonial.[27] Asumsi ini sebagaimana
yang dikemukakan Suwendi didasarkan pada pertimbangan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan madrasah di awal abad XX merupakan bagian dari gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia yang memiliki kontak yang cukup intensif dengan pembaharuan
di Timur Tengah. Sementara itu disisi lain, tradisi pendidikan Islam di
Indonesia tidak sepenuhnya khas Indonesia kecuali hanya mengadopsi tradisi
pendidikan yang telah ada, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
pertumbuhan madrasah di Indonesia merupakan bentuk penyesuaian dari tradisi
persekolahan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial.[28]
Ide pembaharuan pada abad ke 20
M tersebut dimotivasi oleh faktor: 1) keinginan untuk kembali kepada al Quran
dan al Hadits; 2) semangat nasionalisme dalam melawan penjajah; 3) untuk
memperkuat basis kekuatan gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.[29]Dalam perkembangan
selanjutnya, usaha pembaharuan di Indonesia menimbulkan ketegangan antara kaum
tua (konservatif) dan kaum muda (pembaharu). Untuk mempertahankan pendirian
masing-masing kelompok, maka lembaga pendidikan dijadikan sebagai alat
sosialisasi dan mobilisasi massa. Kaum muda dalam hal ini memanfaatkan madrasah
sebagai pusat pendidikan sementara kaum tua memanfaatkan surau.[30]
Sebagai imbas dari ide
pembaharuan tersebut maka pada awal abad ke 20 M, pendidikan di Indonesia
terpecah menjadi dua golongan yaitu: 1) pendidikan yang diberikan oleh
sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama; 2)
pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja[31]. Pendidikan ala Barat ini
memiliki perbedaan yang cukup signifikan, baik dari segi metode, isi maupun
tujuannya.
Wirjosukarto sebagaimana yang
dikemukakan Muhaimin mengatakan bahwa model pendidikan pesantren (corak lama)
memiliki ciri-ciri: 1) menyiapkan calon kyai atau ulama yang hanya menguasai
masalah agama semata; 2) kurang diberikan pengetahuan untuk menghadapi
perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan;
3) sikap isolasi yang disebabkan karena sikap nonkooperasi secara total dari
pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau Barat. Sementara ciri-ciri
pendidikan ala Barat (corak baru) adalah: 1) hanya menonjolkan intelek dan
sekaligus hendak melahirkan golongan intelek; 2) pada umumnya bersikap negatif
terhadap agama Islam; 3) alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.[32]
Dominasi pemerintah
kolonialisme Belanda yang begitu kuat berimbas pada pendidikan Islam pesantren,
sehingga muncul ide untuk melakukan reformulasi pendidikan Islam khususnya
pondok pesantren sebagai icon pendidikan Islam masa itu. Gagasan ini mulai
memuncak pada abad ke 20 M dengan membentuk lembaga-lembaga pendidikan modern
yang diadopsi dari sistem pendidikan kolnial Belanda. Pemrakarsa dalam hal ini
adalah organisasi-organisasi “Modernis” Islam seperti Jami’at al Khoir, al Irsyad,
Muhamadiyah dan lain-lain. [33]
Model pendidikan yang
dikembangkan kaum pembaharu tersebut merupakan model sintesis dari pendidikan
pesantren. Model ini menurut Muhaimin muncul bersamaan dengan lahirnya
madrasah-madrasah yang berkelas dan muncul sejak tahun 1909. Merujuk pada hasil
penelitian Mahmud Yunus, Muhaimin menunjukan bahwa pendidikan Islam yang
mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis adalah sekolah
Adabiyah/Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang. Inilah madrasah pertama
di Minangkabau bahkan di seluruh Indonesia yang didirikan oleh Syaikh Abdullah
Ahmad pada tahun 1909. Madarasah Adabiyah ini eksis sampai tahun 1914 kemudian
diubah menjadi HIS.[34]
Terkait dengan masuknya pelajaran umum ke dalam
lingkungan pesantren sejak awal abad ke
20 beberapa pesantren mulai bersikap progresif dengan memasukkan
pelajaran-pelajaran umum. Salah satu pesantren yang mempelopori pembaharuan
kurikulum tersebut adalah pesantren Tebuireng. Pada tahun 1935 pesantren
Tebuireng telah membuka madrasah modern secara basar-besaran yang dinamakan
madrasah Nizhamiyah, suatu bentuk perguruan hasil karya A.Wahid Hasyim sendiri,
dengan cara dan daftar pelajaran yang belum pernah terjadi dan belum pernah ada
orang yang berani menciptakannya sebagai salah satu cabang pesantren. Di dalam
madrasah tersebut selain pelajaran agama dan bahasa Arab, juga disajikan
pengetahuan umum, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris, di mana ketiga mata
pelajaran yang disebut terakhir masih dianggap alergi bagi kaum ulama[35]
Pada awalnya Tebuireng memang hanya mementingkan
pelajaran agama semata sebab pengajaran-pengajaran umum seperti bahasa-bahasa
asing (selain bahasa Arab), belajar huruf latin, dan berhitung masih dianggap
haram untuk diajarkan. Bahkan pada waktu itu, memakai bangku dan papan tulis
ketika memberikan pelajaran sudah dianggap tidak sesuai dengan kehidupan agama.
Pandangan semacam ini dilatarbelakangi semangat agama yang sangat menentang
penjajahan[36].
Sebagai pesantren terkemuka khususnya di Jawa dan
Madura pada waktu itu, pembaharuan kurikulum di pesantren Tebuireng tersebut
tentu saja mendapatkan banyak tantangan. Namun demikian secara perlahan-lahan
pada akhirnya banyak diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Pada tahun
1980-an cukup banyak pesantren tradisional yang sudah memasukkan sistem
madrasah dan ikut kurikulum pemerintah. Sekurang-kurangnya pesantren tersebut
menambahkan pengetahuan umum seperti pelajaran PMP, bahasa Inggris, bahasa
Indonesia, IPS, dan Matematika[37].
Tujuan
pendidikan pondok pesantren pada dasarnya adalah menyiapkan calon lulusan yang
hanya menguasai masalah agama agama semata (Tafaqquh fi Addien ), pola
pikir seperti ini dilandasi oleh pemikiran bahwa hakikat manusia adalah sebagai
‘abd Allah yang hanya mengadakan hubungan vertikal dengan Allah SWT guna
mencapai kesholehan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[38] Namun persoalannya
kemudian adalah mampukah pesantren tetap eksis dengan orientasi pendidikan
seperti ini di tengah derasnya arus perubahan zaman?
Karena
itulah kemudian Seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan
masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral,
pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman
tersebut. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut
dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan
pembangunan bangsa. Sementara itu, pesantren memiliki otoritas untuk menentukan
kehidupannya sendiri. Sebagai akibatnya terjadilah polarisasi bentuk-bentuk
pesantren dengan model sekaligus kurikulum yang berbeda-beda antara satu
pesantren dengan pesantren yang lain. Ada pesantren salaf yang mempertahankan
pelajarannya dengan kitab-kitab klasik tanpa mengajarkan pengetahuan umum, ada
pula pesantren khalaf yang menerapkan sistem pengajaran klasikal, mengajarkan
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dan juga pendidikan keterampilan[39]
C. Penutup
Masuknya Islam di bumi Nusantara
merupakan gerbang utama perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia pra kemerdekaan telah melalui dua
fase, yaitu fase pertama berlangsung pada awal masuknya Islam di Indonesia yang
ditandai dengan perkembangan pesantren. Sementara fase kedua berlangsung
semenjak munculnya ide-ide pembaharuan yang ditandai dengan lahirnya madrasah.
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan tertua yang muncul sejak kedatangan Islam di Nusantara, namun dalam
perkembangannya pesantren mengalami tekanan-tekanan dengan munculnya kebijakan
pendidikan sekuler yang dikampanyekan pemerintah kolonial hingga akhirnya
muncul ide-ide pembaharuan untuk memodifikasi model pendidikan Islam
tradisional dengan mengadopsi sistem pendidikan modern ala Barat sehingga
munculah model pendidikan madrasah. Akhirnya, model pendidikan sintesis inilah yang menjadi
kekuatan bagi pesantren untuk menjawab tantangan zaman.
Adapun makna filosofis yang dapat dijadikan
sebagai ibroh dalam fase perjalanan sejarah Pendidikan Islam (baca:
pesantren) di Indonesia adalah bahwa manusia akan melalui fase-fase dalam hidup
dan kehidupannya mulai dari fase kelahiran, pertumbuhan, perkembangan hingga
akhirnya juga akan memasuki fase Game Over (kematian). Dengan demikian, kehidupan
manusia (secara individual) sesungguhnya dapat dikatakan sebagai sebuah
miniature sebuah perjalanan sejarah. Pada setiap fase-fase tersebut manusia akan
dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup yang akan memberikannya dua pilihan,
bergerak atau diam. Namun tentu saja manusia dituntut untuk bergerak dan
bersikap responsive, inovatif, dan kreatif dalam menghadapinya, karena “hidup
itu adalah gerak”, demikian ungkap Iqbal.
Demikian
halnya dengan sejarah yang ditorehkan pesantren di bumi Nusantara ini, di mana
pada awal pertumbuhannya pesantren memperlihatkan bentuknya yang paling
konservatif dengan system pendidikan halaqah, namun seiring dengan
munculnya ide pembaharuan, maka sebagian besar pesantren mulai mendesain sebuah
system pendidikan up to date yang lebih responsive terhadap
persoalan-persoalan global yang mulai menggeser system pendidikan tradisional.
[2] Untuk
mengetahui sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari fase-fase yang dilalui, fase-fase tersebut terpartisi menjadi 7
periode: 1) Periode masuknya Islam ke
Indonesia; 2) Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi; 3) Periode kekuasaan
kerajaan-kerajaan Islam (proses politik); 4) Periode penjajahan Belanda (1619
– 1942); 5) Periode penjajahan Jepang (1942 –
1945); 6) Periode kemerdekaan I Orde lama
(1945 – 1965); 7) Periode kemerdekaan II Orde
Baru/Pembangunan (1966- sekarang). Lihat: http://www.canboyz.co.cc/2010/02/pendidikan-Islam.html ( Mei, 8, 2011)
[7] Teori Gujarat menyatakan bahwa Islam pertama
kali dibawa ke nusantara oleh pedagang yang berasal dari wilayah-wilayah di
anak benua India seperti Gujarat, Bangali, Malabar; Teori Persia:
menyatakan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara berasal dari Persia karena
adanya persamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam
dengan penduduk Persia; Teori Arabia: menyatakan bahwa Islam masuk ke
Indonesia langsung dari Makah dan Madinah pada abad ke 7. Lihat selengkapnya:
Fahrurrozi, Melacak Peranan Para Da’i Hadhramaut dalam Penyebaran Dakwah Islam
di Indonesia, Jurnal Tasamuh Fakultas Dakwah IAIN Mataram vol. 4,
Desember 2006, h. 74-75
[10] Pedagang
muslim yang berintraksi dengan masyarakat Nusantara adalah para pedagang kaya
karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting
dalam bidang politik lokal dan bidang diplomatik. Pada abad 10 dan 12, tidak
kurang dari 12 orang pedagang muslim menjadi duta-duta Sriwijaya dalam politik
dan perdagangan dengan Cina dan negara-negara Timur Tengah. Lihat : Musyrifah
Sunanto, “Sejarah Perdaban Islam Indonesia”...h. 19
[14] Surau
merupakan tempat yang dibangun untuk
tempat ibadah orang Hindu-Budha. Surau ini digunakan sebagai tempat
berkumpulnya pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama sebagai alat yang ideal
untuk memecahkan persoalan sosial. Surau dibangun oleh suku Indu untuk
berkumpul rapat dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda, kadang-kadang bagi mereka
yang sudah kawin, dan orang tua yang sudah uzur. Anak laki-laki pada saat itu
menurut adat yang berlaku, tidak memiliki kamar di rumah ibunya, oleh karena
itu harus tidur di surau. Lihat: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Rekonstruksi
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia……., h. 47
[15] Secara
etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau
sekolah. Bagi masyarkat Aceh meunasah tidak hanya semata-mata tempat belajar,
bagi mereka meunasah memiliki multifungsi. Meunasah di samping tempat belajar,
juga berfungsi tempat ibadah, tempat pertemuan,
musyawarah, pusat informasi, tempat tidur, dan tempat menginap bagi musyafir,
tempat perayaan kenduri masal dalam kampung, seperti maulid nabi SAW, nuzulul
Qur’an, dan Isra’ mi’raj dan juga sebagai tempat pejabat-pejabat memutuskan dan
memecahkan masalah-masalah social kemasyarakatan.Di
tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi
anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para
murid diajar menulis, membaca huruf Arab, ilmu agama, dan akhlaq.
Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina agama di suatu tempat-tempat tertentu. Lihat: http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-pada-masa-awal-masuknya.html (8 Mei 2011)
Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina agama di suatu tempat-tempat tertentu. Lihat: http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-pada-masa-awal-masuknya.html (8 Mei 2011)
[18] Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nurkholis
Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional), Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 61 lihat dan bandingkan juga
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
1995, h. 194 lihat juga Hj. Lubna, Mengurai Ilmu Pendidikan Islam, Mataram:
LKIM Mataram, 2009, h. 203
[20]
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al
Ikhlas, 1993, h. 89 Lihat juga: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Pondok
Pesantren & Madrasah Diniyah (Pertumbuhan dan Perkembangannya), Jakarta,
2003,h. 28 dan Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai (Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng), Malang: Kalimasahada, 1993, h. 5-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar