Oleh:
Ahmad Munadi
Pendahuluan
Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai Tibyânan li kulli syai’ wa hudan wa busyro lil muslimîn, yang akan memberikan solusi terhadap segala persoalan manusia, karena itulah kemudian manusia berkewajiban untuk memahami petunjuk-petunjuk ( baca: al Quran ) tersebut.
Karakteristik yang membedakan Islam dengan lainnya adalah
bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu (sains). Al Quran
menyeru kaum muslim untuk mencari dan memperoleh ilmu serta akan memberikan
posisi yang tinggi bagi mereka yang memiliki pengetahuan (lihat: QS. al
Mujadalah), dengan demikian tidak ada distorsi antara islam dan sains. Dalam
islam, segala sesuatu berpusat pada kesatuan Tuhan (tauhid) dan sains merupakan
media efektif yang akan menambah wawasan manusia akan eksistensi Tuhan.[1]
Korelasi al Quran dengan sains pada dasarnya menimbulkan
debatable di kalangan pemikir islam, Imam Ghazali misalnya mengatakan bahwa al
Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan, namun tidak demikian dengan
Imam Syatibi yang mengatakan bahwa sahabat tentu lebih mengetahui kandungan al
Quran, akan tetapi tidak ada seorang sahabatpun yang menyimpulkan bahwa al
Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.[2]
Terlepas dari persoalan tersebut di atas, timbul
pertanyaan adakah sains islam? Jika ada, bagaimana konstruksi metodologi sains
islam tersebut? Dalam hal ini banyak kalangan menyimpulkan bahwa sains itu
hanya untuk sains, artinya sains itu
netral – tidak ada sains islam, sains kristen, sains Hindu, sains Budha
dan seterusnya - yang ditebengi oleh idiologi-idiologi tertentu, sehingga sains
islam hanyalah “hayalan” belaka, yang bertujuan untuk melakukan “tebengisasi”
islam dan sains dengan melakukan justifikasi sains dengan dalil-dalil idiologi.
Inilah yang kemudian menjadi kecurigaan para ilmuan sementara ini.
Namun tentu saja naif kiranya jika kesimpulan tersebut di
atas diamini begitu saja tanpa melakukan analisis yang lebih mendalam. Oleh
karena itu, melalui tulisan ini akan dipaparkan sekilas persoalan tersebut
dengan melakukan kajian terhadap 2 referensi yang bersebrangan yaitu Ikhtiar
Menegakan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam karya Pervez
Hoodbhoy dengan sebuah karya dari Osman Bakar yang berjudul Tauhid dan Sains.
Kajian terhadap pemikiran Pervez Hoodbhoy dan Osman Bakar
Dalam bukunya Ikhtiar Menegakan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, Hoodbhoy memberikan gambaran terkait memprihatinkannya kondisi sains
di dalam dunia islam. Hoodbhoy menuduh ortodoksi agama dan sikap intoleransi
menjadi faktor utama penyebab musnahnya lembaga pengetahuan islam yang pernah
jaya. Sehingga dengan begitu mudah juga melenyapkan budaya ilmiah di dunia
islam. Hoodbhoy mengatakan bahwa saat ini umat islam terjebak dalam kebekuan
abad pertengahan, menolak yang baru dan dengan frustasi terus bergantung pada
kejayaan masa silam.[3]
Lebih lanjut Hoodbhoy[4]
mengatakan bahwa sekitar 700 tahun lalu, peradaban islam hampir sepenuhnya
telah kehilangan keinginan dan kemampuan
untuk memajukan sains walaupun banyak usaha-usaha yang pernah dilakukan
pada periode Utsmani di Turki dan Mohammad Ali di Mesir, namun semua itu tidak
mampu memulihkan kejayaan masa silam, bahkan sebagian kaum muslim tidak
merasakan penyesalan terhadap kondisi ini justru mensyukurinya karena menurut
mereka menjaga jarak dengan sains akan dapat memelihara islam dari pengaruh
sekuler.
Perkembangan ilmiah dan ideologi ( islam ) memiliki
keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan, keabsahan kebenaran ilmiah ditentukan
oleh hasil pengamatan, percobaan dan logika, namun sifat sekuler sains ini
bukan berarti mengindikasikan bahwa sains tidak mengakui eksistensi tuhan. Para
ilmuan bebas menganut suatu agama sefanatik mungkin, akan tetapi sains tidak
mengakui satu hukum pun di luar dirinya, artinya sains bebas dari
ideologi-ideologi tertentu.
Terkait persoalan ini, maka Hoodbhoy menuduh Nasr dan
Sarder telah melakukan pekerjaan yang merugikan sains di negara-negara islam
bila mereka menyeru pada “sains islami” yang dimotivasi secara religious, bukan
secara kultural. Hoodbhoy berpendapat bahwa hanya ada satu sains yang bersifat
universal, tidak ada sains Islam, sains Hindu, sains Kristen, sains Yahudi, dan
sains Konghucu, serta sains-sains lain yang ditunggangi ideologi-ideologi
tertentu. Jika sains ditunggangi ideologi islam misalnya akan sangat berbahaya,
sebab bagaimana mungkin islam yang mengandung kebenaran abadi disandingkan
dengan teori sains yang dapat berubah. Pemahaman tentang alam dapat berubah
secara drastis sejalan dengan waktu dan sains tentu saja tidak akan sungkan
lagi meninggalkan teori lama serta mendukung teori yang baru.[5]
Jika hal ini terjadi, tentu saja kitab suci (al Quran) tidak akan dianggap sebagai sesuatu yang maha
sakral sebagai petunjuk yang haqiqi, karena telah bertentangan dengan realitas
alam semesta.
Sementara itu, Osman Bakar dalam bukunya Tauhid &
Sains pada awal paragraf pendahuluan
mengemukakan bahwa buku ini bertujuan untuk menyuguhkan diskusi mendalam
tentang hubungan antara agama dan sains. Ide utama yang membentuk sifat dan
corak hubungan tersebut adalah doktrin metafisika Keesaan Allah (Tauhid). Inti
agama adalah penerimaan doktrin dan pengamalan nyata tauhid dalam semua domain
kehidupan dan pemikiran manusia, sehingga penciptaan sains oleh seorang muslim
mestilah berkaitan secara signifikan dengan doktrin tauhid.[6]
Dalam buku ini Osman menolak tegas anggapan bahwa sains
islam tidaklah logis dan tidak rasional. Untuk menguatkan argumennya, Osman
mengkaji perkembangan logika dan penggunaan metode eksperimen dan kemudian
membandingkannya dengan metafora Tuhan sebagai “pembuat jam”, dalam hal ini
Osman berusaha menunjukan bahwa observasi dan eksperimen muslim dibentuk atas
dasar kesadaran akan eksistensi tuhan. Islamitas atau islami dari sains islam,
muncul dari fakta bahwa spirit, kandungan pengetahuan, dan prakteknya
ditentukan terutama oleh ajaran Islam, sehingga pada tingkat realitas fisik,
kesadaran religious seorang muslim mmempengaruhi sikapnya terhadap realitas dan
kajian ilmiahnya terhadap realitas tersebut, sebab dunia fisik tidak memiliki
eksistensi yang berdiri sendiri akan tetapi selalu terkait dengan eksistensi
tuhan.[7]
Terkait islamisasi sains ini, sekelompok muslim kontemporer
mempertanyakan legitimasi istilah “ Sains Islam” dengan berargumen bahwa kaum muslim masa lalu
tidak pernah menggunakan istilah “sains islam” ketika mengacu pada sains dalam
peradaban islam. Untuk menjawab persoalan ini Osman mengatakan bahwa, muslim masa
lalu tidak menggunakan istilah ini disebabkan kebutuhan akan hal ini belum
muncul, sehingga penggunakan istilah “sains islam” akan muncul manakala harus
melakukan pembedaan yang tegas antara segala sesuatu yang bersifat “islami”
dengan yang “non islam”.[8]
Terkait masalah metodologi dalam sains islam, Osman
mengatakan bahwa berbicara tentang metodologi adalah berbicara tentang
cara-cara atau metode-metode yang digunakan manusia untuk bisa memperoleh
pengetahuan tentang realitas.[9]
Apa yang dikemukakan Osman ini tentu saja mengindikasikan bahwa seorang ilmuan
memiliki keterkaitan yang erat dengan objek kajiannya, objektivitas adalah
bukan sekedar cara observasi empiris yang bebas nilai, akan tetapi harus
memiliki pijakan dalam sains terutama yang berhubungan dengan realitas
tertinggi (Tauhid), bukan sebagaimana yang terjadi pada sains modern.
Dengan demikian, maka sains menurut Osman tidaklah bebas
nilai dan juga tidak sepenuhnya universal.[10]
Apa yang dikemukakan Osman ini nampaknya berbeda dengan apa yang dikemukakan
Hoodbhoy. Lebih lanjut Osman kemudian mengatakan bahwa secara praktis setiap
aspek sains islam dibentuk diwarnai oleh keyakinan dan sistem nilai islam.
Sistem nilai ini tentu tidak hanya berlaku bagi sains islam, akan tetapi
berlaku juga pada peradaban lainnya, termasuk juga sains Barat Modern.
Untuk membuktikan dimensi ganda sains ini, Osman
mengemukakan bahwa, fakta historis menunjukan tidak ada satu budaya atau
peradaban tertentu yang sepenuhnya mewarisi tradisi ilmiah dari para
pendahulunya, apalagi seluruhnya. Setiap budaya atau peradaban tentu akan
selektif mewarisi tradisi ilmiah dari pendahulunya dengan mengambil
elemen-elemen yang sesuai dengan tata nilai budayanya. Demikian pula dengan
islam, tentu akan secara selektif mewarisi peradaban Yunani, Cina, Persia, dan
India. Demikian juga halnya dengan tradisi ilmiah yang dikembangkan sains
modern, akan selektif mewarisi tradisi ilmiah peradaban islam.[11]
Penutup
Apa yang dianggap sebagai peradaban modern (sains modern) saat ini
merupakan sumbangan terbesar yang telah diberikan oleh peradaban islam. Namun
kesalahan terbesar yang dilakukan islam adalah ketidakmampuanya mengembangkan
tradisi sains tersebut, sehingga sampai saat ini terpuruk di tengah-tengah
kemajuan sains modern.
Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan sikap a priority complex di
kalangan kaum muslim dengan melakukan justifikasi terhadap perkembangan ilmiah
dewasa ini, sehingga muncul istilah “sains islam”. Istilah inipun kemudian
memunculkan diskusi panjang.
Penggunaan istilah “sains islam” ini dengan getol dikampanyekan Osman Bakar
dalam bukunya Tauhid & Sains, sementara itu di lain pihak justru Pervez
Hoodbhoy menolak penggunaan istilah “sains islam” tersebut, sebab sains dinilai
sebagai sesuatu yang bersifat universal dan bebas nilai.
Sebagai penutup tulisan ini dapat disimpulkan bahwa Osman Bakar dan Pervez
Hoodbhoy bersebrangan pemikiran terkait penggunaan istilah “Sains Islam”, namun
tidak ada distorsi pemikiran yang signifikan dalam hal pandangan islam terhadap
sains dan perkembangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar