Artikel

Kamis, 09 Maret 2023

PRAKTIK MODERASI BERAGAMA DALAM TRADISI MAULID NABI MUHAMMAD SAW DI SD NEGERI 19 CAKRANEGARA

                  Pendahuluan

Dalam pandangan al Quran, keberagamaan itu merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya[1], dengan demikian manusia tidak bisa melepaskan diri dari agama. Ahmad Syafe’i, seperti yang ditulis U. Maman mengatakan bahwa agama merupakan wahyu yang diturunkan tuhan kepada manusia untuk memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.[2]

Berlandas pijak pada argumentasi tersebut, maka dapat difahami bahwa agama merupakan solusi bagi manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup. Namun harus diakui pula bahwa agama ternyata memiliki “wajah ganda”. Agama  yang selama ini diyakini mampu menebar kedamaian, justru dalam waktu yang bersamaan menunjukan wajahnya yang garang.[3], sehingga  dari sini kemudian muncul persoalan, bagaimana peran agama dalam merespons persoalan-persoalan kemanusiaan? mengapa agama yang sejatinya memberikan rasa damai justru sepertinya menebar teror bagi manusia? dan mengapa agama tidak mampu memberikan solusi atas problem sosial yang dihadapi manusia tersebut?

Nampaknya sangat menarik apa yang kemudian dikemukakan oleh Muhyar Fanani yang mengatakan bahwa harus diakui, saat ini ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang akut, banyak problem kemanusiaan dan keindonesiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu keislaman akibat banyaknya anomali yang dimilikinya. Semua ini merupakan bukti ketidakberdayaan ilmu Akhlak dan ilmu Fiqih dalam memandu masyarakat agar berprilaku taat terhadap norma susila dan norma hukum. Lebih lanjut Fanani mengatakan bahwa krisis ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas kontemporer. [4]

Solusi dari segudang persoalan tersebut adalah dengan mengembalikan fungsi agama sebagai sumber kedamaian, hal ini dilakukan dengan mengubah praktik keagamaan dari formalitas menuju praktik keberagaman yang berbasis system nilai dan etika. Karena itulah kemudian Kementerian Agama berupaya mengembalikan “wajah damai agama” tersebut melalui program penguatan Moderasi Agama. Program ini selanjutnya dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 93 Thun 2022 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama. Dalam KMA tersebut ditegaskan bahwa Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan peraktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepatakan berbangsa.[5] Moderasi beragama ini selanjutnya diharapkan menjadi sebuah ikhtiar dalam rangka menghilangkan “wajah ganda” yang melekat pada pola keberagamaan masyarakat dengan mewujudkan wajah agama yang penuh kedamaian. Praktik-praktik moderasi beragama sangat penting untuk kemudian dilaksanakan dengan lebih massif terutama dalam institusi pendidikan, terlebih lagi pada level pendidikan dasar (SD).

Sekolah Dasar Negeri 19 Cakranegara merupakan salah satu institusi pendidikan di Kota Mataram yang secara geografis terletak di wilayah Cakranegara yang notabenya merupakan wilayah yang sangat heterogen dalam konteks keberagamaan. Hal ini tentu saja menjadi peluang sekaligus tantangan dalam mewujudkan moderasi beragama. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 19 Cakranegara berdasarkan data memiliki 480 peserta didik yang cukup hiterogen ditinjau dari suku, budaya, agama. Dari tilikan agama peserta didik terpartisi ke dalam 4 agama yaitu Islam, Hindu, Kristen, dan Katolik, dari 480 peserta didik tersebut, 280 beragama Islam, 154 beragama Hindu, dan selebihnya beragama Kristen dan Katolik.

Berdasarkan kondisi ini, maka menarik kemudian untuk melakukan kajian deskriptif terhadap praktik moderasi beragama di SDN 19 Cakranegara. Dengan demikian, melalui tulisan ini penulis melakukan kajian deskriptif terhadap praktik moderasi beragama di SDN 19 Cakranegara dengan melihat pola keberagamaan dalam bingkai tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan. Sebab budaya lokal semacam Maulid menjadi bagian yang cukup relevan dalam menginternalisasikan nilai-nilai moderasi beragama terutama di sekolah dasar.

                  Pentingnya Moderasi beragama di Sekolah Dasar

Terminologi moderasi adalah pilihan diksi untuk mengungkapkan sebuah posisi atau keadaan di tengah tengah yang tidak berada di sisi kanan dan tidak pula berada di sisi kiri. Istilah moderasi merupakan kata serapan yang diadobsi dari bahasa latin yaitu “moderatio” yang berarti sedang tidak kekurangan dan tidak kelebihan. Dalam hahubunganya dengan beragama, moderasi dipahami dalam istilah bahasa arab sebagai wasat atau wasatiyah sedangkan pelakunya disebut wasit.

Kata wasit sendiri memiliki beberapa makna yaitu penengah, pelantara, dan pelerai.[6] Sementara itu dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor  93 Tahun 2022 ditegaskan bahwa Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan peraktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.[7]

Berlandaspijak pada kedua definisi tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa moderasi beragama itu merupakan konsep dan praktik keberagamaan dengan cara melihat agama secara utuh dan komprehensif, sehingga agama akan menjadikan pemeluknya soleh secara individual, sosial, dan multicultural.

Lalu dalam konteks lingkungan sekolah apakah moderasi beragama diperlukan? Tentu jawabannya adalah iya sangat diperlukan sebab sekolah merupakan lembaga formal yang cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan cara pandang seseorang terhadap sebuah objek. Dengan demikian aktualisasi nilai-nilai moderasi beragama cukup efektif dilakukan melalui institusi pendidikan, terutama di sekolah dasar dengan cara melakukan internalisasi nilai-nilai positif kepada peserta didik.

Internalisasi pendidikan nilai dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (1) penanaman nilai (inculcation approach); dan (2) perkembangan moral kognitif (cognitive moral development). [8] Pendekatan yang pertama lebih sebagai internalisasi nilai dalam proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas melalui penguatan nilai positif seperti keteladanan, kedisiplinan, dan beberapa nilai positif lainnya. Sementara pendekatan yang kedua mendorong peserta didik untuk mencari cara dan berpikir tentang masalah moral serta keputusan moral. Dalam konteks pendidikan dasar tentu pendekatan yang pertama lebih efektif untuk kemudian dilakukan.

Sekolah Dasar merupakan institusi pendidikan dimana peserta didik mengalami transformasi perkembangan yang cukup signifikan secara psikologis maupun fisik. Dalam kondisi ini tentu internalisasi moderasi beragama menjadi sangat efektif dilakukan. Anak sekolah dasar pada tahapan ini akan mendapat pemahaman yang paling fundamental terhadap agama yang diyakini, nah pada fase inilah seorang pendidik harus bisa memainkan perannya untuk menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang lebih utuh dan komprehensif kepada peserta didik, sehingga sejak dini akan tertanam pada diri peserta didik praktik keberagamaan yang lebih moderat.

                 Praktik Moderasi beragama dalam tradisi maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19   Cakranegara

Internalisasi nilai-nilai moderasi beragama pada lingkungan sekolah setidaknya dapat menggunakan pendekatan pembelajaran di sekolah. Hal ini dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pertama, mengembangkan budaya lokal sekolah, misalnya kejujuran, saling menghargai, sopan santun, dan yang merupakan perpaduan nilai-nilai, asumsi, pemahaman, keyakinan, dan harapan yang diyakini oleh stakeholders sekolah serta dijadikan pedoman perilaku dalam pemecahan masalah baik secara internal maupun eksternal yang mereka hadapi.

Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara peserta didik yang mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda. Ketiga, hal lain yang penting dalam penerapan moderasi beragama yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang digunakan. Sebaiknya kurikulum dan buku-buku tersebut memuat nilai-nilai pluralisme (ke-Bhinneka Tunggal Ika-an) dan toleransi beragama yang dapat membangun wacana serta pemikiran peserta didik tentang pemahaman keberagaman yang inklusif dan moderat[9]

Di samping pendekatan yang dapat dilakukan sebagaimana yang dipaparkan di atas, praktik moderasi beragama dapat diperkuat melalui tradisi budaya lokal, semisal Maulid Nabi Muhammad SAW yang umumnya menjadi tradisi lokal di Pulau Lombok.

Di Lombok tradisi maulid Nabi Muhammad SAW masih sangat kuat melekat. Di Lombok perayaan Maulid Nabi kental dengan tradisi praja, nyunatan, ngurisan, begibung dan beberapa tradisi lainnya. Jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi di Pulau Lombok termotivasi 3 faktor: pertama: motivasi historis, secara historis umat Islam meyakini sepenuhnya legalitas Muhammad sebagai sosok figur yang berjasa membangun sebuah peradaban baru dengan melakukan sebuah reformasi yang fundamental terhadap tradisi jahiliyah yang ketika itu berada pada degradasi moral yang sangat memprihatinkan. Dalam kondisi tersebut, Muhammad selanjutnya bangkit dengan memformulasikan sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egalitarian yang dibingkai dalam figura al Quran dan al Hadits. Dengan demikian, 12 Rabiul Awal merupakan tonggak sejarah yang memotivasi masyarakat untuk merayakan maulid Nabi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas kehadiran beliau di tengah-tengah masyarakat dunia.

Kedua:  motivasi teologis, aspek teologis ternyata juga memiliki peran yang cukup strategis dalam memotivasi masyarakat merayakan maulid Nabi. Hal ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh para ulama madzhab Hanafi dan Maliki yang mengemukakan bahwa “diktum hukum yang ditetapkan dengan diktum tradisi sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i”. Ketiga: motivasi filosofis-sosiologis, masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari kumpulan sekian banyak individu kecil maupun besar yang terikat oleh satuan adat, tradisi, hukum dan hidup bersama.

Berdasarkan ketiga faktor itulah, Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi semacam tradisi yang jika boleh dikatakan “wajib” dilaksanakan oleh masyarakat Lombok, walaupun dalam pelaksanaannya setiap daerah memiliki cara yang berbeda-beda. Maulid atau Mulud bagi masyarakat Sasak-Lombok merupakan momen yang ditunggu-tunggu. Sebab di samping sebagai ajang silaturrahim juga sebagai momen yang tepat untuk meningkatkan kuantitas “perut” karena hampir satu bulan penuh masyarakat Sasak akan merayakannya dengan berbagai macam suguhan makanan khas.

Pun demikian di SDN 19 Cakranegara yang mana jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilaksanakan dengan mengintegrasikan tradisi-tradisi semacam meriap, pengajian, dan begibung. Ketiga kegiatan ini menjadi tradisi yang dilakukan SDN 19 Cakranegara dalam ikhtiar memperkuat ikatan persaudaraan dan kebersamaan tanpa tersekat oleh sentiment suku, agama, warna kulit dan sebagainya.

a.      Meriap

“Meriap” adalah istilah dalam bahasa Sasak yang berasal dari kata “pe.ri.ap” berarti “masak atau memasak”.[10] Istilah ini selanjutnya digunakan secara umum dalam kegiatan sehari-hari yang biasanya dilakoni oleh kaum ibu-ibu, namun dalam konteks “begawe” (perayaan), meriap ini menjadi semacam tradisi yang dilakukan secara bersama-sama.

Tradisi meriap dalam konteks perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. adalah kegiatan dalam rangka mempersiapkan masakan yang akan dihidangkan ketika perayaan. Tradisi meriap ini sesungguhnya tidak hanya dilakukan ketika perayaan Maulid saja, namun tradisi ini biasanya dilakukan pada kegiatan “begawe” dalam penyelenggaraan acara-acara semisal nyunatan, ngurisan, pernikahan dan beberapa kegiatan atau tradisi lainnya.

Di SDN 19 Cakranegara, tradisi meriap yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di kampung-kampung, diadopsi untuk membangun keakraban serta memperkuat ikatan emosional antar guru dan karyawan. Sama halnya dengan tradisi meriap di kampung-kampung, kegiatan meriap di SDN 19 Cakranegara ini juga dilakukan untuk mempersiapkan hidangan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksaakan. Pada tradisi meriap di SDN 19 Cakranegara, semua guru terlibat aktif tidak ada sekat gender, suku, dan agama karena semua berpartisipasi mengambil bagian dalam kegiatan ini.

Pada tradisi meriap ini, guru-guru biasanya duduk bersama dengan mengambil tugas masing-masing, ada yang bertugas ke pasar membeli bahan-bahan dan semua keperluan dapur, ada yang bertugas sebagai “pengulek” bumbu, menggoreng lauk, memotong dan memasak sayur. Dengan demikian, makna filosofis dalam tradisi meriap ini adalah bahwa dalam mewujudkan misi bersama dibutuhkan sebuah system kerja yang kondusif dengan mengedepankan kebersamaan, gotong royong, dan toleransi.

Jika dianalisa, tradisi meriap yang dilakukan ini merepresentasikan sebuah toleransi yang begitu kuat di SDN 19 Cakranegara. Dengan demikian maka tentu saja dalam konteks beragama, dapat dipahami bahwa internalisasi nilai-nilai moderasi beragama sesungguhnya sudah teraktualisasi di SDN 19 Cakranegara dengan cukup baik, hal ini terlihat dari begitu kuatnya ikatan emosional antar guru dan karyawan dalam tradisi “meriap” yang dilakukan ini tanpa memandang “baju agama” yang dipakai.

 

b.      Pengajian

Setelah kegiatan “meriap”, tradisi yang juga menjadi bagian yang selalu dilakukan setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19 Cakranegara adalah kegiatan “pengajian”. Kegiatan ini merupakan kegiatan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19 Cakranegara yang mana pengajian ini menjadi kegiatan inti dari perayaan Maulid yang dilakukan.

Istilah Pengajian berasal dari kata “kaji”, dalam bahasa Arab disebut at-ta’llimu asal kata ta’allama yata’allamu ta’liiman yang artinya belajar, pengertian dari makna pengajian atau ta’liim mempunyai nilai ibadah tersendiri, hadir dalam belajar ilmu agama bersama orang yang berilmu merupakan bentuk ibadah yang wajib setiap muslim.[11] Sebagian besar daerah di Lombok, pengajian ini menjadi menu wajib yang dilakoni masyarakat dalam perayaan hari besar Islam. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada perayaan hari besar Islam tanpa pengajian karena pengajian ini justru menjadi acara inti dalam setiap momen-momen tersebut.

Yang menarik dalam kegiatan ini adalah semua warga SDN 19 Cakranegara berkumpul di halaman sekolah mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh penceramah tanpa terkecuali baik guru, karyawan, maupun peserta didik tanpa ada sekat pemisah dan pembeda berdasarkan latar belakang agama. Peserta didik yang beragama Hindu, Kristen, dan Katolik akan berkumpul menjadi satu dengan peserta didik muslim yang merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW untuk mendengarkan pengajian Maulid.

Penceramah yang menyampaikan uraian hikmah maulid juga sangat faham dan begitu hafal dengan kondisi keberagamaan di SDN 19 Cakranegara yang cukup baik, sehingga penceramah biasanya juga akan menyampaikan pengajian yang secara substantive lebih mengarah pada konten-konten yang bersifat lebih universal seperti keteladanan, akhlak, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian, peserta didik yang memiliki keyakinan berbeda tidak merasa didoktrin dengan keyakinan yang berbeda dengannya. Di sinilah kemudian bisa terlihat dengan cukup jelas nilai-nilai moderasi beragama yang sudah teraktualisasi dengan begitu baik, dengan demikian tradisi-tradisi semacam ini harus terus dilestarikan sebagai kearifan local dalam rangka merawat kebinekaan untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis di tengah-tengah perbedaan.

 

c.      Begibung

Di samping kegiatan meriap dan pengajian, tradisi yang cukup menarik ditilik dari sudut moderasi beragama adalah tradisi “begibung”. Dalam Kamus Bahasa Sasak-Indonesia yang diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTB dijelaskan bahwa “Begibung” berasal dari kata “gi.bung” yang berarti sama-sama, sementara itu kata “be.gi.bung” merupakan kata yang memiliki makna “makan bersama berempat atau bertiga dalam satu dulang”.[12]

Berdasarkan definisi tersebut dapat dicermati bahwa begibung merupakan tradisi di mana masyarakat atau orang-orang akan berkumpul bersama yang biasanya terdiri dari 3 atau 4 orang untuk menikmati hidangan. Dalam tradisi maulid, kegiatan begibung biasanya dilakukan dengan duduk berhadap-hadapan yang terdiri dari 2 orang atau lebih yang kemudian disuguhkan hidangan yang dalam istilah orang Sasak dikenal dengan nama “dulang”.

Berdasarkan narasi tersebut di atas, tentu bisa dipahami bahwa setidaknya dalam tradisi begibung terdapat beberapa makna filosofis di antaranya:  pertama, sebagai wujud kesetaraan dan keadilan karena dalam tradisi ini tidak ada perbedaan antara pejabat, rakyat biasa, kaya, miskin, dan seterusnya karena semua akan duduk bersama melebur menjadi satu dalam satu “dulang”. kedua, tradisi ini memperkuat ikatan emosional karena secara tidak langsung “begibung” ini secara alami memunculkan interaksi dan candaan yang dapat mempererat ikatan emosional antar mereka. Ketiga, tradisi begibung sebagai penyambung silaturrahmi yang terputus, sebab dalam tradisi ini tetangga, sahabat, teman yang sebelumnya jarang bertemu dalam satu tempat karena kesibukkan, maka dengan begibung silaturrahmi diantara mereka akan terjalin kembali. Keempat, tradisi begibung menunjukkan sebuah nilai kesederhanaan, karena “dulang” disajikan dengan sangat sederhana yang jauh dari kesan mewah dan gelamor. Makanan akan dinikmati dengan tangan langsung tanpa harus menggunakan sendok dan garpu, makanan dinikmati dengan duduk bersila tanpa harus duduk di kursi.

 

Dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN 19 Cakranegara, kegiatan begibung ini juga dilakukan namun dikemas dengan cara yang berbeda. Jika dalam tradisi begibung di kampung-kampung, masyarakat akan duduk berhadapan menikmati hidangan dalam bentuk dulang. Namun di SDN 19 Cakranegara, kegiatan begibung dilakukan dengan membuat semacam lingkaran, dimana peserta didik akan duduk membuat lingkaran-lingkaran kecil untuk menikmati hidangan.

Hidangan-hidangan yang dinikmati peserta didik biasanya sudah dipersiapkan sendiri dari rumah untuk kemudian dinikmati secara bersama-sama dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di sekolah.

Dalam tradisi begibung di SDN 19 Cakranegara, peserta didik akan berkumpul bersama tanpa membedakan “baju agama” yang digunakan. Dalam kegiatan ini pemandangan yang sangat unik terlihat dimana peserta didik muslim yang menggunakan “kopiah” akan berkumpul menjadi satu dengan peserta didik yang menggunakan “udeng”. Keunikan-keunikan inilah yang kemudian memperlihatkan bahwa nilai-nilai moderasi beragama tampak nyata dalam tradisi “begibung” yang dilakukan.

                  Penutup

Moderasi beragama merupakan sebuah ikhtiar untuk mewujudkan keberagamaan yang Rahmatan lil ‘Alamin, keberagamaan yang penuh kedamaian tanpa harus memperlihatkan superioritas agama yang dianut.

SDN 19 Cakranegara sebagai institusi pendidikan dasar berpeluang cukup besar untuk membentuk peserta didik  memiliki konsep dan cara pandang beragama  yang moderat. Hal ini tentu saja dapat dilakukan secara integral dan terkoneksi dalam kurikulum maupun kearifan lokal yang selalu dirawat di sekolah seperti tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di SDN 19 Cakranegara memberi dampak cukup signifikan dalam proses internalisasi nilai-nilai moderasi beragama, hal ini dilihat dari tradisi meriap, pengajian, dan begibung yang selalu dilaksanakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini tentu saja harus selalu dirawat dalam rangka membangun konsep dan praktik keberagamaan yang lebih moderat dan responsive terhadap nilai-nilai mutikultural.



[1] Lihat QS. Ar rum : 30,

[2] U.Maman, dkk, “Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik”, Jakarta : PT. Raja Graffindo, 2006 hal 1

[3] Kasus 17 Januari 2001 atau yang dikenal dengan kasus 171 misalnya menjadi bukti historis kejamnya agama, dan ironisnya benturan-benturan agama ini tidak lagi terjadi antar agama, bahkan menjadi gesekan intern agama. Kasus pengusiran dan penghancuran rumah tinggal serta tempat ibadah warga Ahmadiyah misalnya, juga sebagai bukti bahwa gesekan dan benturan atas nama agama telah menerobos ranah private agama itu sendiri. Belum lagi persoalan korupsi, tauran pelajar, demonstari yang berujung anarkhis dan sebagainya

     [4] Muhyar Fanani, “Metode Studi Islam (Aplikasi Sosiaologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang)”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008 hal. 1-2

                [5] Lihat salinan KMA Nomor 93 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama, hal. 4

[6] Fauzi, Ahmad. "Moderasi Islam, Untuk Peradaban Dan Kemanusiaan." Jurnal Islam Nusantara 2.2 (2018), hlm, 233

[7] Lihat salinan KMA Nomor 93 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama, hal. 4

[8] Masnur Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).

[9]https://www.kompasiana.com/nitamaesy/619f90fd733c434c6974a2c2/implementasi-moderasi-beragama-di-lingkungan-sekolah

 [10] Kamus Sasak Indonesia, Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat, Edisi II cetakan ke ketiga (Mataram: Kantor Bahasa NTB, 2017) hal. 381

[12] Kamus Sasak Indonesia, Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat, Edisi II cetakan ke ketiga (Mataram: Kantor Bahasa NTB, 2017) hal. 159

Sabtu, 08 Oktober 2022

Akselerasi Literasi Digital di Masa Pandemi: Pengalaman belajar menulis bersama Guru Blogger Indonesia

Pendahuluan

Pandemi Covid 19 memberi dampak cukup signifikan terhadap berbagai sektor kehidupan. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan adalah terjadinya akselerasi digital. Akselerasi digital ini selanjutnya menjadi semacam “bom” yang memberi daya ledak cukup mengagetkan bagi para guru karena terjadinya perubahan drastis yang mengharuskan guru beradaptasi terhadap digitalisasi pendidikan. Digitalisasi pendidikan ini menuntut guru melakukan revolusi terhadap sistem pembelajaran dari tatap muka menjadi daring (PJJ) yaitu sebuah proses pembelajaran melalui kelas-kelas virtual di mana guru dan peserta didik bertemu tanpa harus melakukan kontak fisik secara langsung.

Walaupun memberi dampak positif, revolusi sistem pembelajaran secara daring melalui kelas-kelas virtual ini justru menimbulkan masalah, tidak hanya bagi guru, namun juga bagi peserta didik dan wali murid yang secara langsung terdampak oleh diberlakukanya PJJ tersebut. Bagi guru misalnya persoalan yang muncul adalah terjadinya kesenjangan digital (digital devide) yang menjadikan guru sulit beradaptasi dengan pembelajaran berbasis digital. Ditambah lagi dengan persoalan yang dihadapi peserta didik dan orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mengakses internet, tidak memiliki HP android, orang tua sibuk, permasalahan internal keluarga, dan segudang persoalan lainnya.

Di samping persoalan-persoalan yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran, ada satu persoalan guru yang harus juga mendapat perhatian serius yaitu rendahnya kompetensi menulis guru. Selama kegiatan PJJ, guru lebih terlihat disibukkan dengan pelatihan-pelatihan membuat modul, video pembelajaran, model pembelajaran daring dan sebagainya. Sehingga terlihat hanya sebagian kecil guru meluangkan waktunya selama pandemi ini untuk melakukan akselerasi kompetensi menulis.

Kegiatan PJJ selama pandemi ini sesungguhnya merupakan ruang kosong yang harus dimanfaatkan guru untuk meningkatkan kompetensi menulis. Dalam rangka meningkatkan kompetensi menulis guru, PGRI sebagai rumah besar guru seluruh Indonesia membuat jejaring komunitas-komunitas menulis salah satunya adalah komunitas Guru Blogger Indonesia yang mendesain teknik belajar menulis secara virtual menggunakan aplikasi Whats App (WA).

Selanjutnya melalui tulisan ini, penulis tidak akan menyoroti pengalaman pembelajaran jarak jauh dengan segudang persoalan yang terjadi karena persoalan ini tentu sudah banyak yang mengkajinya dari berbagai sudut pandang, namun hal menarik menurut penulis yang perlu dikaji adalah terkait proses belajar jarak jauh yang dilakukan guru sendiri untuk meningkatkan kompetensi menulis di saat pandemi. Karena itulah kemudian melalui tulisan ini penulis berbagi pengalaman belajar menulis online bersama PGRI dan Guru Blogger Indonesia sebagai sebuah ikhtiar untuk mendorong akselerasi literasi digital bagi guru.


Apa yang dimaksud Literasi Digital?

Literasi Digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digital juga bisa dipahami sebagai bentuk kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mengkomunikasikan konten/informasi kengan kecakapan kognitif dan teknikal.[1]

Sebagai efek terjadinya pandemi Covid 19, sistem pembelajaran mengalami semacam revolusi yang menuntut guru memiliki kompetensi literasi digital, tidak hanya dalam mendesain media pembelajaran namun juga dalam mengkomunikasikan konten materi dalam sebuah tulisan. Dengan demikian akselerasi[2] literasi digital menjadi sebuah keharusan.

 

Apa dan bagaimana program kegiatan belajar menulis Guru Blogger Indonesia?

Organisasi PGRI sebagai rumah besar guru Indonesia berupaya memberikan kontribusi yang terbaik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya bagi peningkatan kompetensi guru. Karena kompetensi guru adalah jawaban atas persoalan-persoalan yang begitu kompleks menyelimuti pendidikan di negara kita saat ini.

Prof. Dr. Unifah, M.Pd selaku Ketua Umum PB PGRI memaparkan bahwa PGRI bergerak pada tiga pilar, yaitu Profesionalisme guru, kesejahteraan guru, dan perlindungan guru. Untuk memperkuat ketiga pilar tersebut, PGRI dari pusat sampai daerah diharapkan memiliki atau menjadi smart learning center melalui kerjasama dengan berbagai pihak.

Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, PGRI mendesain berbagai program peningkatan kompetensi guru. Keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru selaku garda terdepan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Kompetensi ini dibentuk dengan membangun tradisi menulis di kalangan guru. Tradisi ini diikhtiarkan dengan membuat jejaring komunitas-komunitas menulis yang salah satunya adalah kelas belajar menulis online PGRI.

Kelas belajar menulis online PGRI merupakan salah satu program untuk meningkatkan kompetensi menulis guru. Program ini diinisiasi oleh Wijaya Kusumah, M.Pd yang didesain secara virtual menggunakan aplikasi Whats App (WA).

Kelas belajar menulis ini dilaksanakan sebanyak 20 kali pertemuan  secara online dan dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu dan Jumat selama 2 jam mulai pukul 19.00 – 21.00 WIB dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang kompetensinya tidak bisa diragukan lagi.  Narasumber yang dihadirkan adalah mereka yang memiliki keahlian dalam menulis yang karyanya sudah tidak terhitung jumlahnya. Narasumber yang dihadirkan tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, ada yang berlatar belakang seorang guru berprestasi, guru inspiratif dari daerah 3T, dosen, motivator, direktur penerbitan buku, manajer pemasaran buku, kalangan militer dan berbagai latar belakang lainnya yang memiliki korelasi secara langsung maupun tidak terhadap dunia tulis menulis.

Adapun alur dalam mengikuti kegiatan belajar menulis online ini adalah di mana peserta harus melakukan registrasi kemudian bergabung di Grup WA Belajar Menulis. Selanjutnya peserta harus memiliki blog yang nantinya akan dijadikan sebagai media dalam praktik menulis. Kemudian dalam setiap pertemuan peserta diwajibkan membuat resume dari pemaparan materi yang disampaikan oleh narasumber. Resume inilah yang kemudian dipublikasikan peserta pada blog pribadi yang sudah disiapkan sebelumnya.

Di blog ini peserta diharapkan berlatih menulis, menulis ide dan memaparkan gagasan dengan mengacu pada paparan materi narasumber. Di samping itu peserta diarahkan untuk melakukan blog walking yaitu semacam silaturahmi setiap peserta ke blog peserta lainnya. Tujuannya adalah agar terbangun motivasi dan semangat untuk terus menulis, karena dalam kegiatan silaturrami ini peserta saling  memberikan komentar masukan, saran, motivasi sehingga akan terbangun kepercayaan diri penulis dalam mempublikasikan karyanya yang pada akhirnya nanti karya tersebut menjadi lebih berkualitas.

Di akhir program pelatihan peserta berhak mendapatkan sertifikat pelatihan 40 JP, namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh peserta yaitu setiap peserta diwajibkan membuat 20 resume berdasarkan materi yang disampaikan narasumber pada setiap pertemuan. Tidak hanya sampai di sini, peserta juga diwajibkan untuk menerbitkan buku dari kumpulan resume yang sudah dibuat, jika kewajiban-kewajiban ini terpenuhi maka peserta berhak mendapatkan sertifikat pelatihan.

Apa problem yang dihadapi selama mengikuti program belajar menulis?

Dalam mengikuti kegiatan belajar menulis online di saat pandemi bersama Guru Blogger Indonesia tentu banyak persoalan yang dihadapi, banyak kendala yang muncul, namun persoalan yang hampir semua penulis pemula hadapi adalah kesulitan untuk menemukan ide dalam menulis. Di setiap pertemuan, peserta diharuskan membuat resume dan ini menjadi sebuah pesoalan karena belum terbiasa menulis sehingga merasa kesulitan menemukan ide.

Pada prinsipnya menemukan ide dan menulis itu mudah, namun menulis menjadi sesuatu yang begitu sulit ketika belum menjadi budaya, belum dibiasakan. Bukankah sesuatu yang tidak terbiasa kita lakukan menjadi sesuatu yang sulit?

Salah satu tips yang penulis jadikan solusi dalam kesulitan membuat resume ini adalah dengan menjadikan menulis sebagai sebuah ajang silaturrahmi. Bagaimana menulis dengan kekuatan silaturrahmi? Pertanyaan ini mungkin bisa terjawab dengan mengqias (meminjam bahasa kaidah ushul fiqh) silaturrahmi dengan sodaqah.

Dalam agama (baca: Islam), sodaqoh memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dalam membuka pintu rizki. Sodaqah pada hakikatnya tidaklah mengurangi harta benda yang kita berikan, namun justru akan menambah harta kita berkali-kali lipat. Hal ini misalnya bisa kita cermati dalam al Quran surat al An’am ayat 160.

 

"Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan”

Merujuk pada konsep sodaqah ini kita bisa memahami bahwa jika kita mengaktifkafkan kekuatan silaturrahmi, maka skill menulis akan melejit. Namun sebagai langkah awal yang perlu kita lakukan adalah mengubah dulu konsep berpikir tentang menulis.

Seorang yang ingin menjadi penulis hebat harus mampu untuk mengubah mindsetnya tentang potensi menulis yang dimiliki setiap orang. Banyak orang yang kemudian terhalang untuk menggali potensi tersebut karena menganggap bawa menulis itu adalah bakat sehingga mulai menyerah, tidak ada waktu untuk menulis, tidak ada ide, tulisan jelek, tidak percaya diri, dan sejuta alasan lainnya yang kemudian “membunuh” niatnya untuk menulis.

Di samping itu, orientasi menulis juga harus didesain ulang sebab banyak di antara kita belajar menulis semata-mata hanya "berburu sertifikat " untuk kenaikan pangkat. Namun orientasi ini perlu didesain agar lebih menjurus pada upaya mengaplikasikan potensi menulis dengan mendokumentasikannya dalam bentuk sebuah buku tunggal, atau mulai tergerak menulis di blog pribadi.

Selanjutnya bagaimana menulis dengan kekuatan silaturahmi itu dilakukan? Menulis merupakan sebuah keterampilan yang setiap orang memiliki peluang untuk mendapatkan keterampilan tersebut. Keterampilan ini dapat dilatih dengan menghidupkan kekuatan silaturrahmi. Kata silaturahmi berasal dari bahasa Arab yakni Shilah yang artinya hubungan atau sambungan dan Ar- rahim yang bermakna kerabat atau saudara. Kata silaturahim kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia yakni silaturahmi yang artinya tali persahabatan (persaudaraan), dan bersilaturahmi yang artinya mengikat tali persahabatan (persaudaraan). Setidaknya ada 6 cara untuk memudahkan dalam melahirkan ide menulis dengan kekuatan silaturrahmi

PERTAMA Silaturrahmi dengan membaca buku. Silaturrahmi dalam mengaktifkan skill menulis dapat dilakukan dengan proses membaca buku. Dengan membaca buku kita bisa membangun hubungan dengan pikiran-pikiran yang dituangkan penulisnya dalam buku tersebut. Dengan membaca buku, skill menulis secara tidak langsung dapat dilatih dan dapat dikembangkan dengan mengadopsi teknik menulis atau ide-ide yang ditawarkan penulis dalam bukunya.

Di samping membaca buku, menggali skill menulis dapat juga dilakukan dengan membaca status orang, atau berkunjung dan membaca blog orang lain, bahkan mungkin membaca apa saja tidak mesti itu berupa teks tertulis. Kita bisa membaca kehidupan orang lain yang mungkin bisa menginspirasi kita untuk menulis, membaca alam, atau mungkin membaca diri kita sendiri.

KEDUA Silaturrahmi dengan menjadi pendengar yang baik. Menjadi pendengar juga bagian dari silaturrahmi yang bisa menumbuhkan skill menulis. Ketika berada di majlis ta’lim misalnya kita bisa menjadikan pesan-pesan kebaikan yang disampaikan penceramah sebagai materi untuk membangkitkan skill menulis.

KETIGA, silaturrahmi dengan menginspirasi dan memotivasi orang lain. Setiap orang tentu tidak lepas dari persoalan hidup. Jika seseorang menghadapi sebuah masalah atau persoalan dalam kehidupannya tentu membutuhkan orang lain sebagai solusi. Ketika kita bisa hadir sebagai solusi, tentu ini menjadi peluang untuk mengaktifkan skill menulis, kita bisa menuangkan permasalahan dan solusi yang kita tawarkan tersebut dalam sebuah tulisan yang tentu saja tulisan ini selanjutnya bisa menjadi referensi bagi orang banyak ketika menghadapi permasalahan yang sama atau serupa.

Pandemi Covid 19 yang terjadi saat ini menjadi semacam peluang bagi guru untuk selalu bersilaturrahmi, memunculkan ide-ide menulis dari hal-hal unik dan menarik yang ditemukan. Tidak bisa kita pungkiri ada segudang persoalan yang menggerogoti selama pandemi terjadi, mulai dari persolan guru sendiri yang sulit untuk beradaptasi dengan digitalisasi pembelajaran, belum lagi persolan peserta didik yang sulit mengakses internet, tidak ada kuota, HP bermasalah dan sebagainya. Ditambah lagi persoalan-persoalan internal peserta didik seperti orang tua sibuk, perceraian, dan sebagainya.

Persoalan-persoalan tersebut di atas sesungguhnya menjadi peluang besar bagi guru untuk melejitkan potensi menulis dengan mendokumentasikan pemikiran-pemikiran ataupun solusi yang bisa ditawarkan untuk meminimalisir persoalan yang terjadi.

 Apa suka duka belajar menulis bersama Guru Blogger Indonesia?

Belajar menulis bersama Guru Blogger Indonesia memberi kesan yang mendalam bagi peserta, beribu suka yang dirasakan namun tidak sedikit pula duka yang muncul sehingga membuat hati seolah enggan tersenyum.

Di antara suka yang diperoleh selama kegiatan belajar adalah pertama jejaring sosial bertambah luas, kita bisa bersilaturrahmi dengan orang-orang hebat dari seluruh Indonesia tanpa ada sekat dan pembatas. Kedua tentu kita bisa menggali ilmu langsung dari narasumber-narasumber hebat serta penulis-penulis handal dari berbagai macam profesi, baik dosen, penulis, penerbit, guru, militer, dan berbagai macam latar belakang keahlian lainnya. Semua berkolaborasi dan bersilaturrahmi melalui jejaring dunia maya untuk berbagi ilmu serta pengalaman sebagai ikhtiar untuk menjadikan menulis sebagai sebuah tradisi.  Ketiga, kesan yang paling membekas adalah melalui kegiatan ini sudut pandang kita tentang dunia tulis menulis kini terbuka dan mulai bergeser bahwa menulis bukanlah hal yang sulit namun sesuatu yang mudah dan pasti bisa kita lakukan, hal ini terbukti bahwa penulis saat ini sudah bisa menerbitkan buku antologi dan insha Allah dalam waktu dekat akan menerbitkan 3 buku solo tentang bunga rampai konsep pendidikan dan pemikiran tokoh pendidikan.

Di samping kesan manis yang dirasakan, tidak sedikit juga duka yang terjadi selama mengikuti kegiatan belajar menulis. Kesan menyedihkan yang paling terasa adalah saat asyiknya menikmati tombol-tombol keyboard, merangkai kata demi kata tiba-tiba akses internet terputus dan diperparah lagi saat file tulisan hilang karena lupa menekan tombol shift as.

Penutup

Pandemi covid 19 memberi ruang bagi guru untuk mengembangkan potensi diri, tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kompetensi dalam penggunaan media-media berbasis digital, namun hal urgen yang harus dilakukan oleh seorang guru adalah peningkatan kompetensi menulis. Kompetensi menulis ini menjadi sangat urgen mengingat penguasaan literasi dan numerasi merupakan program pemerintah yang saaat ini lagi digalakkan.

Pengalaman belajar menulis online bersama PGRI dan Guru Blogger Indonesia di saat pandemi yang penulis paparkan dalam tulisan ini, diharapkan menjadi inspirasi dan motivasi  kita bersama selaku seorang guru untuk menjadikan menulis sebuah tradisi dalam meningkatkan kompetensi profesionalisme sebagai ikhtiar mewujudkan pendidikan yang berkualitas.

 

                 



[2] Dalam KBBI dijelaskan bahwa akselerasi memiliki definisi yang varatif. Akselerasi bisa diartikan 1. Proses mempercepat; 2. Peningkatan kecepatan; 3. Percepatan; 4. Laju perubahan kecepatan (lihat: http://kbbi.web.id/akselerasi.html)